Gagasan Humanitarian Islam yang diangkat oleh Ketua Umum PBNU KH. Yahya Cholil Staquf merupakan sebuah gagasan yang tepat dalam merespons krisis global saat ini. Humanitarian Islam adalah gagasan yang memiliki potensi besar untuk memberikan kontribusi signifikan dalam konteks global, terutama dalam menghadapi tantangan geopolitik dunia yang terus berubah. Humanitarian Islam juga bisa dikatakan sebagai penyambung gagasan tentang kemanusiaan yang telah dirintis oleh KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada era 1980-an.
Maqasid Gus Dur dan Humanitarian Islam merupakan dua aspek penting yang mencerminkan pemikiran dan visi kemanusiaan Gus Dur, terutama dalam upayanya menjembatani Islam dengan nilai-nilai universal seperti kemanusiaan, keadilan, dan perdamaian.
Dalam konteks Islam kajian tentang nilai-nilai universal tersebut dapat ditemukan pada disiplin teori hukum Islam (Islamic legal theory), kaidah-kaidah fiqhiyah (legal maxims) dan pendekatan terhadap kajian hukum Islam (approaches to Islamic discourse). Maqasid al-Shariah, misalnya adalah konsep yang merujuk pada tujuan-tujuan utama yang ingin dicapai oleh syariat Islam, yaitu membawa kemaslahatan (manfaat) dan mencegah mafsadah (kerusakan). Pemikiran tentang maqasid berkembang dari generasi ke generasi, terutama oleh para ulama klasik.
Imam al-Ghazali (1058-1111 M) adalah salah satu ulama pertama yang merumuskan maqasid dalam kerangka lima kebutuhan pokok (al-daruriyyat al-khamsah). Pertama, Hifz al-Din (Perlindungan agama). Tujuan utama syariat adalah menjaga keberlangsungan agama. Contohnya, kewajiban shalat dan larangan murtad. Kedua, Hifz al-Nafs (Perlindungan jiwa). Syariat melarang pembunuhan dan menetapkan hukuman qisas untuk melindungi nyawa manusia. Ketiga, Hifz al-Aql (Perlindungan akal). Larangan meminum khamr atau obat-obatan terlarang untuk menjaga kemampuan berpikir manusia. Keempat, Hifz al-Nasl (Perlindungan keturunan). Larangan zina dan kewajiban menikah bertujuan menjaga martabat keluarga dan keturunan. Kelima, Hifz al-Mal (Perlindungan harta). Larangan mencuri dan kewajiban membayar zakat untuk menjaga hak milik pribadi dan mencegah ketimpangan sosial. Contoh nyata di antaranya adalah larangan meminum khamr bukan hanya tentang ketaatan, tetapi juga untuk menjaga akal manusia agar tetap sehat dan mampu mengambil keputusan yang baik. Contoh dari ranah fikih jinayah adalah hukuman qisas diberlakukan agar melindungi kehidupan masyarakat dengan memberi efek jera kepada pelaku pembunuhan.
Sementara itu Imam al-Syathibi (1320–1388 M) memperluas konsep maqasid dengan menekankan bahwa syariat bertujuan untuk memelihara kemaslahatan manusia dalam tiga tingkatan kebutuhan. Pertama, Daruriyyat (Kebutuhan pokok) yaitu kebutuhan mendasar yang jika tidak terpenuhi, kehidupan manusia akan terganggu atau hancur (contohnya lima maqasid al-Ghazali). Kedua, Hajiyyat (Kebutuhan pelengkap) yaitu kebutuhan tambahan yang tidak mendesak tetapi penting untuk menghindari kesulitan. Contoh: Rukhsah (keringanan) seperti bolehnya berbuka puasa bagi orang sakit. Ketiga, Tahsiniyyat (Kebutuhan penyempurna) yaitu kebutuhan yang memperindah atau menyempurnakan kehidupan, seperti tata krama dalam berpakaian atau beribadah.
Contoh nyata dari ketiga kebutuhan tersebut misalnya, Daruriyyat dengan larangan mencuri untuk melindungi harta. Hajiyyat dengan kemudahan bagi musafir untuk menjamak shalat. Dan Tahsiniyyat misalnya dengan anjuran memakai pakaian bersih saat shalat untuk menunjukkan kesopanan.
