Ada banyak agama di seluruh dunia, dan dari banyaknya agama yang ada, Islam menjadi salah satu agama dengan pemeluk terbesar. Tentu saja, kata “terbesar” tersebut bukanlah kata omong kosong, tetapi juga memiliki bukti nyata. Dari keseluhan perkembangan keilmuan yang ada dimasa post-truth ini, banyak penemuan-penemuan hebat yang didasarkan pada keilmuan-keilmuan Islam. Islam menguasai hampir seluruh dasar keilmuan yang ada didunia.
Sebagai contoh, ketika orang membicarakan tentang sejarah, Islam pasti mengingat nama Ibnu Khaldun. Ketika berbicara tentang ramuan-ramuan obat, Islam pasti mengingat nama Ibnu Sina. Ketika barat bangga dengan Freud dan teori-teorinya tentang psikologi, Islam mengeluarkan Jalaludin Rumi “Pakar Rasa dari Timur” yang membimbing manusia untuk tidak hanya sekedar mencintai diri dan dunia yang fana, melainkan juga melakukan pencarian menuju ke satu “rasa yang hakiki”. Dan demikian seterusnya, sehingga antara Islam dari timur dan Kristen dari barat terus bersaing, saling mengungguli dan mencuri posisi dalam kancah peradaban dunia.
Banyaknya pemikiran yang lahir tentu tidak selalu dapat diterima atau kompatibel dengan keadaaan yang ada, melainkan juga selalu menimbulkan berbagai problem yang memicu banyak perdebatan. Jika barat yang masih “dibuai asmara” dengan berbagai problem teologis, maka sebaliknya, timur juga di”ninabobo”kan dengan problem politik. Barat menghadapi problem akut yang tidak berkesudahan dalam masalah ketuhanan mereka.
Sedangkan Islam dirumitkan dengan persoalan-persoalan politik yang ada dalam tubuh agama. Meskipun sama-sama memiliki tingkat kepentingan yang tinggi, namun permasalahan tentang politik dalam Islam menjadi seru dengan banyaknya fenomena-fenomena yang terjadi akhir-akhir ini. Sebut saja peristiwa dilarangnya HTI di Indonesia, yang dikarenakan ingin mendirikan khilafah di Indonesia, dan mengganti pancasila dengan Al-quran. Peristiwa tersebut tentu bukan satu peristiwa yang baru, mengingat bahwa dulu problem serupa juga pernah terjadi. Namun, karena bercampurnya problem tersebut dengan arus politik yang terjadi, maka persoalan tentang khilafah menjadi rumit, dan pada akhirnya masih memancing banyak perbincangan sampai sekarang.
Dalam sejarahnya, Islam memang tidak pernah secara khusus membahas tentang politik. Apa yang ada didalam Al-quran hanyalah terkait dengan pemimpinnya, bukan prosesi dari politik itu sendiri. Rasulullah SAW sendiri tidak pernah menunjukkan sistem kenegaraan dalam wilayah yang dikuasai Islam, seperti Madinah maupun Makkah, ataupun wilayah-wilayah yang lain. Hal ini dapat dipahami, mengingat bahwa wilayah-wilayah yang ada di jazirah arab merupakan wilayah yang hampir keseluruhannya dihuni oleh penduduk yang bersuku-suku, sehingga karena kebiasaan kesukuan mereka, maka penetapan wilayah bukanlah suatu hal yang harus dipermasalahkan.
Dalam kepemimpinan dalam wilayah itu sendiri, Rasulullah lebih sering melakukan pengiriman sahabat-sahabat tertentu untuk pergi ke wilayah yang mereka kuasai dan mengawasi pergerakan di sana. Bahkan sampai wafatnya beliau, dasar tentang landasan politik dalam Islam sama sekali tidak disinggung. Lantas yang menjadi pertanyaan besar untuk menjawab berbagai persoalan tentang politik dalam tubuh Islam saat ini : Bagaimana bentuk perpolitikan yang sesuai dengan Islam?
