Sedang Membaca
Ke(tak)sederhanaan Kiai Husein
Moch Nur Ichwan
Penulis Kolom

Bekerja di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pendidikan S3 diselesaikan di Tilburg University, S2 di Leiden University, dan S1 di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pernah belajar juga di Pondok Pesantren Darul Hikam Joresan, Ponorogo, Jawa Timur.

Ke(tak)sederhanaan Kiai Husein

Membayangkannya saja sungguh membahagiakan, apalagi bertemu dan berbincang. Teduh. Seorang lelaki sederhana. Performanya laiknya kiai kampung, berbusana batik atau koko, dan berpeci hitam, dan sekali-kali berpeci putih juga.

Postur tubuhnya juga sederhana, sejak berpuluh tahun lalu, mungkin sejak kecil, seperti itu, kurus. Cara bersikapnya pun juga sederhana, cenderung kalem, tak berlebihan, tak menghentak. Tuturnya pun juga, tak berteriak, apalagi memaki.

Namun, pikiran dan perannya di muka bumi ini sangatlah tidak sederhana.

Membayangkannya, yang muncul adalah wajah kearifan. Arif, karena ia mampu masuk dalam relung-relung batin peristiwa dan segala yang tampak, tanpa terjebak pada yang tampak semata. Arif, karena ia jauh dari hingar ujaran-ujaran yang pekak dan penuh retorika memukau, mengaduk emosi, tapi cetek dan penuh nafsu melukai.

Arif, karena ia masuk dalam sumsum kehidupan ini dengan cinta.

Membayangkannya, yang muncul adalah wajah yang reflektif. Reflektif, karena ia tidak bertutur dan menuliskan pikirannya dengan ketelanjangan dan keterpukauan pada gejolak lahiriah dan sarwa permukaan, tapi dengan hati dan kesabarannya mendalami apa-apa yang dia dengar, baca, dan saksikan.

Reflektif, karena ia menggunakan pikiran bukan sekedar untuk menjelaskan, tapi untuk memaknai. Reflektif, karena dengan akal-budinya ia menyentuhi jantung-jantung realitas dengan kesabaran perenungan.

Baca juga:  ​Kiai As'ad Ingin Terkenal

Membayangkannya, yang muncul adalah wajah yang kosmopolitan. Kosmopolitan, karena pikirannya melanglang buana, mengarungi mega-mega peradaban, dari klasik sampai kontemporer, dengan komitmen yang kokoh pada prinsip keadilan kemanusiaan.

Kosmopolitan, karena sikap dan perilakunya yang inklusif dan pluralis, menyapa siapa saja yang dia temu di sepanjang perjalanan hidupnya, tanpa membeda-bedakan latar etnis, ras, agama, gender. Kosmopolit, karena terbuka pada gagasan-gagasan baru, dari belahan bumi mana pun, asal mengusung keadilan dan kasih kemanusiaan, sembari mencari pijakan-pijakan lama yang terlupa.

Bukan, bukan hanya itu. Membayangkannya yang muncul bukan wajah arif, reflektif dan kosmopolitan saja, tapi juga wajah yang berpihak dan menggugat. Ini makin tidak sederhana. Keberpihakannya pada keadilan dan kemanusiaan sebenderang siang hari, tapi tidak dengan terik menyengat, namun sehangat mentari di pagi hari. Gugatannya pada ketidakadilan dan ketakmanusiawian mengguncang kesadaran, tapi tidak dengan gegap gempita toa dan parade sejuta kebencian.

Bukan, bukan hanya itu.
Membayangkan wajahnya
yang muncul adalah wajah pencinta.

Tidak,
tidak hanya itu.
yang muncul juga adalah: wajah pembaru.

Demikiankanlah Husein Muhammad, kiai dari Arjawinangun, dalam benak saya. Sekedar tahniah, menyambut penghargaan “akademik” untuk sang kiai oleh UIN Walisongo, Semarang, Jawa Tengah, Selasa, 26 maret 2019.

Baca juga:  Santri Membaca Zaman (1): Kamera, Sastra, dan Fotografi

Yogyakarta, 23 Maret 2019

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top