Sedang Membaca
Moderasi Lintas Agama ke Ideologi

Alumnus Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon.

Moderasi Lintas Agama ke Ideologi

Photo 1606838974689 1a4039d727fa

Teman saya pernah mengalami pengalaman absurd. Satu waktu, (sebut saja) Irna sedang ngiras di sebuah angkringan. Tapi, bukannya suguhan jahe susu yang datang, dia malah mendapat segelas khutbah keagamaan. Gratis.

“Ihh… aku lho pernah zip… lagi di angkringan, ditanyain bapak-bapak menjelang sepuh, ‘udah bisa ngaji belum?’

“Aku kaget lah… orang aku Kristen. Ya ku jawab ‘belum hehe’. Tapi aku ga bilang kalau aku Kristen. Terus dia bilang ‘ihh masa udah gede ga bisa ngaji. Terus aku diceramah-ceramahin…” sambung Irna.

“Ahahaha… ihh parah banget… masa sih dia ga tanya-tanya dulu? Belum tentu orang yang diajak ngobrolnya juga (beragama) Islam,” sahut Linda sambil membetulkan pashmina-nya yang terasa agak melipat.

Irna adalah sahabat Linda. Kami (saya, Irna dan Linda) adalah satu almamater kampus di Universitas Mercu Buana Yogyakarta. Ia seorang Protestan dan aktif dalam gerakan advokasi perempuan. Irna juga mahir menyanyi. Dulu, ia pernah menjadi anggota paduan suara Gereja ketika SMA.

Sementara itu, Linda merupakan ‘putri’ Solo ashli pake shad. Masa kecilnya dulu diwarnai oleh sekolah madrasah diniyyah. Menjelang SMA, keluarganya harus pindah domisili kecamatan. Kebetulan, sekolah SMA terdekat di domisili barunya adalah SMA Muhammadiyyah.

Linda (Kiri) & Irna (Kanan)

“Kamu ko bisa klop sama Irna, Lin?” tanya saya.

“Ga tau sih, tapi dia orangnya baik. Selalu dengerin orang. Orang mungkin kalo baru pertama kali liat Irna, ‘ihh ini cewe apaan sii!? Ga bisa diem, ada tattonya, dan ga ada ‘cewe-cewe’-nya. tapi aslinya dia baik ko…”

“Baaadala… hahaha” Sahut Irna.

“Dulu juga aku awalnya kaget pas baru masuk kuliah. Ko temen-temennya gini? Mungkin karena shock-culture kali ya. Aku yang dulu awalnya sekolah di sekolah Islam, terus lanjut di kampus umum. Tapi lama-lama seru sih, bisa punya temen karakternya beda-beda. Ga cuma etnis atau agamanya aja, tapi kelakuannya juga hahaha…” Kata Linda.

Linda dan Irna adalah dua orang dari lingkar teman kampus kami yang lebih besar. Mereka beragam: Ada yang ex-konsumen jamur halusinasi, tapi kini jadi pengusaha manggleng; Ada yang ex-terlibat ‘Pablo Escobar’ Jakarta, kemudian sekarang jadi mahir organisasi dan ekopol; Ada yang anak pramuka tiba-tiba berubah jadi Anarko ketika kuliah dan berubah lagi jadi ‘ahli sholawat’ sejak bandara Yogyakarta International Airport diresmikan; dan ada juga yang memang sejak dari SMA terobsesi dengan bisnis dan kehumasan, sampai-sampai ia selalu tampil klimis setiap masuk kampus.

Baca juga:  Fenomena Hijrah, Materialisasi Taubat, dan Kerawanannya (2/2)

Ketika pertama kali masuk kuliah, Linda mengerutkan dahi. Ia khawatir pada pengaruh negatif yang mungkin diperolehnya. Hal yang dikhawatirkan Linda, juga pernah penulis alami. Mungkin ini muncul karena latar belakang pendidikan agama kami di masa kecil. Di masa-masa awal kuliah, stigma terhadap orang yang solat dan tidak solat misalnya, juga pernah penulis lakukan tanpa sadar. Seiring dengan berjalannya waktu, dan sering semakin intens-nya perjumpaan kami dengan teman-teman, prejudis itu luruh.

Mungkin benar kata pepatah, ‘tak kenal maka tak sayang.’ Tapi, diversitas karakter itu secara tidak langsung mengukuhkan tentang manfaat salah satu kutipan di Minhus Saniyyah, yakni ‘marah dan ridha-nya Allah adalah dua hal yang dirahasiakan Allah,’ yang intinya menyiratkan bahwa manusia tak memiliki hak prerogatif apa-apa untuk menghakimi manusia lainnya.

