Kamis, tepatnya pada tanggal 04 November 2021, Kota Batu-Malang diguyur hujan besar-besaran. Kilat petir dan gemuruh air kian berdatangan mengalir. Rasa takut masyarakat setempat menyesak di dalam diri masing-masing. Apakah ini pertanda kiamat? Ataukah ini sebatas hujan yang–menurut argumentasi Islamnya–membawa keberkahan masyarakat setempat? Pertanyaan demi pertanyaan demikian kerap mengisi dada para masyarakat. Tapi apalah daya, Tuhan Maha Mengetahui Segala.
Bencana apapun macamnya, jika disudutkan pada kekuasaan Tuhan segala, akan tampak bersudut ujian, cobaan, atau peringatan kepada makhluk-Nya. Artinya, apapun yang terjadi, sejatinya sudah tertakdir, alias sudah direncanakan oleh Allah bersama dengan hikmah yang terkandung. Jadi, tunggu apa lagi, ya kita tinggal mengambil pelajaran sebanyak-banyaknya. Tuhan berfirman dalam kitabnya, “Tidak ada suatu musibah yang menimpa (seseorang), kecuali dengan izin-Nya. Dan barang siapa yang beriman kepada-Nya, niscaya Ia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu yang terjadi.” (QS. At-Taghabun: 11)
Ayat di atas sebenarnya ingin menjabarkan betapa musibah Tuhan akan datang tanpa mengenal tempat dan waktu. Siapa sangka misalnya, tanah suci Mekkah juga pernah dikena hujan yang berhari-hari, dan mampu menyebabkan banjir besar! Dimana saat itu dinding Ka’bah sempat retak. Siapa sangka misalnya, jika wabah juga pernah terjadi di masa Nabi. Tentu manusia tidak akan mampu menalar keputusan Tuhan. Bagi-Nya, kita hanya makhluk yang dicipta dan pada saatnya akan binasa.
Banjir di Batu adalah pelajaran yang sangat penting kita pelajari, betapa hidup ini sesaat saja. Dan pada puncaknya akan juga binasa. Oleh karena, marilah renungkan dampak yang terjadi dengan sebaik mungkin, dengan sesabar mungkin, tanpa mengurangi rasa penghambaan diri kita kepada Tuhan Sang Maha. Ibnu Abbas menyebutnya, Jika Tuhan memberikan musibah, Ia menyuruh manusia sabar, dan jika Allah memberikan kenikmatan, Ia menyuruhnya bersyukur.
Dalam tafsir Imam at-Thabari disebutkan, bahwa di antara pelajaran berharga dari musibah yang menimpa kepada manusia adalah agar manusia tidak berlarut-larut putus asa terhadap apa yang sudah binasa, dan tidak terlalu membangga-banggakan akan apa yang dimiliki. Ini artinya, semua yang kita miliki, pada hakikatnya sebatas titipan saja.
Selain pendapat di atas, hikmah kedua dari musibah adalah timbulnya rasa kehinaan dan kerendahan manusia guna meningkatkan ibadah kepada Tuhan. Hikmah kedua ini menuntut kesadaran manusia terhadap lemahnya diri kita bersama. Sehingga tanpa merasa sombong dan merasa memiliki terhadap harta benda yang sudah kita punya. Dengan kesadaran ini, akan melahirkan ridha dan berlapang dada terhadap apapun yang terjadi pada diri manusia dari musibah tersebut.
Hikmah yang ketiga, menumbuhkan perilaku taubat kepada Tuhan. Dalam hal ini, Tuhan berfirman: Dan apabila manusia ditimpa musibah (kemudaratan), dia memohon kepada Rabb-nya dengan kembali kepada-Nya, namun apabila Ia memberi nikmat kepadanya, lupalah dia akan kemudharatan tersebut yang pernah dimohonkan.
Meski ayat di atas diturunkan mempresentasikan keadaan Kuffar Quraisy saat kembali berpaling setelah bencana asap yang menimpa (lihat Tafsir At-Tsa’labi, al-Kasyfu wa al-Bayan an an-Tafsir, Juz 5, hlm: 263), ayat ini juga setidaknya menjadi pelajaran berharga kepada kita semua tatkala menghadapi musibah yang menimpa, sebab ketika musibah menimpa kita, kerap penyesalan dan takbir Allah tergaung nyaring di bibir kita, namun ketika diangkat, kita enggan bertaubat kepada Tuhan. Oleh karena itulah, musibah seperti di Batu pada sejatinya suara langit yang bergema. Dan semoga kita senantiasa mengambil pelajaran yang berharga. Allahu A’lam.