Disaat berolahraga, joging santai menikmati indahnya suasana sore kampung halaman, saya melihat kiri dan kanan. Sampai akhirnya, penglihatan saya terfokus pada kerumunan orang yang sedang kerja bakti di sebuah rumah ibadah.
Mereka adalah umat Kristiani, dan rumah ibadah itu adalah gereja. Tampak gereja mereka masih dalam proses pembangunan, lebih tepatnya masih dalam proses renovasi biar jadi lebih indah lagi.
Ya, kampung saya tak hanya dihuni oleh umat Islam. Ada juga umat Kristiani dan Hindu, meski jumlah mereka terbilang sedikit (minoritas). Muslim merupakan mayoritas di kampung ini. Kabar baiknya, tak pernah ada konflik atas nama agama, yang ada hanyalah kehidupan yang rukun nan damai. Bahkan, disaat momen Idul Fitri, umat Kristiani sudah biasa datang bersilaturahmi ke rumah-rumah warga (Muslim) setempat.
Dua anak muda yang sedang ikut kerja bakti di gereja menegurku, mereka adalah kenalanku. Yang satu tetangga dan satu lagi teman sewaktu sekolah dulu. Sebenarnya, banyak juga sih kenalan saya yang Non Muslim. Bahkan, ada juga yang sekarang sudah jadi pendeta. Kehidupan masyarakat yang terbilang heterogen di kampungku menumbuhkan sikap toleransi pada diri kami sejak masih dari kecil. Sehingga, di kampung ini, menjadi pemandangan lumrah kalau umat muslim berteman baik dengan Non Muslim.
Saat melewati gereja yang sedang direnovasi itu, dalam hati saya mengucapkan pengharapan, “Semoga pembangunan gerejanya lancar.”
Tak hanya sore itu, namun hampir di setiap kali lewat di gereja itu, saya berharap semoga pembangunan gerejanya akan lancar. Bahkan, tak hanya saat melihat gereja itu, namun hampir di setiap saat melihat ada rumah ibadah agama lain yang sedang dibangun atau direnovasi, saya berharap biar pembangunannya lancar.
Ah, mungkin ada yang mau mengatai saya: kafir, liberal, tolol, goblok, dan lainnya. Muslim kok ya mendoakan tempat penyembahan selain Allah biar pembangunannya lancar?
Ya, sebenarnya, lebih tepatnya saya bukan mendoakan, namun mengharapkan agar pembangunan rumah ibadah umat lain bisa lancar. Hal itu, tak lantas membuat saya ikut membenarkan ajaran agama mereka. Tidak. Saya hanya berharap agar pembangunan rumah ibadah mereka bisa lancar, suatu harapan yang juga pasti ada di hati umat muslim saat sedang membangun masjid.
Rumah ibadah adalah simbol yang amat sakral bagi setiap agama. Sehingga semua umat beragama–Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha, Konghuchu, Penghayat, dan lainnya–pasti punya harapan yang sama saat sedang membangun rumah ibadah, yaitu semoga pembangunannya bisa lancar.
Di tempat lain, antar umat beragama saling serang-menyerang. Tak jarang rumah ibadah pun dihancurkan. Pengeboman gereja di Surabaya pada 2018, perusakan masjid di Minahasa Utara pada 2020, dan kasus perusakan rumah ibadah lainnya yang amat disayangkan sampai terjadi.
Dalam Islam sendiri, perusakan rumah ibadah agama lain tak sejalan dengan prinsip Islam sebagai agama rahmat. Eh, lantas, bagaimana perusakan berhala di sekitar Ka’bah saat Fathul Makkah (penaklukkan kota Makkah)?
Ka’bah sejatinya adalah baitullah, layaknya masjid yang merupakan tempat umat muslim menyembah Allah swt. Sehingga penghancuran berhala di sekitar Ka’bah bukan berarti menghancurkan rumah ibadah agama lain, melainkan membersihkan rumah ibadah umat muslim dari berhala-berhala. Sebab sejatinya, sejak awal, Ka’bah adalah tempat ibadah untuk menyembah Allah swt.
Sementara, sikap muslim terhadap rumah ibadah agama lain, bisa dilihat dari sikap Umar bin Khattab ra saat umat muslim menaklukkan Yerusalem (Palestina). Umar tak menghancurkan rumah ibadah Non Muslim. Justru, Umar memberi jaminan keamanan kepada mereka.
Demikian Islam sebagai agama rahmat. Dalam bukunya Yang Hilang dari Kita Akhlak, Quraish Shihab menjelaskan:
“Dalam konteks hubungan manusia dengan manusia lain, prinsip utama yang harus diterapkan untuk diupayakan adalah: ‘Lakukanlah untuk orang lain apa yang Anda ingin orang lain lakukan buat Anda.’ Lihat dan tempatkanlah diri Anda pada posisi orang lain, lalu lakukanlah apa yang Anda harapkan diperlakukan terhadap Anda oleh orang lain….”
Kita tak ingin masjid dihancurkan, maka jangan berniat menghancurkan rumah ibadah agama lain. Saat masjid dibangun, semisal pembangunannya di daerah minoritas muslim, maka harapan umat muslim adalah pembangunan masjid bisa lancar dan tanpa ada konflik. Pun, demikian, saat umat kristiani atau umat agama lain membangun rumah ibadah di daerah mayoritas muslim, pasti harapan mereka adalah pembangunannya bisa lancar dan tak ada konflik yang terjadi.
Sehingga sebagai muslim, tak salah kalau berharap semoga pembangunan rumah ibadah agama lain bisa lancar. Suatu harapan yang juga menjadi harapan muslim saat membangun masjid. Sebagai sesama umat beragama, meski berbeda, sepantasnya harus bisa saling menghormati.