Sedang Membaca
Pertentangan-pertentangan Tasawuf di Nusantara
Moh. Salapudin
Penulis Kolom

Penulis Lepas. Ustadz di Pondok Pesantren Futuhiyah Mranggen Demak

Pertentangan-pertentangan Tasawuf di Nusantara

142256303 1848783288607837 5150293996796850570 O

Di awal era Islam di Jawa, tentu kita sangat akrab dengan pertentangan antara Walisongo dengan Syekh Siti Jenar. Lepas dari kontroversi mengenai Syekh Siti Jenar, Walisongo menentangnya dengan menghukum pancung karena Siti Jenar mengajarkan “manunggaling kawulo gusti”, paham tasawuf yang dianggap menyimpang (heterodoks). Siti Jenar mati, namun ajaran-ajarannya masih hidup, sebagaimana nanti akan kita singgung.

Kita ke Kesultanan Aceh, di sana pertentangan tasawuf “lebih ramai”. Kita harus menyebut Hamzah Fansuri, yang menurut Martin van Bruinessen adalah ulama pertama yang membawa tarekat Kadiriah ke Nusantara. Hamzah Fansuri adalah ulama berpengaruh yang dinilai mengajarkan tasawuf wujudiyah. Selama hidupnya ia tidak banyak ditentang, namun ia kemudian ditentang dengan sangat “radikal” oleh ulama yang hidup kemudian, yaitu Nuruddin Ar Raniri.

Era setelah Hamzah Fansuri adalah seorang ulama bernama Syamsuddin Sumatra’i yang, sebagaimana Hamzah Fansuri, ia juga menjadi ulama kesultanan Aceh (Syekhul Islam) dan mengajarkan tasawuf “filosofis”. Ada yang mengatakan Sumatra’i adalah murid Hamzah Fansuri, namun ada pula yang meragukannya karena tidak ada tanda-tanda mereka pernah berjumpa.

Sumatra’i dikenal sebagai ulama penganjur tasawuf wujudiyah terutama terpengaruh oleh Syekh Fadlullah Burhanpuri. Waktu itu, kitab “Tuhfah Al Mursalah” karangan Burhanpuri cukup populer di Nusantara. Kitab itu adalah kitab yang menjelaskan tentang konsep “martabat tujuh” dalam tasawuf yang dianggap menyimpang.

Baca juga:  Muhammad Yaser Arafat, Nisan Hanyakrakusuman, dan Pengabdian Luhur Sang Putu Séla

Ketika Sumatra’i telah wafat dan kesultanan dipimpin oleh Iskandar Tsani, kedudukan syekhul Islam dijabat oleh ulama asal India, Nuruddin Ar Raniri. Ia dengan segera menentang paham wujudiyah Hamzah Fansuri dan Sumatra’i dan menganggap ajaran mereka sesat. Ia benar-benar serius memberangus paham itu sehingga siapa pun yang masih bersikeras dengan paham itu ia anggap sebagai kafir.

Ar Raniri menulis kitab berjudul “Ma’ul Hayat Li Ahli Al-Mamat” (Mata air kehidupan bagi orang-orang yang mata hatinya mati karena kesalahan faham agama), “Hujjah As-Shiddiq Li Ahli Al-Zindiq”, “Fath Al-Mubin ‘ala Al-Mulhidin”, dan “At-Tibyan fi Ma’rifah Al-Adyan”. Kitab-kitab itu adalah kitab yang menjelaskan “kesesatan” tasawuf wujudiyah sekaligus mengarusutamakan syariat (syariatisasi).

Kesungguhan Ar Raniri dalam memberantas “Pantheisme” tidak hanya berhenti di situ. Kitab-kitab karya Hamzah Fansuri dibakar di depan Masjid Baiturrahman Aceh, dan tidak sekadar dianggap kafir, pengikut-pengikut Hamzah Fansuri dan Sumatra’i bahkan “boleh dibunuh”. Sikap “radikal” Ar Raniri inilah yang pada akhirnya ditentang oleh Abdur Rauf As Singkili.

