Pendidikan dapat dikatakan sebagai bagian dari upaya menyadarkan akan pentingnya harkat dan martabat manusia. Seandainya output pendidikan itu disederhanakan, muara akhir dari pendidikan adalah bukan menjustifikasi bisa-tidak bisa, pandai-bodoh, rajin-malas, dan sebagainya. Tetapi, muara dari pendidikan adalah menciptakan manusia yang tidak lelah untuk belajar. Selagi kehidupan masih berlangsung, saat itu pula belajar masih dilakukan. Persoalan ini menjadi sebuah hal yang “baru”, tetapi kemunculannya sudah berlangsung sejak lama.
Ki Hajar Dewantara sebagai salah satu tokoh besar pendidikan di Indonesia, meletakkan dasar bahwa setiap orang adalah pelajar sepanjang hayat sesuai dengan kodrat alam. Premis ini menjadi sebuah konsensus bahwa pembelajaran di Indonesia adalah sesuatu yang terus berjalan dan harus dijalankan sebaik mungkin. Sebagai pelajar, tidak ada kepuasan mutlak sebagai puncak akademis. Dalam sudut pandang lain, ketika seseorang puas dalam belajar maka di saat itu juga ia berhenti dari proses pembelajaran itu sendiri. Tidak ada yang menjamin ketika seseorang sudah memahami sebuah ilmu lantas dianggap sebagai “paripurna”.
“Mangka kanthining tumuwuh / salami mung awas eling / eling lukitaning alam / dadi wiryaning dumadi / supadi nir ing sangsaya / yeku pangreksaning urip.”
“Di sisi lain sebagai sebuah tindakan yang tumbuh / selama hidup seseorang dibekali dengan waspada dan ingat / ingat terhadap tanda alam / yang menjadikan keluhuran makhluk / supaya mereka tidak memiliki kesengsaraan / itulah penjagaan kehidupan.”
Serat Wedhatama – KGPAA Mangkunagara IV
Sebuah kutipan singkat dari bait-bait Serat Wedhatama pupuh Kinanthi seperti membuka kembali catatan dan menggerakkan kembali sendi-sendi pendidikan yang hilang. Setelah menelusuri jejak tembang dan pertalian makna, keberadaan sembah catur (raga, jiwa, cipta, rasa) dalam pupuh Gambuh sebagai perjalanan penghambaan manusia, pengarang melanjutkannya dengan pupuh Kinanthi—berasal dari Bahasa Jawa kata kanthi yang bermakna menyertai, dengan, melalui—tentang sesuatu cara agar sembah catur itu tadi berbuah (tumuwuh), yakni dihiasi dengan awas eling.
Awas dan eling memiliki variasi penyebutan misalnya eling lan waspada sebagaimana dalam Serat Kalatidha karya Raden Ngabehi Ranggawarsita. Akan tetapi, dalam konteks isi teks ini tidak bisa disamakan dengan Serat Kalatidha. Dalam Kalatidha, parameter eling lan waspada sebagai sebuah jalan tentang komparasi baik dan buruk, begjane kang lali – eling lan waspada. Sementara dalam Wedhatama, menekankan progresivitas dalam meningkatkan kualitas sembah catur tersebut disertai dengan awas eling.
Nuansa batin teks pupuh Kinanthi dalam Wedhatama memang beraksentuasi pada ajaran spiritual. Akan tetapi, pengaplikasian teks ini bisa dijalankan untuk memotivasi gerak pendidikan. Permasalahan tersebut tidak hanya pada masalah menciptakan hal baru dalam kerangka inovasi, tetapi bisa menjadi jalan untuk memutus diskontinuitas dalam pendidikan. Konsepsi pendidikan perlu mempertimbangkan bagaimana memosisikan pendidikan bukan pada bangunan fisiknya, tetapi pada perkembangan peserta didiknya.
