Peringatan Hari Santri tidak terlepas dari peristiwa perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Perjuangan mempertahankan kemerdekaan oleh rakyat Indonesia—terutama oleh kalangan kaum santri—merupakan bagian dari jihad kebangsaan dan kemanusiaan karena terkait dengan eksistensi sebuah negara yang majemuk yang memayungi beragam elemen bangsa. Karena salah satu alasan inilah tema Hari Santri Nasional 2023 kali ini mengusung tema “Jihad Santri Jayakan Negeri”.
Istilah “jihad” seiring dengan perubahan zaman dan tempat memiliki makna yang dinamis. Jihad di era kemerdekaan tentu berbeda dengan format jihad pada era kekinian. Pada era kemerdekaan titik tekan jihad adalah perjuangan fisik mengusir kolonialisme dari bumi Indonesia. Sementara itu, jihad pada era saat ini yang dikenal dengan era 4.0 dan society 5.0 memiliki makna tersendiri yang tentu berbeda dengan era kemerdekaan.
Dinamika makna jihad ini memiliki rujukan valid dari fenomena pada masa Nabi Muhammad Saw pasca peperangan antara kaum muslim dengan para penentangnya. Pasca peperangan Nabi Saw mensabdakan tentang makna jihad dengan menyatakan “Kita kembali dari peperangan kecil ke peperangan besar” (Nahnu narji’u mi jihad al-ashghar ila jihad al-akbar). Peperangan dimaknai oleh Nabi Saw sebagai jihad al-ashghar, sementara situasi dan kondisi pasca peperangan yang terus berubah dan berkembang dianggap sebagai medan jihad al-akbar. Dan hal tersebut terbukti, pasca peperangan Nabi Saw bersama para sahabat dihadapkan pada situasi dan kondisi bagaimana membentuk sebuah negara Madinah yang diharapkan mampu memayungi seluruh elemen masyarakat di kala itu.
Pasca kenabian pemaknaan jihad diperluas lagi oleh para ulama dan cendekiawan muslim sepanjang masa. Upaya kontekstualisasi makna jihad ini dalam pandangan KH Said Aqil Siradj (2006) terus gaungkan oleh para ulama di setiap generasi. Zainuddin al-Malibari (w. 1522 M), misalnya, salah seorang ulama dari lingkungan mazhab Syafi’i dalam kitabnya Fath al-Mu’in mengemukakan suatu ta’bir atau ungkapan yang memiliki makna dan implikasi luar biasa. Menurutnya, “al-jihad fardhu kifayah marratan fi kulli ‘am”. Artinya, jihad hukumnya fardhu kifayah dalam setiap tahun. Artinya, kalau sudah ada yang melaksanakannya, gugurlah kewajiban itu bagi yang lain. Kemudian ditambahkan, jihad itu ada empat macam: “itsbatu wujudillah, wa iqamatu syari’atillah, al-qital fi sabilillah, wa daf’u dlararin ma’shumin, musliman kana au ghaira muslim bi al-ith’am, wa al-iksai, wa al-iskan, wa tsamani-al-dawa’ wa ujrah al-tamridl”.
Jihad yang pertama, adalah iqamatu hujajin diniyah naqliyatan au aqliyah li itsbati wujudi al-shani’. Yakni, menegaskan eksistensi Allah Swt di muka bumi, seperti melantunkan azan untuk salat berjamaah, takbir, serta berbagai macam zikir dan wirid. Bentuk kedua adalah iqamatu syari’atillah, yaitu menegakkan syariat dan nilai-nilai agama, seperti salat, puasa, zakat, haji, nilai-nilai kejujuran, keadilan, dan kebenaran. Bentuk jihad ketiga adalah al-qital fi sabilillah, berperang di jalan Allah. Artinya, jika ada komunitas yang memusuhi kita, dengan segala argumentasi yang dibenarkan agama, kita bisa berperang sesuai dengan rambu-rambu yang ditetapkan Allah. Bentuk keempat adalah daf’u dlarar ma’shumin musliman kana au dzimmiyan, yakni mencukupi kebutuhan dan kepentingan orang yang harus ditanggung oleh pemerintah, baik itu Muslim maupun kafir dzimmi (yakni yang termasuk kaum Nasrani, Majusi, Yahudi, serta pemeluk-pemeluk agama lainnya yang bukan musuh). Cara pemenuhan kebutuhan tersebut, dalam bahasa sekarang dikenal dengan jaminan sandang, pangan, dan papan bagi rakyatnya.
