Maulana Nur Rohman
Penulis Kolom

Santri Ma'had Aly Marhalah Ula Situbondo. Pimpinan Redaksi Buletin GAMIS.

Menimbang Tiga Prinsip Ekonomi Al-Ghazali (2): Ekonomi Legal (Islam)

Whatsapp Image 2022 01 04 At 22.40.28

Sebagai pengantar, al-Ghazali mengelompokkan manusia dalam tiga golongan berdasarkan visi mereka hidup di dunia. Pertama adalah manusia yang hanya mementingkan dunia tanpa memperdulikan kehidupan akhirat. Kelompok ini disebut al-Ghazali termasuk macam manusia yang tidak selamat. Kedua adalah manusia yang mabuk dengan akhirat sehingga melupakan urusan dunia. Sekalipun termasuk macam manusia yang selamat tapi kelompok ini masih dikategorikan kelas kedua. Kelas utama adalah kelompok manusia yang menyibukkan diri dengan dunia tapi tetap berorientasi pada akhirat. Yang terakhir ini adalah kelompok terbaik. (Ihya’ Ulumuddin, hal 502)

Pada uraian selanjutnya, tema ekonomi Islam dirangkum al-Ghazali dalam 5 bab besar. Jika pada bab pertama al-Ghazali memotivasi pembacanya untuk melakukan kegiatan ekonomi dengan memaparkan banyak dalil-dalil yang menggambarkan betapa Islam sangat menganjurkan manusia aktif bekerja mencari rizki (bab al-kasbi wa al-hatss ‘alaih), bab terakhir menjadi tempat di mana al-Ghazali meletakkan dasar-dasar visi (niat) ideal tentang tujuan perniagaan dilakukan (fi syafaqah at-tajir ‘ala nafsihi wa diinihi).

Buah pikir al-Ghazali yang saya kaji adalah 3 bab tengah. Sebab di sana al-Ghazali sedang merumuskan 3 prinsip utama ekonomi Islam yaitu (1) legal dan sah (shahih), artinya praktik ekonomi merupakan kegiatan yang sah dan halal (fi ‘ilm shahih al-bai’ wa as-syira’ wa al-mu’amalah), (2) tidak mengandung kelaliman (‘adil); perniagaan tidak boleh merugikan orang lain (fi bayan al-‘adl fi al-mu’amalah), dan (3) ekonomi terpuji (ihsan), di mana transaksi  bukan saja mendatangkan manfaat untuk diri sendiri tapi juga manusia secara umum (fi bayan al-ihsan fiiha).

Baca juga:  Ulama Banjar (6): Syech Abdurrahman Siddiq

Ekonomi Legal (Islam)

Agar kegiatan transaksi menjadi legal (sah) syariat memberlakukan beberapa ketentuan (hukum wadl’i). Hal ini bukannya tanpa alasan, sebab di balik ketentuan tersebut jika diamati semuanya bertujuan untuk menjamin kemaslahatan manusia dan menghindari praktik penipuan dalam ekonomi. Seperti misalnya keharusan ijab-kabul (sighat) diberlakukan untuk memastikan kedua pihak melakukan transaksi atas dasar saling rela.

Bertolak dari sini, al-Ghazali mengharuskan pelaku transaksi agar benar-benar mengetahui dan menepati syarat dan ketentuan yang telah digariskan dalam perniagaan tersebut agar mendapat legalitas. Terbukti, bab kedua yang berjudul ‘ilm shahih al-bai’ menjelaskan syarat dan ketentuan mendasar dalam berbagai kegiatan ekonomi.

(Jika kita perbandingkan, kata sah dan selamat memiliki kesamaan. Akad jual beli bisa sah dan legal bilamana tidak terdapat cacat dalam syarat dan ketentuan tersebut. Dengan kata lain, perniagaan yang dilakukan selamat dari hal-hal yang membuatnya fasid.)

