Sedang Membaca
Laut dalam Literatur Islam Nusantara
Moch. Royyan Habibi
Penulis Kolom

Alumnus Lirboyo sekarang meneruskan studi di Pondok Tahfidh Yanbu'ul Qur`an, Kudus.

Laut dalam Literatur Islam Nusantara

Jelang Munas Alim Ulama (1): Lima Riwayat Sunan Kalijaga di Pulau Lombok 2

Penyair Budha, Arya Syura melukiskan secara ekpresif dalam Jatakamala tentang sebuah pulau yang memiliki samudera tak bertepi dengan ombak-ombaknya yang tinggi serta memiliki jernih air bewarna hijau nan kemilau bagai zamrud. Ia mencatat:

“Ombak yang bersinar hijau bagaikan zamrud telah membawa kapal kami seolah-olah ke padang rumput yang indah; seluruh permukaan laut dihiasi buih-buih jelita, bagaikan bunga-bunga teratai malam. Laut manakah gerangan yang terbentang di hadapan kita itu?”

Tak lain, apa yang dilukiskan oleh Arya Syura di atas adalah gambaran tentang kepulauan Nusantara yang dalam sastra India kuno biasa disebut Javadvipa, Malayadvipa, Karpradvipa, nama lain dari kepulauan Sumatra dan Jawa. Atau sebagai sebutan bersama untuk semenanjung Malaka dan pulau-pulau bagian barat Kepulauan Melayu.

Nusantara adalah negeri maritim yang memiliki luas lautan yang lebih besar ketimbang daratan, dua pertiga dari Nusantara merupakan lautan dan sepertiganya adalah daratan. Misbahus Surur, dalam esainya yang berjudul Nalar Laut Orang Nusantara, menegaskan: sebagian dari isi Nusantara adalah desa-desa maritim (pesisir): desa-desa yang bertebaran di pinggir-pinggir pantai dan di pulau-pulau kecil. Koloni-koloni maritim ini semakin tegas jika kita menyelam ke dalam arus sejarah, karena nenek moyang kita memang masyarakat “pelaut”.

Pernyataan ini menjelaskan akan arti bahwa laut seolah telah menjadi ciri dalam wilayah Nusantara. Boleh dikatakan, Nusantara merupakan wilayah yang terindentifikasi sebagai wilayah kelautan.

Baca juga:  Secangkir Teh dan Harga Diri

Baca juga:

Nusantara, agaknya memang tidak pernah terlepas dari “laut” semenjak dari dulu. Azhari Ayyubi salah seorang novelis yang berhasil menyabet penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa dalam sebuah karya berjudul Kura-Kura Berjanggut menggambarkan bagaimana lautan Nusantara menjadi ajang perebutan kekuasaan, jalur perdagangan, jalur peradaban dan bercampur baurnya budaya pada masa lalu.

Di Nusantara, laut adalah jaringan perdagangan global hubungan maritim di antara bekas-bekas kerajaan. Pada titi mangsa awal abad ke-17 Kerajaan Lamuri di Pulau Sumatra dengan kekayaannya yang melimpah ruah; penghasil cengkih, kapur barus, dan rempah-rempah menjadikan laut sebagai lintas budaya, lintas sektoral, dan lintas batas.

Lebih dari itu, laut Nusantara bukan saja sebagai lintas jalur perdangangan dan tempat terbawanya kebudayaan asing. Namun, lebih dari itu, laut Nusantara juga tak jarang dijadikan sebagai medan laga pertempuran ‘suci’ antar agama untuk saling berebut ‘surga’.

Hal demikian bisa kita lihat dalam hasil ijtihad yang dituangkan di dalam kitab berjudul “Nashihatul Muslimin wa Tadzkirat al-Mu’minin fi Fadhail Jihad wa Karamat al-Mujahidin fi Sabilillah” karya Syeikh Abdus Shamad al-Palimbani, salah seorang ulama’ Nusantara asal Palembang.

Baca juga:  Madzhab Nabi, Madzhab Ukhuwah

Sebagaimana dikatakan Idris Mas’udi, bahwa kitab ini menjelaskan mengenai ijtihad yang dilakukan oleh Syeikh Abdus Shamad al-Palimbani tentang keutamaan jihad (perang) di lautan.

Sebagai wilayah kelautan, penghuni Nusantara terbentuk sebagai masyarakat manusia laut, yang mengetahui mengenai seluk-beluk kebaharian. Karena melihat potensi ini, barangkali Syekh Abdus Shamad menganggap penting untuk melakukan jihad di lautan.

Berbeda dengan Abdus Shamad al-Palimbani, adalah Hamzah Fansuri, salah seorang sastrawan, penyair sufi Nusantara. Baginya laut Nusantara merupakan bentangan inspirasi untuk kekayaan puisinya. Banyak puisi-puisi Hamzah Fansuri bertema laut.

Hamzah Fansuri, sebagaimana menurut Drewes dan Brakel memang seorang tokoh yang memiliki peranan cukup penting di dalam syair-syair tentang kapal, laut dan pelayaran ini.

Syair-syair dengan menggunakan lambang laut kemudian seolah menjadi ciri khas tersendiri dari Hamzah Fansuri pada khususnya dan bagi kesusastraan sufistik Melayu pada umumnya.

Berlainan dengan tasawuf Persia yang sering mengemukakan simbol cinta, anggur dan kebun, sastra tasawuf Melayu biasanya menggunakan simbol pelayaran laut dengan perahu atau kapal.

Pada dasarnya, simbolisme kapal dan pelayaran juga terdapat di dalam puisi mistik Sufi Parsi, tetapi umumnya pemakaian lambang tersebut agak terbatas. Sedangkan dalam puisi Sufi Melayu “simbol besar” anggur dan kebun mawar kurang lazim dipakai, tetapi syair-syair mistik yang panjang lebar tentang perahu cukup banyak terdapat.

Baca juga:  Syiah dan Perkembangan Tafsir Al-Qur’an

Apa yang tersaji atas berbagai pandangan mengenai laut Nusantara di atas menabalkan, bahwa betapa lautan Nusantara menciptakan inspirasi bagi banyak orang. Laut Nusantara seolah memiliki pesona tersendiri bagi siapa saja yang mencoba menyelaminya. Masing-masing memiliki kesan yang mungkin berbeda antara satu sama lain.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top