Makan makanan halal nan bermutu tinggi (thayyiban) diperintah agama. Secara khusus dalam surat Al-Mu’minun ayat 51, para Rosul diperintahkan menata mutu makanan sebelum melaksanakan amal saleh.
Hikayat kuliner (baca, makanan) abadi sejak awal kehidupan manusia. Kisah Nabi Adam dan Siti Hawa terjebak makan buah khuldi di surga. Hingga, The Last Supper, perjamuan terakhir Yesus bersama keduabelas rasulnya. Menandai bahwa ringkas kehidupan ini, secara fundamentalis maupun teologis, merupakan perjalanan makan-memakan dan menikmati karunia Sang Pencipta.
Menikmati makanan merupakan kebutuhan dasariah penyambung hidup. Namun bisa menjadi bencana manakala nafsu dan pikiran terbelenggu di sekitar perut. Manusia terdegradasi lagi dan lagi pada lembah kenistaan, sama halnya yang diterima nabi Adam. Binatang berburu mangsanya hanya untuk memenuhi perut yang kosong. Tetapi perut kosong manusia, entah makanan, pangkat, kedudukan semua menjadi korban. Ujaran jawa; “bal gedual senajan gedhene sak bantal, nek kolu yo diuntal” (terjemahan lepasnya; apapun bentuk dan jenisnya, meski ukuran sebesar bantal jika perut bernafsu semua dimakannya). Sebaliknya, manusia akan menempati posisi tertinggi jika mampu melepaskan baju hewaniah dirinya.
Oleh sebab itu, sejarah panjang perjalanan kuliner, khususnya Islam, patut dikaji lebih dalam. Ada tuntutan teologis, nilai sosial, budaya dan politik yang menjadikan kuliner bagian penting peradaban manusia.
Kuliner Santri
Diruang sosial yang dekat dengan penulis, budaya kuliner pesantren, dijumpai kemandirian santri memasak. Kondisi sosial tanpa kontrol membentuk kelompok-kelompok kecil memasak. Rata-rata kelompok ini beranggotakan 3-5 orang. Jika salah satu enggan berjibaku dengan dapur dan kegiatan yang melingkupinya; menanak nasi, meracik dan menghaluskan bumbu, menyuci alat masak dll, cukup berdiri sebagai pemodal, yang lain sebagai pekerja. Tuntutannya satu, pemodal tidak boleh banyak rewel pilihan menu dan hasil masakan. Istilah jawa, beras matang kari keplok lan ngemplok (tinggal bergembira dan langsung makan), titik.
Dari gambaran proses memasak, bangunan utuh kekeluargaan terbentuk. Ada kerjasama, saling percaya dan saling menghargai. Apalagi ditunjang oleh konsensus etika makan, bahwa sebelum semua bulir nasi habis tak tersisa, tidak boleh meninggalkan perjamuan makan. Etika ini muncul atas keyakinan adanya “nilai keberkahan”.
Pada struktur sosial yang lebih besar, masyarakat umum. Etika perjamuan makan ala santri secara tidak sadar memberikan penghargaan setinggi-tingginya atas jasa petani. Jerih payah perjuangan petani menghasilkan butiran beras tidak dibuang percuma. Semua digerakkan dalam roda kehidupan mencari kebahagiaan hidup bersama. Otomatis budaya, tepo-sliro, unggah-ungguh dan gotong-royong berjalan dengan sendirinya. Nuansa seperti ini sulit ditemui di luar pesantren.
Melihat dari sisi menu kuliner di pesantren, memasak terong terbilang paling mudah dan digemari. Disamping pengolahannya sederhana, cepat dan ekonomis, pilihan menunya beragam. Ada resep terong goreng sambal bajak, terong tumisan, dan yang paling digemari terong gosong disajikan bersama sambal kacang, dll. Apalagi, ditemani minuma air putih yang dicampur entip nasi, warna cokelat kehitaman beraroma kerak nasi, top markotop.
Dengan memasak bahan sayur terong, tumbuh identitas khas santri, walau terkesan olok-olokan, disebut sebagai “generasi terong”. Apapun bentuk identitas itu, sarwa santri adalah mencari keberkahan ilmu dan amaliahnya.
“Terong” dari Santri Menuju Istana
Gerak kuliner di pesantren, mengikuti gerak keilmuan yang mereka kaji, karya ulama-ulama besar belbagai bidang; fiqih, tasawuf, tafsir Alquran, Hadits, Balaghoh (sastra) dll, dipelajari melintas batas masa dan peradaban. Namun sayang, dari beberapa literatur agama tersebut, mungkin bisa dibilang “tidak ditemukan atau belum ada” pembacaan karya ulama dibidang kuliner di pondok-pondok salaf.
Iwan Restandi dalam tulisannya “Sejarah Dapur Khalifah, Baghdad Abad ke-10 Masehi” mencatat; kitab al-Tabikh karya Ibnu Sayyar al-Warraq di Baghdad abad ke-10, ditulis masa keemasan peradaban Islam pada pemerintahan khalifah Al-Ma’mun Dinasti Abbasiyah. Kitab ini merupakan karya kuliner terbesar yang mengaitkan dengan ilmu pengetahuan, kedokteran. Ibnu Sayyar mengumpulkan berbagai resep masakan hasil kreasinya, serta mengikuti saran-saran para pakar kedokteran.
Lebih lanjut di Andalusia, Ibnu Razin menulis Fadhalat al-Khiwan fi at-Thayyibat at Ta’am wa al-Alwan pada abad ke-12 Masehi. Buku lain dari Andalusia adalah Kitab al-Tabikh fi al-Maghrib wa alAndalus. Muncul pula buku yang berjudul sama dengan yang ditulis Ibnu Sayyar, Kitab al-Tabikh, penulisnya adalah Mohammed al-Baghdadi. Pada abad ke-13 Masehi di Suriah, lahir kitab berjudul Tadhkira, karya Dawad al-Antaki. Ada pula Wasla al-Habib fi Wasf alTayyibat wa Tibb, yang disusun oleh Ibnu A’dim pada abad yang sama. Selain itu, muncul buku Kanz al-Fawa’id fi Tanwi’ al-Maw’id, karya seorang juru masak dari Mesir.
Dalam soal menu kuliner, sayur terong pure dengan cuka dan jintan masuk dalam kategori menu masakan di kitab al-Tabikh karya Ibnu Sayyar. Bahkan, pernikahan khalifah Al-Ma’mun pada tahun 210 H, dengan wanita cantik bernama Khadijah putri Hasan bin Sahal, wazirnya atau lebih dikenal dengan nama Buran. Untuk pertama kali, olahan terong yang digarami, dibumbui, dan digoreng menjadi hidangan istanah khalifah. Karena rasa sayangnya, menu makanan istimewa ini dinamai buran, diambil dari nama istrinya.
Beberapa faktor menunjang pesatnya perkembangan kuliner saat itu. Menurut Philip K Hitti (2018), dalam A Short History of the Arabs, salah satu faktornya adalah selera tinggi para bangsawan terhadap makanan. Selain itu, lahirnya revolusi pertanian di dunia Islam ikut berpengaruh. Petani dan ilmuwan muslim berhasil mengembangkan beragam jenis tanaman, sayuran dan buah yang sebelumnya bahkan tak pernah dikenal. Wallahua’lam. (RM)