Maqasid Gus Dur
Istilah Maqasid Gus Dur ini merujuk pada tujuan-tujuan luhur (maqasid) yang menjadi inti pemikiran Gus Dur dalam konteks agama, budaya, dan politik. Gus Dur mendasarkan banyak gagasan pada prinsip maqasid al-shariah, yaitu tujuan syariat Islam untuk melindungi dan memajukan, pertama, Hifz al-Din (Perlindungan agama). Bagi Gus Dur, agama bukan hanya soal dogma, tetapi alat untuk memperjuangkan keadilan dan perdamaian. Ia percaya bahwa agama harus menjadi sumber rahmat bagi semua, bukan alat kekerasan atau pemaksaan. Kedua, Hifz al-Nafs (Perlindungan jiwa). Gus Dur menekankan pentingnya penghormatan terhadap kehidupan manusia. Ia sering menentang tindakan kekerasan atas nama agama. Ketiga, Hifz al-Aql (Perlindungan akal). Ia mendorong kebebasan berpikir dan dialog antaragama, serta mengkritik pemikiran sempit yang menghambat kemajuan. Keempat, Hifz al-Nasl (Perlindungan keturunan). Gus Dur mendukung hak asasi manusia, termasuk perlindungan terhadap kelompok minoritas, agar mereka bisa hidup dengan martabat. Kelima, Hifz al-Mal (Perlindungan harta). Pemikiran Gus Dur juga mencakup keadilan ekonomi dan penghapusan kesenjangan sosial.
Dalam pandangan Gus Dur, maqasid harus diperluas untuk mengakomodasi kebutuhan masyarakat modern, termasuk demokrasi, hak asasi manusia, dan pluralisme.
Humanitarian Islam
Humanitarian Islam adalah gerakan yang terinspirasi oleh pemikiran Gus Dur dan dikembangkan oleh tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama (NU) dalam skala global. Gerakan ini bertujuan untuk, pertama, mengharmonisasikan Islam dengan nilai-nilai kemanusiaan universal, seperti keadilan, kesetaraan, dan hak asasi manusia. Kedua, melawan ekstremisme dan kekerasan atas nama agama dengan cara mendorong moderasi (wasatiyyah) dan interpretasi inklusif terhadap teks-teks Islam. ketiga, memperjuangkan pluralisme dan toleransi, yang sudah menjadi inti ajaran Islam, sekaligus relevan dengan kehidupan global. Keempat, Mengatasi konflik antara tradisi keislaman dan modernitas, dengan cara mendekonstruksi pandangan keagamaan yang kaku dan menggantinya dengan pemahaman yang dinamis.
Humanitarian Islam sering dipromosikan melalui forum internasional seperti Nahdlatul Ulama dan organisasi-organisasi terkait. Mereka mengadvokasi pentingnya transformasi pemahaman keagamaan agar selaras dengan prinsip-prinsip kemanusiaan global.
Pemikiran Gus Dur menjadi fondasi bagi Humanitarian Islam. Ia membuka jalan bagi pengembangan Islam yang relevan dengan tantangan zaman, tanpa kehilangan esensi maqasid syariah. Pendekatan ini berfokus pada menjadikan agama sebagai solusi, bukan sumber masalah, terutama dalam konteks konflik sosial, ekonomi, dan politik.
Gus Dur sering berkata, “Yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan.” Prinsip ini menjadi landasan bagi Humanitarian Islam, yang menempatkan nilai-nilai kemanusiaan sebagai inti perjuangan agama.
Titik Jumpa dengan Pemikiran Gus Dur
Gus Dur mengambil inspirasi dari maqasid ulama klasik ini tetapi memperluas cakupannya untuk mencakup tantangan modern. Ia melihat bahwa maqasid tidak hanya mencakup aspek spiritual dan individu tetapi juga dimensi sosial, politik, dan budaya.
Contoh penerapan modern ala Gus Dur misalnya Hifz al-Nafs (Perlindungan jiwa) dengan mendukung hak-hak minoritas, seperti kaum Tionghoa dan Ahmadiyah, agar dapat hidup tanpa ancaman diskriminasi. Hifz al-Aql (Perlindungan akal) dengan menekankan kebebasan berpikir dan berekspresi dalam konteks demokrasi, selaras dengan maqasid al-Syathibi pada aspek hajiyyat dan tahsiniyyat.
Dengan demikian, Gus Dur mengontekstualisasikan maqasid al-shariah untuk menjawab persoalan modern, sekaligus mempertahankan nilai-nilai universal dari Islam. Implementasi riil Maqasid Gus Dur terlihat jelas dalam berbagai aspek kehidupan sosial, politik, dan budaya yang ia perjuangkan. Gus Dur tidak hanya memahami maqasid al-shariah (tujuan syariat) sebagai teori, tetapi juga menerapkannya dalam kebijakan, sikap, dan tindakan nyata yang berorientasi pada kemaslahatan manusia secara universal.
Berikut adalah beberapa implementasi riil maqasid Gus Dur dalam kehidupan nyata:
- Hifz al-Din (Perlindungan Agama)
Gus Dur menafsirkan perlindungan agama sebagai penghormatan terhadap semua keyakinan, bukan hanya Islam. Baginya, kebebasan beragama adalah inti dari maqasid syariah. Contoh implementasinya adalah pertama, membela hak kebebasan beragama. Gus Dur secara vokal membela minoritas agama, seperti Ahmadiyah, Kristen, Hindu, dan Konghucu, untuk menjalankan ibadah mereka tanpa ancaman diskriminasi atau kekerasan. Kedua, mengakui Imlek sebagai hari libur nasional. Sebagai Presiden Indonesia, Gus Dur mencabut larangan perayaan budaya Tionghoa di ruang publik dan mengakui Konghucu sebagai agama resmi di Indonesia.