Malam pertemuan kali ini adalah sejenis kopdar kecil-kecilan. Setelah lulus, kami berdiaspora di berbagai daerah. Linda bekerja di Yogyakarta. Sementara Irna, ia tinggal di Bali, namun pekerjaannya melawat ke berbagai pelosok negeri, memastikan bahwa pipa air pengairan tetap lancar bagi warga lokal. Kebetulan, mereka sama-sama sedang ada urusan di Jakarta, dan penulis sedang liburan di rumah, Bekasi. Kami memutuskan untuk bertemu di kedai kopi.

Malam itu Linda mengilas balik kawan kami yang tadinya simpatisan Anarko menjadi simpatisan sholawat. Sebut saja namanya Akhy. “Kamu inget kan zip dulu pas 2018, pas jaman-jamannya NYIA mau dibangun? Akhy kan semangat banget ikut-ikut ke sana, nganuin [advokasi] warga, nolak-nolak pemerintah, ya pokoknya gitulah…”

“Pernahkan waktu itu aku sama dia ngopi. Pas aku baru dateng, dia lagi baca. Ku tanya, ‘baca apa khy?’ dia terus ngasih liat cover bukunya, God and State, ga tau penulisnya siapa, aku lupa…” kata Linda

“Oh, itu… Hmm… Mikhail Bakunin.” Sahut penulis.

“Nah iya itu kayaknya.” Sambung Linda, “terus dia cerita soal katanya selama masih ada Tuhan dan pemerintah, selama itu juga penindasan bakal terus ada. Tapi tuh sekarang dia rajin solat hahaha tiap kali nongkrong, terus magrib, ‘mau kemana khy?’, dia kyolong ke mushola. Terus doa-nya lama. Ku tanya ke dia, ‘kok sekarang kamu rajin khy?’. Katanya dulu pas jaman-jaman di Kulonprogo [advokasi warga penolak bandara NYIA] dia pernah tidur di mushola desa, terus dimimpiin sama orang tua ga tau siapa, nah, si orang tuanya ini ngasih nasihat-nasihat gitu.

Baca juga:  Anak-Anak Kita: Perundungan, Kesenangan Semu, hingga Sogokan di Sekolah

“Dia kebangun kan [dari tidurnya], terus ga lama tuh dia diliatin sama ‘makhluk halus’ di musholanya. Awalnya pas kejadian itu, dia agak ga percaya, tapi udah ada kepengenan buat rajin. Sampe dia tuh bener-bener yakin gara-gara―dia sering kan ke lahan-lahan konflik gitu―pas di Urutsewu, Kebumen.

“Entah dapet apa dia di sana, tapi pernah pas aku tanya ‘kamu kok sekarang rajin?’ dia bilang, ‘iya aku gapernah dapet kesempatan buat mesantren, atau dapet kesempatan tinggal di lingkungan yang religius. Pelajaran agama ku ya dapet dari main-main ke lahan konflik itu, di sana ketemu warga desa, tokoh-tokoh, dan kyai kampung. Aku ga kebayang, di Urutsewu itu, advokat utamanya kyai kampung. Warga dan dia udah nempatin lahan lama, terus ada konflik, tapi dia sama sekali ga perhitungan, dan dia udah mempertahankan advokasinya lama. Dari ketemu-ketemu itu kadang aku dapet nasihat, dapet pelajaran, yang kalo dibanding sama ideologi-ideologi kolektif, beda jauh. Dan pas Mayday 2018 pecah di Jogja, banyak temen-temen kolektif yang ketangkep,  kebetulan aku lagi balik ke rumah, tapi di situ keliatan ketulusan gerakan kolektif tetep ga sebanding sama ketulusan pemimpin lokal.’”

Linda kaget dengan perubahan Akhy. Linda masih ingat awal jumpa dengan Akhy meninggalkan kesan garang sehubungan dengan rambut Akhy yang gondrong dan hobi mengenakan setelan pakaian hitam-hitam. Tapi seiring makin intens-nya perjumpaan, Linda melihat Akhy adalah orang yang dermawan, ia tidak pernah mempermasalahkan soal uang dan akomodasi―meskipun ia bukan orang kaya―baik untuk penunjang keseruang nongkrong ataupun untuk tujuan pinjaman.

