Agenda besar Fikih Peradaban jilid II telah diresmikan oleh Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf di Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Situbondo beberapa waktu lalu. Wacana dan gerakan Fikih Peradaban merupakan kontribusi NU dalam menyikapi persoalan di tingkat nasional dan global yang kian memanas. Dalam konteks ini, NU memainkan peran signifikan dengan basis kemaslahatan bagi seluruh rakyat tanpa perbedaan. Tulisan ini mencoba menelusuri kontribusi NU dan nalar politik inspiratifnya dalam bentangan fakta historis keindonesiaan.
Muktamar Fikih Peradaban yang digelar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) beberapa bulan lalu menjadi momentum besar bagi NU dalam mempromosikan nalar politik inspiratifnya. Melalui muktamar Fikih Peradaban yang digelar pada 6 Februari 2023, NU sebagai organisasi sosial keagamaan terpanggil untuk urun rembug dalam menata Indonesia dan dunia.
NU menjadi salah satu basis dan fondasi kultural di negeri ini yang memiliki peran penting menjaga dan merawat nilai-nilai luhur keindonesiaan. Di samping itu, NU juga berperan besar dalam mewujudkan berdirinya NKRI. Dalam perjalanan sejarahnya, kontribusi NU tidak dapat dihapus dari kanvas peradaban Indonesia, bahkan dunia. Mendeskripsikan peran besar NU bukanlah sebuah apologi semata, melainkan bagian dari keharusan dan fakta sejarah.
Pertama, Muktamar NU di Banjarmasin tahun 1936. Kontribusi NU terlihat ketika para Kiai NU dengan pemikirannya yang progresif menyerukan untuk mempertahankan negeri ini dari serangan bangsa asing yang ingin menjajah kembali.
Dengan pendapat (hujjah) yang bisa dipertanggungjawabkan—melalui pijakan tekstual/nash dan fakta historis—NU berada di garda terdepan mempertahankan negara ini. Landasan tekstual yang dipedomani adalah bahwa mazhab Syafi’i membagi eksistensi negara kepada tiga bentuk, yakni negara Islam (dar al-Islam), negara kafir (dar al-harb), dan negara damai (dar al-salam). Apabila negara Islam tidak bisa diwujudkan, maka tidak boleh ditinggalkan sama sekali. Artinya dipilih bentuk negara yang relevan dengan situasi dan kondisi kekinian. Hal ini sesuai dengan kaidah ma la yudraku kulluh la yutraku kulluh”. Maksudnya, apabila tidak bisa diwujudkan keseluruhan (negara Islam), maka jangan ditinggalkan semuanya. Karena itulah negara damai (dar al-salam) menjadi pilihan realistis pada masa itu. Sementara itu, fakta historisnya adalah wilayah Nusantara sejak awal telah dihuni oleh kerajaan-kerajaan Islam dimana hukum Islam telah dijalankan secara alami, damai, dan tanpa paksaan.
Kedua, Resolusi Jihad 22 Oktober 1945. Resolusi Jihad yang difatwakan Hadlaratus Syaikh K.H. Hasyim Asy’ari juga merupakan fakta historis yang tidak bisa dikesampingkan. Karena melalui Resolusi Jihad tersebut, eksistensi NKRI yang masih belia dapat dipertahankan dari rongrongan tentara Sekutu.
Ketiga, relasi Islam dan Pancasila. NU sebagai wadah pengabdian dan perjuangan jalur kultural mengambil sikap tidak mempertentangkan antara keduanya. Penegasan sikap ini tercermin dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama pada tanggal 18-21 Desember 1983 yang bertemakan “Deklarasi Hubungan Pancasila dan Islam”. Deklarasi ini kemudian disahkan pada Muktamar NU ke-27 tahun 1984 di Situbondo.
Pancasila sebagai ideologi berbangsa dan bernegara menawarkan prinsip-prinsip ketuhanan dan kemanusiaan sekaligus yang tidak bertentangan dengan Islam. Titik temunya adalah pada pemenuhan lima jaminan dasar hak-hak kemanusiaan yaitu hak kebebasan dalam beragama (hifz al-din), hak jaminan keamanan individu dan sosial (hifz al-nafs), hak kebebasan menyalurkan aspirasi dan karya intelektual (hifz al-‘aql), hak jaminan keamanan dalam kelangsungan hidup berumah tangga (hifz al-nasl), dan hak dalam keamanan properti dan harta kekayaan (hifz al-mal). Kelima jaminan dasar dan hak-hak kemanusiaan inilah yang dijamin dalam lima sila Pancasila yang dalam Islam disebut dengan istilah maqasid syari’ah (maksud dan tujuan syariat).
Kelima jaminan dasar itulah yang diperjuangkan oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Fakta historis diturunkannya Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI ke-4 tanpa terjadi aksi kekerasan merupakan fenomena menarik bagi bangsa ini. Kecerdasan Gus Dur mengelola massa tanpa terjadi aksi destruktif membuatnya dianugerahi gelar pejuang anti kekerasan. Gus Dur adalah Mahatma Gandhi-nya Indonesia. Dalam konteks ini, Gus Dur menginspirasi anak bangsa dengan politik inspiratif berbasis kemaslahatan.
