Banyak tradisi menyambut datangnya bulan Ramadan bagi masyarakat Islam yang ada di Indonesia. Salah satunya adalah padusan. Padusan berasal dari kata adus dalam bahasa Jawa berarti mandi. Makna padusan bagi masyarakat Jawa adalah menyucikan diri dan membersihkan jiwa dalam rangka menyambut datangnya bulan suci Ramadan. Filosofi padusan adalah membersihkan diri sehingga ketika kita melakukan harus benar-benar sesuai dengan ajaran agama. Berpakaian sopan dan tidak dilakukan dengan bercampur antara lawan jenis.
Padusan disebut sebagai tradisi warisan leluhur yang sudah dilakukan secara turun temurun. Sejarah dari padusan sudah ada sejak zaman Hamengkubuwono I yang merupakan pendiri Kesultanan Yogyakarta sekitar tahun 1755 an. Sejak saat itulah filosofi padusan menguat. Dulunya, padusan dilakukan di sumber mata air dan kolam-kolam masjid. Begitu juga untuk pria dan wanita melaksanakan ritual padusan secara terpisah. Tujuan dari tradisi padusan yang dilakukan agar pelakunya bisa melaksanakan ibadah di bulan Ramadan dengan kondisi suci lahir dan batin.
Pada masa itu, tradisi padusan rutin diadakan di kolam-kolam masjid atau sumber mata air yang ditentukan pihak keraton. Biasanya pria akan turun ke kolam dan menceburkan diri di sana. Sementara untuk wanita, melakukan padusan secara terpisah dan tidak melakukan padusan bersama pria.
Padusan digelar pada sejumlah lokasi di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Untuk Jawa Tengah, lokasi padusan banyak ditemukan di Klaten, antara lain Umbul Manten dan Umbul Ponggok. Sedangkan di Yogyakarta, tradisi padusan dilakukan pada sejumlah lokasi yang memiliki sejarah seperti Umbul Pajangan di Sleman. Padusan yang berisi mandi dengan niat untuk mensucikan diri demi menyambut datangnya bulan Ramadan.
Tradisi padusan yang berisi mandi untuk membersihkan diri sesuai dengan ajaran agama Islam agar menjaga kesucian diri. Suci adalah keadaan diri terbebas dari segala kotoran dan najis serta hadas. Dalam ilmu fiqih bersuci dari hadas kecil dilakukan dengan berwudhu, sedangkan untuk menghilangkan hadas besar harus dengan mandi. Semua imam mazhab sepakat dengan hal ini.
Islam memang datang kepada umat manusia untuk menata kesucian dan kebersihan. Islam sangat mementingkan kesucian. Bahkan dalam kajian kitab kuning, bab tentang thaharah atau bersuci berada pada bab pertama seperti dalam kitab Fathul Qorib kitab fikih bermazhab Asy-Syafi’i ini disusun oleh Ibnu Qosim Al Ghazi sebagai penjelas kitab Al-Ghayah wa At-Taqrib karya Al Qadhi Abu Syuja.
Ali Ahmad Al-Jurjawi seorang ulama Al-Azhar, Kairo, Mesir dalam kitabnya Hikmatut Tasyri’, h: 59-63 menyebutkan bahwa hikmah bersuci yaitu wudlu dan mandi dapat menumbuhkan semangat baru, mengusir kemalasan. Orang yang menjalankan ibadah bisa tampil dalam keadaan segar, fresh dan semangat. Maka padusan dengan niat membersihkan diri serta bersuci untuk menyambut bulan Ramadan dapat membuat orang yang melakukan tradisi padusan menjadi semangat dalam beribadah di bulan Ramadan serta mengurangi rasa malas. Allah SWT berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 222 yang berbunyi
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat, dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.”
Dalam riwayat Abu Malik al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu, ia meriwayatkan hadis dari baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang tercantum dalam kitab Shahih Muslim:
الطُّهُورُ شَطْرُ الإِيمَانِ
Artinya: “Kesucian adalah setengah dari keimanan.”
