Prof. Amin Abdullah, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga mengatakan, permasalahan paling marak di zaman sekarang adalah seruan akan fanatisme buta beragama (da’wah al-ta’assub), tindakan mengkafirkan orang (takfiri), membenci kepercayaan yang berbeda (krahiyyatul ghair), dan menolak setiap orang yang berselisih paham, baik masalah politik, agama, ataupun hal yang lainnya. Keempat masalah ini mempunyai akar permasalahan yang sama, yaitu intoleransi.
Permasalahan yang kerap melatarbelakangi tindakan tersebut adalah salah pemahaman ketika membedakan antara Islam dan pemikiran tentang Islam. Menurut Prof. Amin Abdullah, pokok dari Islam itu sendiri adalah Tauhid. Dimana tauhid yang dimaksud tidak hanya seputar teologi Islam, namun juga memuat dasar falsafah (al-ru’yah al-falsafiyyah) dan nilai-nilai yang umum. Apabila seseorang mampu memahami konsep Tauhid seperti ini, niscaya akan menemui keseimbangan (at-Tawazun).
Sedangkan dalam ranah pemikiran tentang Islam, hal yang selalu menjadi masalah adalah kecondongan ke arah nalar kekuasaan, dan kurang memperhatikan metode keilmuan. Konsep keyakinan Tauhid yang telah dijadikan sebagai pedoman, tiba-tiba menghilang ke belakang, yang pada akhirnya pokok pandangan dalam menjalankan agama adalah bagaimana bisa meraih keuntungan.
Problem dari permasalahan ini tidak bisa disepelekan. Agama yang telah menjadi penawar keterasingan manusia, menjadi magnet yang kuat akan apa yang dilakukan manusia selanjutnya. Apabila pemahaman kekuasaan yang dikedepankan, yang muncul dari pemahaman tersebut adalah solusi yang menyimpang dari prinsip agama, kemanusiaan, ataupun nilai-nilai keluhuran.
Hal terburuk adalah ketika orang awam melakukan identifikasi awal terhadap suatu agama. Apabila yang dilihat adalah tindakan kekerasan, spionase, atau egoisme dari masing-masing kelompok, tentu dirinya akan menjauh secara perlahan dari agama tersebut. Menurut nalurinya, agama akan dianggap sebagai suatu yang kuno. Sesuatu yang tidak lagi membawa kebahagiaan dan kemakmuran semua orang. Pemikirannya akan berkecemakuk pada prinsip-prinsip kekerasan, yang menurut konsep sosial sudah jelas sebagai sesuatu yang salah.
Hal yang sering terlupa dalam pemahaman ini adalah konteks kedalaman agama itu sendiri. Dimana dibalik perkumpulan umat yang banyak, terdapat satu dorongan semangat untuk menyebar kebaikan. Suatu umat yang mengabdikan diri menjadi kaki tangan Tuhan dalam menyebarkan kebaikan di dunia, dan menghiasnya menjadi surga yang memuat ketenangan seluruh alam. Konsep pokok ini sering terlupa karena nafsu kekuasaan yang mengaburkan segala hal.
Seperti halnya kelompok yang menggunakan agama untuk menggusur tempat ibadah kelompok lain, menindas manusia lain, bahkan memusuhi, merundung, dan membunuh pihak lain yang dirasa berseberangan. Semua tindakan tersebut, mempunyai satu masalah yang sama, yaitu proses pemahaman agama yang dangakal. Sehingga agama yang dilihatnya hanyalah tentang seberapa besar umat yang mengikutinya.
Apabila seseorang ingin mengubah semua konsep buruk tersebuk, hal pertama yang harus dilakukan adalah mengubah visi dari dakwah itu sendiri. Dimana dakwah yang semula hanya menyasar banyaknya pengikut, dirubah menjadi dakwah yang menitikberatkan pada kemanfaatan dan keteladanan. Seseorang tidak perlu menjelek-jelekan kepercayaan lain yang bertentangan dengannya. Dan tidak perlu juga melakukan permusuhan yang mengakibatkan pelanggaran atas prinsip kemanusiaan.
Prinsip kolaborasi bisa dipraktikkan apabila seseorang menemui perbedaan keyakinan. Misalnya dalam membantu seseorang yang kekurangan ekonomi, pasti diantara keduanya mempunyai satu kesamaan akan sikap at-taawun untuk membantu saudaranya tersebut. Dengan prinsip kolaborasi, seseorang bisa bersama-sama menjalankan keagamaan meskipun keyakinan diantara keduanya berbeda. Hal ini didukung pula oleh unsur sosial yang sengaja diciptakan Tuhan untuk mempersatukan manusia dari golongan apapun.
Meskipun dasar teologis antar kelompok berbeda, akan tetapi dalam melaksanakan tanggung jawab sosial keduanya pasti mempunyai kesamaan. Hal ini dikarenakan dari pembentukan agama itu sendiri, yang bermaksud mengubah arah hidup manusia menjadi sosok yang bijaksana. “A” berarti tidak, dan “Gama” berarti kacau, gabungan kata diantara keduanya adalah tidak kacau.
Maka apabila suatu agama hadir dalam tengah masyarakat, hal yang perlu dilihat adalah tidak hanya konsep teologis semata, namun juga konsep sosial yang diusung oleh agama tersebut. Jika dalam agama Islam memuat (1) Hablum minallah (hubungan dengan Allah) (2) Hablu Minannas (hubungan dengan manusia). Konsep yang sama juga ada pada agama yang lainnya meskipun dengan nama yang berbeda.
Oleh karena itu, permasalahan intoleransi, kemiskinan, kebodohan menurut Prof. Amin Abdullah bisa diselesaikan dengan ilmu pengetahuan dan amal kemanusiaan. Dalam pemahaman ilmu pengetahuan, setidaknya harus mempunyai nalar kritis, program rekonstruksi, nalar prosedural, dan kebaruan cara pandang. Semua karakter tersebut, bisa membantu seseorang untuk lebih kreatif dan terbiasa menyederhanakan suatu permasalahan.
Di tengah-tengah masyarakat, dirinya tidak akan menjadi sosok yang kaku. Gagasan beragamanya akan mudah dipahami oleh semua orang, sehingga intisari dari agama mudah disampaikan. Seseorang dengan ketinggian ilmu pengetahuan seperti ini biasanya akan dijadikan teladan, tidak hanya dari ucapan, namun juga dari tingkah lakunya.
Apabila ilmu pengetahuan telah terkuasai secara sempurna, amal kemanusiaan hanyalah pengiring yang menjadi mesin otomatis akan bertumbuhnya ilmu pengetahuaannya. Seseorang akan senang menolong karena konsep ilmu pengetahuan. Begitupula seseorang tidak akan menyakiti orang lain karena kedalaman ilmu pengetahuannya. Semua itu akan berjalan beriringan, dan lebih luas mengusir nalar intoleransi dari peradaban keagamaan.