Ini pertama kali saya mengkhatamkan buku filsafat. Judulnya Cara Kerja Ilmu Filsafat dan Filsafat Ilmu: Dari Dialektika ke Dekonstruksi. Sejak pertama membeli buku filsafat di tahun 2020, judulnya From Socrates to Sarte, saya punya misi membikin tulisan reflektif tentang apa yang saya dapat dari sebuah buku filsafat.
Alasannya begini. Filsafat seperti begitu jauh dari jangkauan kita, kecuali untuk sekelompok kecil orang. Kalaupun memaksakan diri membaca buku-buku filsafat, manfaatnya sedikit sekali bagi kultur keilmuan Fikih-Usul Fikih di pesantren. Karena itu, catatan ini saya buat agar anda nanti dapat menilai apakah filsafat itu dekat dan punya daya dorong lebih bagi basis keilmuan kitab kuning kita. Pada gilirannya nanti, semoga anda tidak lagi alergi filsafat.
Filsafat lahir dan besar di Yunani (yang dimaksud adalah Yunani Kuno). Situasi negara kecil ini, mulai dari letak geografis, sistem politik dan karakter penduduknya, adalah lahan subur bagi perkembangan filsafat. Yunani kalah luas dengan negara-negara tetangga. Dengan hanya luas Pulau Jawa-Madura, Yunani tidak memiliki kekayaan alam. Hanya seperlima luas wilayahnya yang sangat cocok untuk pertanian. Kondisi yang demikian memang menyulitkan masyarakat, namun juga sekaligus membuat orang-orang di dalamnya berpikir mencari solusi. Orang-orang Yunani aktif mengambil inisiatif tindakan agar tidak kalah, bahkan mengungguli negara tetangga. (Selengkapnya baca buku The Geography of Genius, Eric Weiner).
Dampaknya, sistem politik yang terbentuk di Yunani adalah sistem demokrasi. Keputusan publik diambil lewat suara terbanyak dari para perwakilan masyarakat yang dipilih secara acak. Sebutan bagi dewan juri ini adalah Majelis Pengadilan. Saat kekuasaan yudikatif sepenuhnya jadi milik masyarakat, jika suatu saat anda berhasrat untuk melakukan siasat dan manuver politik maka kemampuan berbicara yang dapat mempengaruhi orang adalah alat paling efektif mencapai tujuan itu. Kemampuan ini bernama Retorika.
Retorika adalah seni berbicara, yang salah satu tujuannya, adalah mempengaruhi kepercayaan orang. Mereka yang ahli di bidang ini disebut kaum Sofis. Konon, asal anda punya uang untuk membayar, mereka mampu mengubah seorang ateis menjadi beriman juga pada hari yang sama memurtadkan orang dari agamanya. Memenangkan hati calon mertua terlalu mudah.
Alhasil, di zaman itu kaum Sofis punya peran besar dalam banyak keputusan-keputusan publik, terutama di Yunani dengan sistem politik yang demikian. Model Retorika, yang orientasinya memenangkan debat dan masa bodoh dengan kebenaran, adalah cara argumentasi khas kaum Sofis yang digunakan terutama di pengadilan.
Karena alasan ini kaum Sofis jadi musuh besar para Filsuf. Jika yang satu mementingkan kemenangan merebut suara mayoritas, yang lain menginginkan kebenaran. Bagi Sokrates, kebenaran tidak bisa divoting. Kebenaran tidak identik dengan suara mayoritas, apalagi bila berada di tengah warga negara dengan latar belakang yang beragam. Seni Retorika yang jadi alat utama kaum brengsek ini sulit untuk tidak dibenci oleh Sokrates. Plato menggambarkan gurunya itu sebagai figur penggemar argumentasi dialektis. Selanjutnya kita beralih pada alat Sokrates mencari kebenaran, yaitu Dialektika. (A. Setyo Wibowo, Cara Kerja Ilmu Filsafat Dan Filsafat Ilmu: Dari Dialektika Ke Dekonstruksi, hal. 3).
Bila Retorika melandaskan diri pada logika penampakan (karena mementingkan efektivitas meyakinkan orang), Dialektika konsisten pada kebenaran yang tidak mementingkan suara mayoritas orang. Perbedaan keduanya bisa dilihat dari struktur dan arahan umumnya. Baik Dialektika maupun Retorika sama-sama menggambarkan dua pendirian yang saling bertentangan. Dialektika membenturkan keduanya lewat proses tanya-jawab yang pendek-pendek dan sambung-menyambung. Sementara, Retorika mengutamakan wacana panjang yang saling bergantian antara satu posisi dan posisi lainnya. Dialektika mengapresiasi kedua pihak, berbeda dengan Retorika.
Dalam sistem pengadilan Yunani, terdakwa dan penuduh mesti saling beradu argumen di depan dewan juri. Seperti disebut di muka, dewan juri terdiri dari warga negara yang terundi menjadi Majelis Pengadilan. Karena itu, kedua belah pihak sejatinya tidak sedang beradu argumen demi membuktikan salah-benar posisi masing-masing, akan tetapi argumen ditujukan untuk dewan juri agar mereka dapat condong kepada salah satu pihak. Wacana yang paling tampak benar akan keluar sebagai pemenang.
Retorika yang sering bersinggungan dengan kita, biasanya dipakai penceramah, adalah trik ad auditores. Trik berikut sering digunakan di dalam perdebatan antar-cendekia ketika orang-orang terdidik hadir menyaksikannya. Jika anda tidak punya argumen valid untuk mendebat lawan, maka anda dapat mulai dengan melontarkan beberapa keberatan yang tidak valid, namun hanya para ahli yang dapat mengetahuinya, sementara penonton menganggapnya benar. Karena lawan anda adalah seorang ahli, di matanya anda akan kalah, namun penonton menganggap anda pemenangnya karena melihat lawan anda berusaha membenarkan dirinya mati-matian, khususnya jika keberatan yang anda lontarkan terdengar sangat konyol bagi lawan namun terkesan inspiratif bagi penonton. (Lihat Arthur Schopenhauer, Seni Berdebat 38 Jurus Memenangkan Argumen, ed. Hans Hayon, 2nd ed. (Yogyakarta: Circa, 2020), 42.)
Sistem pengadilan Islam tidak menerima wacana yang hanya tampak benar. Meski terdakwa dan penuduh tetap diharuskan berargumen membela diri, pembelaan itu tidak semuanya diterima, ada sebagian yang ditolak sebagaimana tampak dari penilaian valid tidak (ashah) suatu sangkalan dalam bahasan-bahasan Fikih pada bab Dakwa wa Bayyinat (Tuduhan dan Bukti-bukti). Hal ini bertujuan meminimalisir bias-bias argumen seperti dalam Retorika. Selain itu, pengadilan Islam juga mengharuskan para hakim –sebagai ganti dewan juri- berada dalam kondisi netral dan tidak berada di bawah pengaruh negatif, baik internal atau eksternal. Dalam suatu hadis, “Hakim tidak boleh memutuskan sengketa dua pihak saat ia tengah marah.” (H.R. Al-Bukhari 7158)
Kesimpulan tulisan pertama ini adalah: Kaum Sofis yang haus kemenangan lewat Retorika merupakan lawan utama para Filsuf yang mencari kebenaran dengan Dialektika. Islam sendiri, seturut pandangan Al-Ghazali di tulisan kedua nanti, membenci kaum Sofis dan Retorika serta mengapresiasi para Filsuf (tidak semua) dan Logika Dialektika mereka. (-)