Selain padusan tradisi lain yang dilakukan oleh umat Islam di Indonesia khusunya di tanah Jawa adalah megengan. Megengan adalah upacara selamatan sebelum bulan Ramadan, tradisi tersebut berupa kenduri dan saling tukar berkat makanan. Menurut Akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Surabaya, Prof. Dr. Nur Syam, M.Si dalam artikel “Tradisi Megengan di Jawa”, sejarah atau awal mula tradisi megengan tidak diketahui secara pasti namun diduga kuat karena kreasi-kreasi yang menyangkut tradisi akulturasi antara Islam dan Jawa kerap berkaitan dengan pemikiran Sunan Kalijaga sehingga awal mula tradisi megengan untuk menyambut bulan Ramadan diyakini dimulai oleh Sunan Kalijaga.
Megengan dapat diartikan menahan. Dalam konteks menyambut bulan Ramadan, megengan berarti menahan hawa nafsu yang terkait dengan makan, minum, berhubungan seksual, dan lain sebagainya. Megengan mengandung filosofi untuk menahan segala hal yang membatalkan ibadah puasa seperti makan dan minum, serta hal lain yang membatalkan puasa. Megengan juga berarti keselamatan agar tetap terjaga dengan baik menghadapi bulan Ramadan. Megengan juga menjadi tradisi masyarakat Islam khususnya di tanah Jawa sebagai pertanda bahwa akan memasuki bulan Ramadan.
Tradisi megengan biasanya dimulai dengan pembacaan tahlil dan istighosah di musholla-musholla demi menyambut bulan Ramadan, dengan bacaan tahlil dan istighosah masyarakat berharap ampunan dari Allah SWT agar dapat menjalankan ibadah di bulan Ramadan dengan tenang, kemudian terdapat berbagai makanan dan jajanan dari masyarakat yang digabung menjadi satu. Setelah pembacaan tahlil dan istighosah selesai selanjutnya masyarakat akan makan secara bersama-sama makanan yang dibawa oleh masyarakat.
Ada berbagai maknan filosofis dalam tradisi megengan dalam menyambut bulan Ramadan, seperti dari bebasnya orang mengambil nasi selamatan milik orang lain. Seperti halnya setiap umat Islam adalah sama dan punya hak untuk mengambil rezekinya. Disaat nasi selamatan dikumpulkan menjadi satu, memberikan filosofi bahwa rezeki itu milik siapa saja, setiap orang yang hadir bisa mengambil nasi selamatan yang diinginkannya. Bila kamu memberikan nasi selamatan yang terbaik, maka Allah SWT pun akan memberikan rezeki yang baik pula. Makna selanjutnya yakni keikhlasan yang harus dimiliki setiap orang. Ketika kamu menaruh nasi selamatan dengan menu dengan menu terbaik, maka kamu harus ikhlas bahwa menu tersebut bukan milikmu lagi sehingga dapat diartikan bahwa kamu sudah ikhlas memberikan yang terbaik untuk orang lain. Dalam megengan juga sarat akan nilai kebersamaan, kerukunan dan persatuan dalam masyarakat.
Rasulullah SAW bersabda yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم – كل سُلامى من الناس صدقة , كل يوم تطلع فيه الشمس تعدل بين اثنين صدقة , وتعين الرجل في دابته فتحمله عليها أ, ترفع عليها متاعه صدقة , والكلمة الطيبة صدقة , وبكل خطوة تمشيها إلى الصلاة صدقة , وتميط الأذى عن الطريق صدقة ” رواه البخاري ومسلم
Rasulullah SAW bersabda, “Setiap anggota badan manusia diwajibkan bersedekah setiap harinya selama matahari masih terbit; kamu mendamaikan antara dua orang yang berselisih adalah sedekah; kamu menolong seseorang naik ke atas kendaraannya atau mengangkat barang bawaannya ke atas kendaraannya adalah sedekah; setiap langkah kakimu menuju tempat sholat juga dihitung sedekah; dan menyingkirkan duri dari jalan adalah sedekah.” HR Bukhari dan Muslim.
Dalam praktik tradisi megengan erat kaitannya dengan sedekah, sebagaimana isi dari tradisi megengan yang membawa makanan atau jajanan yang kemudian di makan sersama-sama oleh masyarakat. Sedekah sendiri adalah ajaran agama Islam yang sangat dianjurkan untuk dilakukan. Imam Nawawi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan sedekah di sini adalah sedekah yang dianjurkan, bukan sedekah wajib. Ibnu Bathal dalam Syarah Shahih al-Bukhari menambahkan bahwa manusia dianjurkan untuk senantiasa menggunakan anggota tubuhnya untuk kebaikan. Hal ini sebagai bentuk rasa syukur terhadap nikmat yang diberikan oleh Allah Subhahanu wa Ta’ala.