Dalam konteks jihad kebangsaan dan tahun politik, aktualisasi makna jihad dapat dikategorikan dalam dua ranah yakni jihad struktural dan jihad kultural. Jihad struktural diarahkan pada upaya memilih pemimpin yang amanah, adil, dan memiliki integritas serta moral yang tinggi dan bermartabat luhur. Upaya lain bisa diarahkan pada sikap kritis terhadap berbagai regulasi dan kebijakan pemerintah (goverment policy) yang diundangkan, apakah berpihak kepada rakyat (maslahah al-‘ammah) atau justru melanggengkan berbagai ketimpangan sosial yang ada di masyarakat.
Dalam konteks ini, menurut Abdurrahman Wahid (2006), memilih pemimpin seyogyanya berpegang pada kaidah fiqih “tasarruf al-imam ‘ala al-raiyyah manutun bi al-maslahah”, yakni orientasi kebijakan seorang pemimpin haruslah berpijak pada nilai-nilai kemaslahatan publik. Pemimpin yang ditunjuk dan dipercaya oleh rakyat seyogyanya bekerja untuk kepentingan seluruh elemen bangsa tanpa memandang kepentingan darimana dia berasal dan diusung. Orientasi kebijakan pemimpin haruslahlah kemanfaatan seluruh rakyat Indonesia, bukan segelintir orang atau kelompok semata. Karena Indonesia adalah milik bersama.
Problematika kebangsaan dan kemanusiaan terus dating dan hadir di depan mata kita. Segenap aspek dan lini kehidupan membutuhkan kebijakan yang rerata dan berkeadilan sosial. Distribusi hasil bumi Indonesia harus dinikmati oleh rakyat secara merata tanpa pilih kasih atas nama wilayah dan daerah. Berbagai regulasi yang adil dan memihak rakyat kecil sangat dibutuhkan saat ini.
Di tahun politik ini masyarakat Indonesia seyogyanya memanfaatkan momen dan agenda besar lima tahunan ini sebagai pesta demokrasi yang berkeadaban dan pendidikan politik yang mencerahkan. Di era 4.0 dan society 5.0 ini memang bukanlah sesuatu yang mudah untuk mewujudkannya. Derasnya arus warta dan berita dari beragam medsos membuat masyarakat harus jeli menimbang dalam memilih calon pemimpin masa depan yang berpihak kepada rakyat kecil dan menengah.
Nahdlatul Ulama (NU) menjadi salah satu organisasi sosial keagamaan yang turut andil dalam upaya menyukseskan pendidikan politik yang disebut sebagai “politik kebangsaan” (al-siyasah al-wahaniyah). Politik kebangsaan NU adalah politik kesejahteraan dan kemaslahatan bersama yang bergerak di jalur kultural dan budaya untuk memajukan Indonesia. Orientasinya adalah kebaikan bersama bagi seluruh rakyat Indonesia. Politik kebangsaan NU bercita rasa nilai-nilai kemanusiaan dan bukan bagi-bagi kekuasaan.
Orientasi politik kebangsaan NU dan kaum santri tak perlu diragukan lagi. Oleh karena itulah tak berlebihan jika Hari Santri Nasional diresmikan oleh Presiden Joko Widodo melalui Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015. Hal ini merupakan salah satu bentuk apresiasi dari pemerintah yang mencermati fakta riil bagaimana peran dan kontribusi kaum santri untuk negeri.
Kedua elemen bangsa ini (NU dan santri) telah teruji berupaya menyuguhkan politik kebangsaan dengan nilai-nilai dan etika politik yang bermartabat dan berintegritas. Hal ini telah diteladankan oleh KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang ditunjuk menjadi Presiden RI ke-4 di Republik ini. Sebagai santri “Par Exellence” Gus Dur meneladankan bagaimana bermanuver politik yang berakhlak dan beretika luhur meski dalam dunia politik penuh dengan intrik dan kepentingan sesaat. Keteguhannya dalam menjunjung tinggi konstitusi merupakan pikiran besar beliau dalam membentuk dan menguatkan demokrasi yang diperjuangkan selama hidupnya.
Dalam segenap aspek kehidupan—baik sosial, politik, ekonomi, budaya dan agama—NU dan kaum santri berupaya untuk meneladani politik kebangsaan dan kemanusiaan yang dicontohkan oleh Gus Dur. Sebagai ormas pengusung ide besar Islam Nusantara (2015) dan kini Fikih Peradaban (2022) NU berperan aktif mengampanyekan wacana dan gerakan Islam Wasathiyyah (Islam Moderat) yang memosisikan diri berdiri tegak di tengah-tengah kebhinnekaan NKRI.
Dalam konteks inilah jihad kaum santri menemukan momentum besarnya. Mewujudkan Islam Wasathiyyah yang berpahamkan Ahlus Sunnah wal Jama’ah merupakan bagian dari upaya “Jihad Santri Jayakan Negeri. Selamat Hari Santri Nasional (HSN) 2023.