Tak butuh waktu lama bagi Polres Purworejo untuk mengamankan tiga Siswa pelaku perundungan di SMP Muhammadiyah Butuh, Purworejo, Jawa Tengah, bahkan terjadi di hari yang sama ketika video itu mulai beredar luas. Kinerja cepat tanggap itu bukan hadir tanpa sebab, tetapi digerakkan oleh satu roda besar, yakni sebaran informasi di media sosial.
Kita sepakat bahwa perundungan adalah dosa besar yang sulit dimaafkan, dan berharap agar sistem preventif sekaligus penerapan hukum yang layak segera dibangun agar kasus-kasus serupa tak lagi terulang di hari mendatang. Harapan itu terpatri di hati nurani masing-masing, ia tak lekas memudar setelah kita memasuki ranah virtual.
Terlebih, objek yang paling sering menjadi korban ialah anak-anak, dan sekolah justru menjadi tempat ‘penyumbang’ angka yang cukup signifikan. Ini menjadi gejala yang sangat mengkhawatirkan, sebab lembaga pendidikan justru menjadi tempat yang tak lagi ramah anak. Menurut laporan KPAI, sepanjang tahun 2019, mereka telah mencatat sedikitnya 171 kasus perundungan terhadap anak di sekolah. Dengan persentase sebanyak 39% terjadi di jenjang SD/MI, 22% terjadi di jenjang SMP/sederajat, dan 39% terjadi di jenjang SMA/SMK/MA.
Dalam waktu dekat ini saja—beberapa hari sebelum kasus di Purworejo mencuat—kasus perundungan yang berujung pada kekerasan sudah lebih dulu terjadi di dua sekolah berbeda. Di SMP HKBP Sidikalang, Kabupaten Dairi, Sumatra Utara, satu nyawa siswa melayang usai perkelahian yang diawali dengan saling ejek. Di Kota Malang, Jawa Timur, setelah dirundung oleh siswa lain di sekolahnya, seorang siswa di SMPN 16 Malang harus menjalani operasi amputasi jari tangan. Korban bahkan sempat dirawat selama 18 hari di rumah sakit.
Yang tak kalah meresahkan adalah sikap sebagian orang yang kerap abai pada kasus ini dengan dalih bahwa kejahatan ini adalah sikap kekanak-kanakan semata, terlebih di sudut pandang keluarga pelaku. Beberapa kasus tercatat berakhir tanpa putusan yang jelas.
Sedangkan peristiwa yang terjadi di di SMP Muhammadiyah Butuh, Purworejo, Jawa Tengah, adalah titik balik di mana perundungan mendapatkan porsi yang lumayan signifikan. Orang-orang berbondong menunjukkan kepeduliannya, dan perundungan tak lagi dicampakkan sebagai satu kejahatan yang dianggap wajar.
Kita bisa melihat, hanya dalam hitungan jam setelah adegan memilukan itu diunggah di Twitter oleh akun @black__valley1, puluhan ribu retweet telah berhasil didapat. Jumlah itu belum termasuk unggahan ulang (repost) di platform lain yang sudah barang tentu membludak, singkat kata ia menjadi viral dan menyita perhatian. Warganet kompak menuntut agar kasus segera diusut, beberapa meminta agar korban segera mendapat pendampingan yang layak, bahkan tak sedikit pula yang mengutuk pelaku. Hal ini semakin meruntuhkan stigma buruk yang kerap disematkan pada pola hidup digital, yakni berkurangnya rasa empati.
Empati adalah kemampuan masing-masing personal untuk merasakan keadaan emosional, di mana kita merasa simpatik dan mengambil perspektif korban. Di jagat digital, hal itu bukan sesuatu yang muskil terjadi. Dalam ekosistem di sosial media, orang-orang lazimnya berkerumun dalam satu isu. Kemudian, satu isu yang merebak ke permukaan akan menjadi pigura penanda satu ruang percakapan bersama, di mana masing-masing orang akan menumpahkan pengalaman personal dan gagasan, tetapi pemaknaannya jelas berbeda bagi setiap orang. Dengan cara inilah empati muncul dan menguat, dan seluruhnya akan lebur tanpa batasan teritorial, ruang, dan waktu.
Akan lebih memiliki signifikansi apabila empati itu semakin menguat menjadi tagar dan gerakan kampanye seperti kasus perundungan yang lebih dulu terjadi. #JusticeForAudrey, misalnya, bahkan pernah menjadi trending topik di dunia.
Di jagat maya, segala kampanye yang beredar menjadi jauh lebih cair, memikat, lentur, dan tidak mengikat karena didasari oleh kehendak personal dan terhubung satu sama lain oleh kepedulian bersama terhadap kasus tertentu. Mobilisasi di ruang digital ini telah diperkenalkan dalam konsep personalaction frame Oleh W. Lance Bennet dan Alexandra Segerberg, dalam bukunya The Logic of Connective Action: Digital Media and the Personalization of Contentious Politics (Cambridge University Press, 2013)
Empati digital yang muncul berbarengan dengan kasus yang tengah mencuat, lama kelamaan akan mengalami pengulangan pola, dan pada satu masa, akan bertransformasi menjadi gerakan sosial yang tidak lagi dianggap sebelah mata. Pemerintah, sebagai pemegang wewenang, harus memanfaatkan celah ini agar perundungan tak lagi terulang. Atau, pada titik tertentu, bisa menjadi inisiator gerakan-gerakan serupa.
Tak ada alasan untuk memaafkan perundungan. Sebab pelaku dan korban, kadang kala, adalah dua orang yang sama dirugikan. Pelaku terjebak dalam satu pembiaran, sedang korban terus digasak hak untuk hidup nyaman.