Kran air dalam bahasa memiliki padanan kata yang beragam; shanbur al-maa’, bizbuz/bazbuz, balbul, dan lain-lain. namun yang lebih jamak digunakan dibanyak negara Arab dan fashohah adalah kata hanafiyyah. Kata ini tidak ditemukan di kamus-kamus bahasa klasik alias kata ‘anyar’.
Jika terdapat dalam kitab-kitab klasik, kata ini merujuk pada pengikut ahli fiqh kesohor, Syech Imam Abu Hanifah, salah satu pendiri mazhab empat dalam tradisi Islam sunni. Para pengikutnya dinamakan hanafiyyah. Nah, apakah arti nama dari Imam Hanafi itu ‘kran air’. Hanafi atau hanafa berarti miring, condong, ikhlas, kebenaran, lurus. Justru kata hanafiyyah yang berarti ‘kran air’ mungkin punya hubungan linguistik dengan kata al-hanafiyyah yang bermakna pengikut mazhab Hanafi.
Kran Air Diharamkan
Alkisah, semasa Mesir diperintah oleh Muhammad Ali Pasha (1769-1849) Mesir mengalami modernisasi besar-besaran. Bahkan, sejarawan Philip K. Hitti menyebutnya sebagai bapak negara Mesir modern. Inisiatif, semangat, dan visi pembaharuan yang ia praktekkan tidak ada tandingannya diantara tokoh-tokoh muslim lain sezamannya. Meski ia seorang buta huruf, ia menunjukkan perhatian yang luar biasa pada dunia pendidikan dengan membangun sekolah-sekolah teknik, kedokteran pertama di Mesir. Ia mengirim ratusan anak muda Mesir untuk bersekolah ke Italia, Prancis, Inggris dan Austria.
Dalam bidang lingkungan hidup, ia membangun Sabil, sebuah bangunan air mancur yang megah di Kairo pada tahun 1820. Sabil digunakan untuk menyediakan air minum untuk umum saat suplai air bersih di rumah tangga tak tersedia. Bangunan bergaya arsitektur Ottoman itu begitu monumental dan jadi salah satu warisan Muhammad Ali Pasha hingga kini.
Ketika Muhammad Ali Pasha membangun masjidnya di dalam puri Istana – yang kini dikenal dengan masjid Muhammad Ali atau masjid Marmer – pada sekitar tahun 1830 – 1848, ia juga membuat pipa-pipa kran yang digunakan untuk berwudlu untuk menggantikan metode lama yakni menggunakan batok atau gayung.
Hal ini menuai kontroversi dan perdebatan fiqih yang luar biasa. Para ulama dari tiga mazhab besar dalam Islam sunni; Syafi’iyah, Hambali, dan Maliki menentang keputusan ini. Penggunaan kran untuk berwudlu dianggap nyeleneh dan dihukumi ‘bid’ah dlolalah’. Mereka berpandangan penggunaan kran tidak pernah ada pada masa dahulu (salaf) di negara-negara muslim manapun. Entah ini menjadi penyebab langsung atau sudah terjadi ikhtilaf sebelumnya.
Terkecuali para ulama mazhab Hanafi yang sejak semula menghalalkan kran untuk berwudlu, bahkan menganggap kran air memiliki banyak manfaat terutama dalam memudahkan kaum muslim dalam beribadah. Dari sinilah sabab musabab penyebutan kran air dengan kata ‘hanafiyyah’, dinisbatkan dengan mazhab Hanafi.
Perdebatan Historis
Meski sejauh ini penulis belum memiliki referensi cukup konperensif tentang proses dialektika fiqhnya, tapi dalam atlas al-lahjaat al-arabiyyah, sebuah kamus online yang khusus untuk menelusuri mufradat (kosa-kata bahasa Arab) dari berbagai lahjah (logat) orang Arab, menerangkan serupa. Bahwa asal usul kata hanafiyyah (kran air) merupakan persoalan yang jelimet.
Begitu pula soal siapa yang pertama kali memperkenalkan kran air di Mesir. Meski secara umum diyakini bahwa kran air pertama kali di masa Muhammad Ali Pasha sebagai penguasa Mesir kala itu, tapi versi lain mengatakan pemerintah Kolonial Inggris yang pertama kali memperkenalkannya di Mesir.
Akan tetapi, sejarawan Mesir bermazhab Hanafi terkemuka, Abdul Rahman Al-Jabarti (1753-1822) sudah memakai kata hanafiyyah yang bermakna ‘kran air’ dalam buku monumentalnya Tarikh ‘Ajaib Al-Atsar fii Al-Tarajim wa Al-Akhbaar atau lebih dikenal dengan Tarikh Al-Jabrati. Ia menceritakan masjid jami’ dan kubah makam Syeich Ahmad Al-Badawi peninggalan penguasa Mesir sebelum Muhammad Ali di kota Tanta, Alexandria. Sebuah masjid yang megah, dilengkapi dengan perpustakaan, tempat wudlu yang besar, terdapat kran-kran air dan tempat duduk yang lebar. Tidak jelas kapan masjid itu pertama kali dibangun, tapi keterangan tertulis dalam catatan Al-Jabarti dalam bab tahun 1187 H/1773.
Sedangkan Inggris baru masuk Mesir pada 1882 yakni enam puluh tiga tahun setelah wafatnya Al-Jabarti. Ia sendiri hidup pada masa Muhammad Ali dan pendahulunya Muhammad Bek.
Jika merunut catatan Al-Jabarti jelas penggunaan kran air telah ada sebelum Muhammad Ali Pasha meski itu bukan di pusat Ibukota Kairo. Maka, perdebatan dan asal muasal kata ‘hanafiyyah’ (kran air) juga telah lebih dahulu atau setidaknya semasa Al-Jabarti hidup. Terlepas dari itu, pada tahun-tahun berikutnya ‘ke-haram-an’ berwudlu memakai kran masih dominan.
Diceritakan oleh Ahmad Amin (1886-1954) dalam bukunya berjudul Hayatii, semasa kecilnya orang berwudlu di khoudl, semacam kolam buatan. Orang mengambil air dengan kedua telapak tangannya serta mencelupkan kaki saat membasuh kaki. Timbul bencana yang cukup pelik. Orang berpeyakit menular juga berwudlu di tempat sama, sehingga menularkan berbagai penyakit. Air menjadi tercemar. Penggunaan pipa dan kran air dalam berwudlu masih tabu digunakan sebab fatwa haram. Sebab itu Syaich Muhammad Abduh kala itu – dengan alasan darurat – mengganti tempat wudlu di Al-Azhar dengan kran-kran air (hanafiyyah). Barangkali intiqol al-mazhab li daf’i al-dharar.
Kita mesti banyak berterima kasih atas fatwa ulama mazhab Hanafi pada saat itu. Tidak bisa dibayangkan jika sampai sekarang kran air difatwa haram. Pun disadari bahwa efeknya luar biasa, sebuah pendapat hukum al-hanafiyyah saat itu malah menjadi kosa-kata baku (fusha) untuk menyebut benda yang dihukumi; kran alias hanafiyyah. Wallahu a’lam.