“Kadang aku ngerasa malu sih… kita yang sering nampakin diri Islam, tapi masih kasar ke orang lain, sekalipun itu berupa tatapan [stigma]. ” Kata Linda

“Ya, sebenernya ga bisa disalahin juga sih Lin,” timpa Irna. “Kamu mungkin kebantu sama [daya] refleksimu. Tapi orang lain [muslim] belum tentu. Apalagi [arus] yang populer kan arus kacamata hitam-putih. Jadi susah buat mewujudkan dunia yang nggak stigmatis.” Pungkas Irna.

Obrolan Linda dan Irna mungkin telah memperinci dimensi ucapannya mendiang Gus Dur, ‘kalau kamu berbuat baik, orang tidak tanya agama mu apa,’ pada taraf, tidak hanya agama, tapi juga perbedaan ideologi.

Akan tetapi, pengalaman Linda dan Irna tetaplah menjadi tabu di tengah tingginya komitmen pemeliharaan stigma (baik stigma antar agama, ideologi, ataupun benturan keduanya) oleh sebagian elit yang mengambil keuntungan politik dari gesekan itu.

Baca juga:  Hidup Tanpa RT/RW

Walaupun demikian, Irna merasa kalau untuk anak seusia kami yang freshgraduate, simpati-simpati terhadap wacana kiri tidak melulu sepenuhnya berarti komitmen terhadap ideologi kiri.

“Banyak juga yang ikut-ikut karena ngerasa keren dan ‘beda’. Ada juga ikut-ikut karena lagi dalam proses belajar, nyari temen, belajar kenal lingkungan sekitar, dan macem-macem. Meski yaa ada juga sih yang emang bener-bener fanatik. Tapi kalau dibandingin, jumlahnya kayaknya ga seberapa. Tapi intinya satu, mereka sebenernya sayang sama lingkungan dan masyarakat sekitar, Cuma artikulasinya aja yang ‘agak’ beda dan argumentasinya yang ga sepenuhnya bisa diterima, jadi sering dapet penolakan, kutukan, kecaman dari orang sekitar, dan ga jarang juga jadi bulan-bulanan keamanan. Yang akhirnya, mereka sering digeneralisasi, padahal mereka butuh diliat dengan teliti dan dideketin lewat dialektika yang konstruktif.”

Dalam bunga rampai Ulama, Politik dan Narasi Kebangsaan: Fragmentasi Otoritas Keagamaan di Kota-Kota Indonesia (2019), disebut bahwa sikap moderat adalah titik tengah yang menciptakan keseimbangan berbasis wawasan keagamaan yang memberikan energi positif bagi keberlangsungan hidup manusia, tata politik/konsensus bersama, keberlangsungan keberagaman dan kebersamaan, dan mengakui hak-hak sipil kewargaan sesama manusia terlepas dari identitas.

Akan tetapi, sikap moderat itu belum populer bila diterapkan pada lintas jalur antara agama dan ideologi. Misalnya, survey berjudul Hoax and Misinformation in Indonesia: Insights from a Nationwide Survey (2019), mengungkap masih adanya antagonisme umat Islam terhadap hantu komunis. Ini agak berkebalikan dengan sikap mendiang Gus Dur semasa menjabat presiden ketika mencabut TAP MPR dan secara resmi meminta maaf terhadap keluarga korban 65.

Mungkin sikap itu koheren dengan salah satu esai mendiang Gus Dur yang terbit di Majalah Prisma edisi ‘Generasi Baru Pemikiran Islam’, yang memuat pengakuan mendiang soal keterbukaan pribadi terhadap kebenaran-kebenaran di manapun kebenaran itu ditemukan. Dari sini, sepertinya sikap moderat punya dimensi lain yang tidak populer, yakni bersikap moderat juga mencakup keterbukaan terhadap kemungkinan kebenaran sekalipun itu berasal dari sesuatu yang ‘dianggap’ berlawanan.’ Mungkin karena tidak populernya dimensi ini, stigma, atau bahkan eksklusi umat agama terhadap orang dengan ideologi berbeda, bisa tetap langgeng.

Pun di lain sisi, kita bisa melihat setumpuk buku sejarah politik tentang bagaimana antagonisme itu diciptakan dan dipelihara sedemikian sistematis dan lama.

 

Artikel ini adalah hasil kerja sama Alif.ID dan Biro Humas, Data, dan Informasi Kementerian Agama RI

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top