Sesuatu yang tidak boleh diabaikan adalah bahwa Ar Raniri menulis kitab fikih mazhab Syafii terlengkap pertama dalam bahasa melayu, yaitu kitab “As-Shirath Al-Mustaqim”. Ini menunjukkan bahwa ia sungguh-sungguh melakukan syariatisasi. Informasi dari Azyumardi Azra (Jaringan Ulama Nusantara), dominasi Ar Raniri kemudian dikalahkan oleh Syaifur Rijal, ulama penganut wujudiyah yang menggantikan kedudukannya sebagai syekhul Islam di kesultanan Aceh era Sultanah Shafiyat Ad-Din.

Baca juga:  Kota Islam yang Terlupakan (8): Allahabad-India, yang Tetap dan yang Berubah

Abdur Rauf As-Singkili yang terkoneksi dengan ulama-ulama di Haromain mengadukan tindakan Ar Raniri tersebut kepada gurunya, seorang ulama asal Kurdistan, Ibrahim Al-Kurani. Lebih tepatnya sesungguhnya ulama-ulama Jawa meminta Al Kurani untuk memberi penjelasan atas kitab “Tuhfah Al Mursalah” karya Burhanpuri yang waktu itu di Nusantara sedang trending. Lahirlah karya “Ithaf Adz Dzaky bi Syarhi Tuhfah Al Mursalah Ila Nabi”.

Model meminta fatwa seperti ini pada waktu itu adalah sesuatu yang lazim. Al Kurani sendiri menulis kitab “request dari murid” Jawa-nya bukan hanya Ithaf. Ada kitab lain berjudul “Al Jawabat Al Gharawiyyah Li Al Masail Al Jawiyyah Al Juhriyyah” yang merupakan permintaan murid-murid Al Kurani dari Johor, Malaysia. Terminologi Jawa dalam historiografi Islam Nusantara abad-abad yang lalu bukanlah satu pulau dalam wilayah Indonesia sebagaimana kita pahami sekarang, melainkan merupakan wilayah yang bahkan meliputi Malaysia, Thailand, Singapura, dan Filipina.

Dalam kitab Ithaf Al Dakiy, Al Kurani tidak memihak kepada Burhanpuri atau Ar Raniri. Ia berusaha berada di tengah dan menyayangkan pengkafiran yang terjadi di Nusantara. Dalam pandangan Al Kurani, tidak baik sesama Muslim saling menuduh dan lebih baik menafsirkan tindakan Muslim lainnya dengan baik (husnudzan).

Dari Aceh kita kembali lagi ke Jawa. Dari Serat Cebolek yang ditulis oleh pujangga Kraton Surakarta, Yasadipura I, dua kubu penganut tasawuf yang bersitegang sama lain adalah Mbah Mutamakin dan Ketib Anom Kudus. Ini terjadi di era Sunan Mangkurat IV (1719-1726) dan anaknya, Paku Buwana IV (1788-1820).

Baca juga:  Jejak Hubungan Dagang Abbasiyah dengan Nusantara

Mbah Mutamakin dipandang sebagai penganut tasawuf filosofis yang kehidupannya dipenuhi kontroversial. Ia memiliki dua anjing yang ia namai “Abdul Qahhar” dan “Kamaruddin” yang dua nama itu merupakan nama pejabat penghulu dan ketib di Tuban. Oleh Ketib Anom Kudus ia dilaporkan kepada penguasa Kartasura, Mangkurat IV. Pengadilan belum dilaksanakan Mangkurat wafat, lalu di era Paku Buwono IV peradilan digelar, namun Mbah Mutamakin mendapat kebebasan.

Tiga orang lain yang dianggap menyebarkan tasawuf filosofis di Jawa adalah Sunan Panggung, Demak, Ki Bebeluk, dan Syekh Amang Raga. Sunan Panggung di era Mbah Mutamakin, Ki Bebeluk di era Pajang, dan Syekh Amang Raga di era Mataram.

Abad-abad berikutnya, terutama abad 19, pertentangan tasawuf masih terjadi, namun tidak seheboh era Ar Raniri. Hal ini, dalam penilaian saya, karena corak tasawuf lebih dekat pada syariat. Di Makkah ada nama-nama besar seperti Syekh Khatib Sambas dan Sulaiman Zuhdi. Di seberangnya, yang cenderung menentang tarekat, ada Ahmad Khatib Minangkabau dan Sayid Usman bin Yahya, mufti Betawi. Wallahu a’lam bis shawab.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
2
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top