Kegiatan ekonomi yang dimaksud al-Ghazali dalam Ihya’ hanya berkisar pada 6 transaksi; jual-beli (bai’), riba, pesanan (salam), sewa (ijarah), hutang-piutang (qiradl), dan kongsi (syirkah). Alasan al-Ghazali membatasi uraiannya pada macam-macam transaksi di atas adalah dikarenakan semua kegiatan ekonomi tidak akan pernah lepas dari 6 transaksi ini. Secara tersirat, pakar fikih ini menyatakan bahwa bagaimanapun bentuk suatu transaksi baru pastinya memiliki kemiripan substansi dengan 6 transaksi di atas. (Ihya Ulumuddin, hal 507)

Baca juga:  Meneladani Dakwah Kiai Mu’in Banyuwangi: Welas Asih dan Tidak Pernah Memungut Biaya

Dari ke-6 macam tersebut, al-Ghazali memberikan warning tentang transaksi riba. Sedari awal pembahasan, ia menegaskan bahwa Allah mengharamkan riba. Kaum muslim wajib menghindar dari praktek riba. Dalam literatur fikih, dijelaskan bahwa riba hampir selalu berkaitan dengan uang. Al-Ghazali benar membatasi ruang akad riba dalam 2 hal, kalau tidak berhubungan dengan uang (naqd) berarti makanan pokok (tha’am).

Dalam konteks ekonomi makro, perdagangan mata uang (foreign exchange market), seperti dinar dengan dirham atau rupiah dengan dolar membuat fungsi mata uang berubah, dari sebelumnya sebagai alat tukar menjadi komoditas perdagangan. Akibatnya ketika terjadi ketidakseimbangan kurs mata uang yang disebabkan oleh melonjaknya permintaan uang tertentu, dolar misalnya, akan terjadi inflasi pada suatu negara yang mata uangnya mengalami penurunan kurs. Inflasi pada akhirnya mengakibatkan tren kenaikan harga komoditas barang di pasaran. Harga pangan yang meroket naik akan menyulitkan masyarakat menengah bawah memenuhi kebutuhannya.

Sekalipun uraian yang diberikan tidak sepanjang bab jual-beli sebelumnya, al-Ghazali mengatakan bahwa apa yang telah ia tuliskan telah memuat semua informasi penting yang mendasar perihal riba. Sebab berpanjang lebar membahas suatu konsep hingga terasa membingungkan hanya akan menyulitkan praksis. Di sini jelas al-Ghazali sedang menyederhanakan konsep riba dan tidak ingin berbelit-belit. Katanya ketika mengakhiri bab riba,

Baca juga:  Ajengan Ahmad Dimyathi: Ulama Ahli Pengobatan dan Kolektor Kitab Langka

فَهَذِهِ جُمَلٌ مُقْنِعَةٌ فِي تَعْرِيْفِ الْبَيْعِ وَالتَّنْبِيْهِ عَلَى مَا يُشْعِرُ التَّاجِرَ بِمَثَارَاتِ الْفَسَادِ حَتَّى يَسْتَفْتِي فِيْهَا إِذَا تَشَكَّكَ وَالْتَبَسَ عَلَيْهِ شَيْءٌ مِنْهَا وَإِذَا لَمْ يَعْرِفَ هَذَا لَمْ يَتَفَطَّنْ لِمَوَاضِعِ السُّؤَالِ وَاقْتَحَمَ الرِّبَا وَالْحَرَامَ وَهُوَ لَا يَدْرِي

Uraian ini telah cukup untuk mengenal jual-beli yang dapat membantu pedagang mengenali sebab-sebab fasad, jadi ia bisa menyakan persoalan yang ia ragukan dan tidak jelas. Apabila seseorang tidak memahami uraian singkat ini ia tidak akan mampu memahami duduk persoalan, lalu ia akan melakukan riba dan praktek haram sementara ia tidak mengetahuinya. (Ihya Ulumiddin, hal 512)

Bab ilm shahih al-bai bagi saya merupakan ide pertama al-Ghazali berkenaan ekonomi Islam. Ia mengajak pembacanya untuk sadar hukum. Perniagaan yang dilakukan di kehidupan sehari-hari mesti diketahui hukum halal dan haramnya. Ia menceritakan kisah khalifah Umar ra. yang memarahi orang-orang di pasar Madinah yang melakukan transaksi tanpa mengetahui legal tidaknya transaksi yang ia lakukan. Sebab bisa-bisa, pasar akan menjadi tempat di mana praktek haram dilestarikan tanpa disadari.

 Kesimpulannya, sikap sadar hukum akan legalitas transaksi membuat kegiatan ekonomi masyarakat akan selamat dari cacat praktik. Dengan begitu Islam memiliki prinsip ekonomi yang pertama: Ekonomi Legal (islam).

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top