Dalam pandangan Gus Dur (2006) orientasi paham keislaman adalah terjamin dan terpenuhinya kepentingan masyarakat kecil. Dalam konteks Islam disebut dengan istilah “maslahah ‘ammah”, yang berarti kesejahteraan umum. Inilah yang menjadi objek dari segala kebijakan (policy) yang diambil pemerintah. Hal ini senada dalam adagium kaidah fiqih (legal maxims) bahwa “orientasi tindakan atau kebijakan seorang pemimpin atas rakyat (yang dipimpin) sepenuhnya bergantung kepada kebutuhan/kesejahteraan mereka (tasarruf al-imam ‘ala al-ra’iyyah manutun bi al-maslahah).”
Jelang Pemilu 2024 peran NU dengan politik inspiratifnya semakin signifikan untuk dikedepankan. Dalam konteks ini politik inspiratif NU dibuktikan dengan menggelar muktamar internasional Fikih Peradaban. Tema Fikih Peradaban dipilih dalam menyikapi pesatnya perkembangan dunia global saat ini baik di ranah sosial, politik, hukum, ekonomi, budaya dan terutama agama.
Pertama, di ranah sosial politik NU menegaskan pilihan dan keberpihakannya terhadap sistem politik negara bangsa (nation state) daripada sistem khilafah. Penegasan ini merupakan pilihan realistis berdasarkan acuan norma agama (fikih) yang mengesahkan negara damai (dar al-sulh) sebagai pilihan bersama dan lebih bisa mengayomi warga bangsa yang plural dan majemuk. Sementara penolakan terhadap sistem khilafah juga didasarkan pada pertimbangan faktual atas gagalnya eksperimen kalangan pengusungnya. Fenomena ISIS yang menebar kekerasan dengan aksi radikalisme dan terornya di berbagai belahan dunia merupakan fakta tak terbantahkan.
Kedua, pada ranah hukum NU mendorong tegaknya perilaku hukum yang sehat dan adil di antara warga bangsa. Hukum dijalankan tidak hanya mengacu pada tataran teori (law in book) semata, tetapi juga berpijak pada aksi dan keberpihakan pada masyarakat kecil yang tertindas dan terzalimi (law in action). Implementasi dan perilaku hukum tidak selayaknya hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas, melainkan harus rerata dalam setiap segmen masyarakat yang melanggar hukum. Karena pada dasarnya, prinsip hukum yang dianut adalah berbasis kemaslahatan publik (public good).
Ketiga, pada ranah ekonomi umat juga terlihat dengan didirikannya Badan Usaha Milik Nahdlatul Ulama (BUMNU) yang digagas oleh PBNU. Tujuannya adalah untuk membangkitkan semangat kemandirian warga masyarakat dalam mencipta kreatifitas di bidang ekonomi. Penguatan ekonomi umat di kalangan menengah ke bawah menjadi signifikan di tengah gempuran sistem kapitalisme global yang kian mengancam ekistensi ekonomi umat. Sebagai percontohan adalah berdirinya BUMNU di Kabupaten Jember, Jawa Timur pada 6 Februari 2023 yang nantinya akan diikuti dengan berdirinya 250 BUMNU di seluruh Indonesia.
Ketiga, wilayah budaya pun merupakan lahan penting bagi NU untuk mengembangkan kreatifitas dan progresfitas kultur mayarakat. Kearifan lokal (local wisdom) yang kaya di negara ini menjadi sumber daya pengetahuan yang urgen dalam mengembangkan kultur moderasi dan koneksi yang saling menopang satu sama lain. Kultur moderasi—yang ditandai dengan tepo seliro dan saling menghargai—dalam berbudaya bisa menjadi semen perekat dalam memarketkan budaya lokal di tingkat internasional. Keberhasilan Indonesia merajut kebinekaan bisa menjadi percontohan global dalam mengelola keberagaman yang ada di negara ini.
Keempat, ranah agama pun tak ketinggalan untuk digali dan dijadikan sumber inspirasi dalam menata dunia global yang timpang. Wacana dan aksi ujaran kebencian (hate speech), radikalisme, manipulasi agama untuk kepentingan politik, dan lain-lain yang marak dan dipertontonkan di berbagai media sosial menjadi perhatian tersendiri bagi NU. Acuan norma agama yang mengajarkan prinsip-prinsip dasar dan berpihak pada kemanusiaan seringkali disalahtafsirkan oleh kalangan tertentu atas nama agama. Pemaknaan tekstual terhadap teks-teks normatif agama seringkali mengabaikan kondisi faktual yang terjadi pada realitas mayarakat global. Seringkali model keberagamaan seperti ini mengarah pada klaim kebenaran (truth claim) yang menyalahkan dan bahkan menyesatkan satu sama lain.
Walhasil, dari sini terlihat bahwa nalar politik inspiratif NU memberikan kontribusi nyata bagi bangsa dan negara. NU dengan pesatnya perubahan zaman dan waktu mampu memberikan pencerahan bagi majunya peradaban kemanusiaan yang memanusiakan manusia.
Nalar politik inspiratif NU dengan berbasis kemaslahatan diharapkan mampu menginspirasi segenap elemen bangsa. Politik kebangsaan yang berintegritas dan bermoral tinggi dengan berbasiskan kemaslahatan bersama merupakan prioritas. Bukan sekadar demi kepentingan segelintir kelompok dan golongan semata.