Seperti bisa dilihat dari judulnya, kitab ini adalah hagiografi (manaqib) Syaikh Abdul Qadir Jailani. Tidak diketahui kapan kitab ini selesai ditulis, namun kitab ini baru diterbitkan oleh Toha Putra Semarang pada 2009 lalu.
Adalah Kiai Luthfi Hakim, putra Kiai Muslih, yang pertama kali menunjukkan manuskrip kitab Yawaqit kepada salah satu sekretaris Kiai Muslih, Kiai Chumaidi Kendal. Pada saat pertama kali ditemukan, belum ada keterangan mengenai siapa penulis manuskrip tersebut.
Kiai Chumaidi, beserta dengan Kiai Rofi’i Kebonbatur dan murid Kiai Muslih lainnya kemudian melakukan validasi. Setelah melalui musyawarah panjang, disimpulkan bahwa Yawaqit adalah karya Kiai Muslih. Kesimpulan itu, sebagaimana diungkapkan Masrur (2014), berdasarkan setidaknya pada tiga alasan: pertama, gaya bahasa, kedua, struktur do’a, dan ketiga, riwayat dari Umi Sa’adah, istri Kiai Muslih.
Gaya bahasa yang terdapat dalam kitab Yawaqit sangat mirip dengan tulisan-tulisan dalam kitab Kiai Muslih sebelumnya, seperti An-Nur Al-Burhani. Dalam memaknai suatu kata, Kiai Muslih memiliki ciri khas, yaitu memberi makna dengan sangat detail. Demikian pula dalam menulis doa, Kiai Muslih punya struktur tersendiri yang berbeda dengan lainnya.
Kiai Rofi’i juga pernah mendengar riwayat dari Umi Sa’adah yang mengatakan bahwa Kiai Muslih akan menuliskan manaqib untuknya yang lain dengan manaqib yang sudah ada. Kiai Muslih pada saat itu sudah memiliki kitab An-Nur Al-Burhani, kitab manaqib Syaikh Abdul Qadir Jailani syarah dari Al-Lujain Ad-Dani karya Al-Barzanji sebanyak dua jilid.
Setelah disepakati bahwa kitab itu karya Kiai Muslih, kemudian Kiai Rofi’i dan putranya, Gus Hasan Murtaqi meneliti ulang dan memberi catatan terhadap naskah tersebut sebelum diterbitkan. Pada saat haul Kiai Abdurrahman Qashidil Haq pada Dzulhijah 1430/Desember 2009, naskah yang sudah diterbitkan tersebut dilaunching disertai dengan ijazah umum oleh Kiai Muhammad Hanif Muslih, putra Kiai Muslih.
Kitab Yawaqit sendiri secara umum terbagi dalam tiga bagian, yaitu bagian pembuka, isi, dan penutup. Bagian pembuka merupakan pengantar Kiai Muslih selaku penulis kita Yawaqit mengenai deskripsi kitab dan harapan-harapan beliau. Dalam bagian pembuka ini, Kiai Muslih banyak menulis ayat Al-Qur’an terutama yang berkaitan dengan orang-orang saleh.
Bagian kedua, yang dimulai dari halaman 30-82 membahas manaqib Syaikh Abdul Qadir Jailani dan diawali dengan doa pemisah. Doa pemisah dalam kitab Yawaqit kira-kira empat kali lebih panjang dari yang terdapat dalam Al-Lujain Ad-Dani. Namun isi masing-masing bagian kitab Yawaqit ini lebih singkat dibanding isi masing-masing bagian dalam Al-Lujain Ad-Dani.
Di bagian isi ini Kiai Muslih membaginya dalam lima bagian yang masing-masing dipisah dengan doa pemisah. Kiai Muslih memulai bagian ini dengan menyebutkan nasab Syaikh Abdul Qadir Jailani mulai dari ayahnya, Abi Shalih Az-Zahir, sampai Sahabat Ali bin Abi Thalib. Kiai Muslih lalu menulis tentang kelahiran Syaikh Abdul Qadir. Berbeda dengan kitab manaqib sebelumnya, manaqib ini langsung menyebut kewafatan Syaikh Abdul Qadir di awal pembahasan. Ini menunjukkan bahwa manaqib ini ditulis secara lebih ringkas.
Nuansa tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah juga sangat terasa dalam kitab ini, khususnya saat Kiai Muslih mendeskripsikan kewafatan Syaikh Abdul Qadir.
Di akhir hayat, diriwayatkan bahwa Syaikh Abdul Qadir mengucapkan Laa Ilaha illa Allah (zikir nafi isbat) dan Allah, Allah (zikir ismu zat). Dua zikir tersebut adalah zikir tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Hal ini tidak mengherankan karena Kiai Muslih sendiri adalah mursyid tarekat tersebut.
Pembahasan selanjutnya sebenarnya tidak berbeda secara mencolok dengan kitab Al-Lujain Ad-Dani. Ia Membahas kepribadian dan karamah-karamah yang dimiliki Syaikh Abdul Qadir Jailani. Pembahasan ini dipungkasi dengan syair ‘Ibadallah yang diawali dengan dua kalimat syahadat di halaman 82.
Doa penutup kitab Yawaqit ini lebih banyak dibanding An-Nur Al-Burhani. Karena alasan inilah, Kiai Muhammad Hanif Muslih, dalam banyak kesempatan membaca manaqib menggunakan An-Nur Al-Burhani namun memungkasinya dengan membaca doa yang terdapat dalam Yawaqit.
Secara keseluruhan kitab ini terdiri dari 93 halaman. Dalam banyak halaman, notasi yang ditulis dalam bentuk catatan kaki lebih mendominasi ketimbang matan kitab. Notasi itu sangat bermanfaat karena memberikan informasi seputar kitab yang dirujuk Kiai Muslih dan menjelaskan makna yang sulit dipahami. Hanya saja, notasi itu ditulis dalam bahasa Arab sehingga tidak semua orang bisa memahaminya dengan mudah.