Pendidikan berbasis individu—dalam diri satu orang—memiliki tegangan yang rumit, berbeda dengan sistem pendidikan bersama yang institusional. Permasalahan yang terjadi adalah paradigma pendidikan seringkali hanya dibatasi pada sebuah institusi pendidikan yang berwujud langsung seperti sekolah, kampus, lembaga pelatihan, dan sebagainya. Namun demikian, masih ada institusi sosial yang jauh memiliki fungsi kontrol terhadap perilaku individu. Fungsi kontrol melalui nilai norma dan kesepakatan bersama menjadi salah satu rel dalam menentukan benar salahnya seseorang. Dengan demikian, secara sederhana dalam pendidikan sepanjang hayat ini bukan mempermasalahkan pandai-bodoh, tetapi menekankan sikap benar-salah dalam bertindak.
Dalam kutipan tembang di atas, ada ungkapan yang perlu digarisbawahi yakni eling lukitaning alam dadi wiryaning dumadi, seraya mengingat bahwa pertanda alam ketika dipahami dengan baik akan menjadikan makhluk yang luhur dan jauh dari kesengsaraan. Tanda alam bisa kita maknai sebagai kodrat alam dalam konteks pemikiran Ki Hajar Dewantara, yaitu sebuah progres yang dinamis dan memiliki jalinan kuat dimana individu tersebut tinggal. Dengan demikian, ketika seseorang sudah lulus dari pendidikan formal maka tahapan selanjutnya adalah beradaptasi melakukan sintesis atas norma yang ada di masyarakat.
Sebagai komparasi, Nada Babic dalam jurnal Early Child Development and Care (2017) menyebutkan bahwa dalam persepsi anak usia dini, sekolah dimaknai sebagai sebuah bangunan yang didalamnya terjadi proses belajar mengajar dimana anak belajar dan dinilai oleh guru. Ia juga menjelaskan bahwa guru—dalam pendidikan anak usia dini—mengatur dan menilai pembelajaran yang ia lakukan. Dalam konteks pendidikan andragogi, pendidikan sepanjang hayat adalah memberikan stimulus kepada siswa untuk belajar. Jarvis dalam jurnal Studies in Education of Adults (1984) menyebutkan bahwa orientasi pendidikan bagi individu dewasa adalah pengetahuan praktis mengenai lingkungan sekitar yang digerakkan oleh motivasi belajar internal. Dengan demikian, belajar sepanjang hayat pada prinsipnya adalah sebuah perimbangan antara sesuatu yang didapatkan selama kuliah dan resepsi kehidupan sehari-hari di masyarakat.
Keberadaan sastra piwulang dalam merespon rasa sebagai titik utama, bisa dikatakan sebagai jalan untuk melihat keadaan di sekeliling kita. Tidak semua hal bisa diselesaikan melalui teoritis sistematis. Ada kalanya seseorang menggunakan simpati dan empati untuk merasakan dan mempelajari apa yang terjadi di masyarakat. Hal ini yang kemudian dikatakan sebagai social sensitivy yang menghapus ego dan subyektivitas diri. Elisa Magri dalam European Journal of Philosophy (2021) menuliskan tentang perspektif Husserl bahwa pada prinsipnya setiap orang memiliki persepsi yang berbeda dan sangat mungkin menimbulkan konflik. Dengan adanya social sensitivity ini, maka individu diarahkan melalui pengalaman subyektif untuk saling memahami satu dengan yang lain.
Sebagai penutup, perlu kita garis bawahi bersama bahwa pendidikan tidak sepenuhnya selesai ketika seseorang sudah memegang ijazah. Suatu langkah konkret yang bisa dilakukan adalah bagaimana segenap insan pendidikan di Indonesia melihat belajar sepanjang hayat adalah upaya membentuk individu yang selalu berkembang. Institusi formal adalah ajang untuk memahami alat berpikir, institusi sosial adalah lahan untuk menerapkan pola pikir yang bekelanjutan sepanjang hayat. Awas eling adalah jalan melihat bahwa kondisi alam dan sosial adalah sebuah “misteri” yang tidak bisa ditebak.