- Hifz al-Nafs (Perlindungan Jiwa)
Gus Dur memandang perlindungan jiwa bukan hanya dalam arti fisik, tetapi juga dalam menciptakan rasa aman, damai, dan martabat manusia. Contoh implementasinya adalah pertama, perdamaian Aceh. Gus Dur memprakarsai dialog untuk menghentikan konflik bersenjata di Aceh dengan pendekatan damai, menghindari penggunaan kekerasan yang berlebihan oleh negara. Kedua, perlindungan minoritas. Gus Dur menentang diskriminasi terhadap komunitas seperti etnis Tionghoa, yang pada masa lalu kerap menjadi sasaran kekerasan. Ketiga, kritik terhadap pelanggaran HAM. Gus Dur sering mengkritik kebijakan pemerintah atau militer yang dianggap merugikan rakyat kecil, seperti kekerasan di Papua.
- Hifz al-Aql (Perlindungan Akal)
Dalam maqasid Gus Dur, perlindungan akal berarti memastikan kebebasan berpikir, pendidikan, dan penghormatan terhadap kreativitas manusia. Contoh implementasinya adalah pertama, mendorong kebebasan berekspresi. Gus Dur adalah pendukung kuat pers yang bebas, bahkan saat pers mengkritik dirinya sebagai Presiden. Ia percaya bahwa kritik dan dialog adalah bagian dari perlindungan akal manusia. Kedua, penguatan pendidikan. Gus Dur mendukung pendidikan inklusif yang menanamkan nilai-nilai pluralisme dan toleransi, termasuk di lingkungan pesantren. Ketiga, menghapus sensor budaya. Gus Dur mendukung kebebasan dalam seni dan budaya, termasuk film dan musik, yang sebelumnya sering diawasi ketat oleh negara.
- Hifz al-Nasl (Perlindungan Keturunan)
Bagi Gus Dur, perlindungan keturunan berarti menciptakan masyarakat yang adil dan toleran untuk generasi mendatang. Contoh implementasinya adalah pertama, Membangun masyarakat inklusif. Gus Dur sering menyerukan pentingnya pendidikan karakter sejak dini, yang menekankan toleransi dan penghormatan terhadap keberagaman. Kedua, Perjuangan hak perempuan. Gus Dur mendukung penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, termasuk mendukung partisipasi perempuan dalam politik dan kepemimpinan.
- Hifz al-Mal (Perlindungan Harta)
Gus Dur memahami perlindungan harta sebagai keadilan ekonomi dan distribusi kekayaan yang adil untuk mengurangi kesenjangan sosial. Contoh implementasinya adalah pertama, Pemberdayaan ekonomi rakyat kecil. Gus Dur mendorong ekonomi kerakyatan yang memberdayakan petani, nelayan, dan pelaku usaha kecil. Kedua, menghapuskan sistem ekonomi yang eksploitatif. Gus Dur menolak kebijakan ekonomi yang hanya menguntungkan segelintir elit dan merugikan rakyat kecil, termasuk menolak privatisasi aset-aset negara secara sembarangan. Ketiga, dukungan terhadap koperasi dan BMT (Baitul Maal wat Tamwil). Gus Dur mendukung pengembangan ekonomi berbasis komunitas untuk membantu rakyat kecil memiliki akses ke modal dan pasar.
- Pendekatan Humanis dan Keadilan Sosial (Maqasid Modern)
Gus Dur memperluas maqasid dengan memasukkan nilai-nilai modern seperti demokrasi, hak asasi manusia, dan pluralisme sebagai bagian dari tujuan syariat Islam. Contoh Implementasi, pertama, mendorong demokrasi. Gus Dur mendukung reformasi demokrasi pasca-Orde Baru, termasuk memperjuangkan hak rakyat untuk memilih pemimpin secara langsung. Kedua, menolak diskriminasi etnis. Ia mencabut kebijakan diskriminatif terhadap komunitas Tionghoa yang selama Orde Baru dipinggirkan dari kehidupan sosial dan politik. Ketiga, membangun dialog antaragama. Gus Dur aktif dalam forum-forum internasional untuk mendorong dialog antaragama sebagai solusi konflik global.
Gus Dur tidak hanya menerjemahkan maqasid dalam konteks tekstual, tetapi juga menjadikannya alat untuk menghadirkan perubahan nyata di masyarakat. Ia memperluas cakupan maqasid untuk mencakup aspek-aspek kemanusiaan modern, seperti pluralisme, hak asasi manusia, dan keadilan sosial, yang semuanya dirancang untuk menciptakan kehidupan yang lebih adil dan harmonis.