Menanggapi pertanyaan tersebut, salah seorang pengamat politik Islam, Ali Abdur Raziq, memberikan argumen alternatif yang cukup kontroversial. Menurut Kamil Sa’fan, salah satu penulis buku yang menerjemahkan salah satu karya Ali Abdur Raziq, yang kemudian diberi judul “Kontroversi Khilafah dan Negara Islam : Tinjauan Kritis atas Pemikiran Ali Abdur Raziq” (Jakarta : Penerbit Erlangga, 2009), mengatakan didalam karyanya, bahwa memang kenyataannya Islam tidak pernah menetapkan satupun bentuk perpolitikan atau meniru konsep politik manapun.
Selain itu, khilafah dalam pandangan Ali bukanlah suatu bentuk kepemimpinan yang perlu untuk dilanjutkan kembali. Hal tersebut karena dalam keseluruhan sejarah kekhalifahan umat Islam, hanya kepemimpinan Abu Bakar dan Umar yang dapat dikatakan sebagai kepemimpinan yang tentram, dalam arti terkendali dan sejahtera, sedangkan kepemimpinan setelahnya adalah kepemimpinan yang dipenuhi siasat, ketidakadilan, dan perang saudara, sehingga dari pengalaman masa lalu tersebut, khilafah bukanlah satu bentuk kepemimpinan yang harus dipertahankan kembali saat ini.
Ali beranggapan bahwa maksud dari tidak ditentukannya bentuk perpolitikan dalam Islam oleh Rasulullah, merupakan satu bentuk isyarat, bahwa umat diberikan kebebasan untuk menentukan sendiri bentuk politik yang sesuai dengan Islam dimasa kini. Hal ini dikarenakan Rasululllah dapat melihat jauh ke depan, bahwa akan ada saatnya dimana Islam akan tersebar ke seluruh dunia, sehingga politik pada masa tersebut jauh lebih penting untuk dirumuskan dibanding dengan zaman beliau waktu itu.
Selain berupa kebebasan, Ali juga memaknai bahwa dari semua itu Rasulullah ingin yang terbaik untuk umat Islam nantinya. Bagi Rasulullah syiar Islam merupakan hal pokok yang harus diutamakan pada saat itu. Meskipun ada juga beberapa wilayah yang memiliki basis kepemimpinan yang baik yang patut untuk ditiru umat Islam, tapi belum ada yang sesuai menurut nabi. Terbukti bahwa Umar bin Khattab yang merupakan khalifah kedua banyak melakukan penggubahan dari administrasi pemerintahan Romawi, tetapi kenyataannya Romawi yang memiliki keunggulan sistem yang semacam itu juga tetap saja tidak dapat mengalahkan Islam.
Karena itulah, dapat ditangkap makna dari Rasulullah bahwa urusan agama lebih penting dibandingkan dengan urusan dunia. Manusia hanya mendapatkan dunia jika mereka mencari dunia, terlebih jika mereka tenggelam didalamnya. Tetapi manusia akan mendapatkan dunia maupun akhirat, jika mereka mau mengutamakan akhirat dibandingkan dunia. Karena itu, kesempurnaan agama jauh lebih penting dibandingkan dengan kesempurnaan dunia, seperti Rasulullah yang tenang lisannya ketika menyampaikan potongan terakhir Surat Al-Maidah ayat 3, yang isinya tentang sempurnanya agama Islam, berikut dengan dasarnya, yaitu Al-quran.
Pada akhirnya, Ali hanya ingin menyiratkan makna, bahwa sudah saatnya Islam mulai menata diri. Islam harus move on dari masa lalu politik yang kelam, dan sebagai gantinya Islam harus lebih banyak meningkatkan kualitas intelektual umat untuk bersaing dengan barat dan zaman. Terlepas dari banyaknya benang jerat para pemain politik yang mudah melenceng dari ajaran agama, Islam harus tetap menjadi dirinya sendiri yang tidak mudah untuk terkena arus. Untuk umat Islam, selamat berproses.