Dalam praktik megengan juga sarat akan nilai kebersamaan dan persaudaraan, sebagaimana Rasulullah SAW Bersabda yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dalam Sunan-nya 4/465, cetakan Musthafa al-Babi, Mesir, cet. II.
عَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ وَإِيَّاكُمْ وَالْفُرْقَةِ، فَإِنَّ الشَّيْطَانَ مَعَ الْوَاحِدُ، وَهُوَ مِنَ الْاِثْنَيْنِ أَبْعَدُ، مَنْ أَرَادَ بُحْبُوْحَةَ الْجَنَّةِ فَلْيَلْزِمِ الْجَمَاعَةَ، مَنْ سَرَّتْهُ حَسَنَتُهُ وَسَاءَتْهُ سَيِّأَتُهُ فَذَلِكَ الْمُؤْمِنُ
Rasulullah SAW bersabda, “Kalian wajib bersama dengan al-jamaah, dan berhati-hatilah kalian dari perpecahan. Sesungguhnya, setan bersama orang yang sendirian, sedangkan dari orang yang berdua, dia lebih jauh. Barang siapa yang menginginkan tengah-tengahnya (yang terbaiknya) surga, hendaklah dia bersama jamaah. Barang siapa yang kebaikan-kebaikannya menggembirakan dia dan kejelekan-kejelekannya menyusahkan dia, dia adalah seorang mukmin.” HR At-Tirmidzi.
Dalam praktik padusan dan megengan sebagai bentuk rasa gembira akan datangnya bulan Ramadan, seperti riwayat Imam Ahmad dan An-Nasa’i mengabarkan bahwa Rasulullah SAW juga mengekspresikan kegembiraannya kepada para sahabat perihal kedatangan bulan suci Ramadhan
وَقَدْ كَانَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُبَشِّرُ أَصْحَابَهُ بِقُدُوْمِ رَمَضَانَ كَمَا أَخْرَجَهُ الإِمَامُ أَحْمَدُ وَالنَّسَائِيُّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَلَفْظُهُ لَهُ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُبَشِّرُ أَصْحَابَهُ بِقُدُوْمِ رَمَضَانَ بِقَوْلِ قَدْ جَاءَكُمْ شَهْرُ رَمَضَانَ شَهْرٌ مُبَارَكٌ كُتِبَ عَلَيْكُمْ صِيَامُهُ تُفْتَحُ فِيهِ أَبْوَابُ السَّمَاءِ وَتُغْلَقُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ وَتُغَلُّ فِيهِ الشَّيَاطِينُ فِيهِ لَيْلَةٌ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ مَنْ حَرُمَ خَيْرَهَا فَقَدْ حَرُمَ الخَيْرَ الكَثِيْرَ
Artinya: Rasulullah SAW memberikan kabar gembira kepada para sahabat atas kedatangan bulan Ramadhan sebagaimana riwayat Imam Ahmad dan An-Nasai dari Abu Hurairah RA. Ia menceritakan bahwa Rasulullah memberikan kabar gembira atas kedatangan bulan Ramadhan dengan sabdanya: Bulan Ramadhan telah mendatangi kalian, sebuah bulan penuh berkah di mana kalian diwajibkan berpuasa di dalamnya, sebuah bulan di mana pintu langit dibuka, pintu neraka jahim ditutup, setan-setan diikat, dan sebuah bulan di mana di dalamnya terdapat malam yang nilainya lebih baik dari seribu bulan. Siapa saja yang luput dari kebaikannya, maka ia telah luput dari kebaikan yang banyak. (Lihat Az-Zarqani, Syarah Az-Zarqani alal Mawahibil Ladunniyah bil Minahil Muhammadiyyah, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 1996 M/1417 H], juz XI, halaman: 222).
Tradisi yang dilakukan oleh umat Islam khususnya masyarakat Jawa dengan padusan dan megengan merupakan tradisi yang harus dilestarikan ketika menyambut datangnya bulan Ramadan. Pelaksanaan yang tidak melanggar syariat dan mempunyai nilai-nilai kebaikan serta sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam seperti bersuci, sedekah, silaturrahmi dan sebagai bentuk kegembiraan akan datangnya bulan Ramadan.