Pembaharuan dan pemikiran Islam haruslah dinamis, karena perkembangan zaman yang semakin maju diperlukan penyesuaian dalam membaca dan menyelesaikan problem yang terjadi di tengah gempuran modernitas. Dalam hal ini Al-Qur’an yang menjadi pusat dalam penyelesaian masalah, yang menurut Muhammad Syahrur diperlukan pendekatan metodologi dalam mencari jawabannya. Salah satu contoh yang dapat kita lihat hingga saat ini, yaitu konsep nasikh-mansukh klasik yang tidak mencerminkan universalitas Al-Qur’an.
Karena masalah metodologi dalam penafsiran tersebut, Syahrur berusaha melakukan observasi dan memformulasikan metode yang tetap dalam menafsirkan AL-Qur’an yang relevan dan menyesuaikan zaman. Contoh kasus, Syahrur beranggapan bahwa persepsi tentang keterpinggiran yang dirasakan kaum perempuan, yang dikaji dalam perspektif fikih akan adil dan valid bagi perempuan. Dapat dilihat dari artikel yang ditulis oleh Abdul Mustaqim, “Teori Hudûd Muhammad Syahrur dan Kontribusinya dalam Penafsiran Al-Qur’an,” dalam Jurnal AL QUDS: Jurnal Studi Al-Qur’an dan Hadis, Vol. 1, Tahun 2017, hal. 4.
Terkait dengan pandangan intelektualnya, yang memancar karena kegelisahan yang tidak dapat dipisahkan dari problematika yang mengitarinya. Syahrur melakukan analisis terhadap ilmu-ilmu keislaman kontemporer, ia menemukan problem yang terjadi pada pemikir Islam modern, yaitu pertama, tidak adanya metode obyektif terhadap kajian nash (ayat-ayat kitab). Kedua, tertolaknya kajian-kajian keislaman karena pengaruh persepektif lama yang dianggap mapan, dan terperangkap dalam kungkungan subyektifitas bukan obyektifitas.
Ketiga, tidak digunakannya filsafat humaniora dikarenakan umat Islam masih mencurigai pemikiran barat yang keliru dan sesat. Keempat, tidak adanya epistemologi Islam yang benar. Yang akhirnya berdampak terhadap fanatisme dan doktrin para mazhab yang mengakumulasikan pemikiran abad-abad silam sehingga pemikiran Islam menjadi sempit dan tidak berkembang. Dan kelima, produk-produk fikih yang tidak relevan lagi dengan tuntutan modernitas. Yang dibutuhkan adalah formulasi fikih baru.
Selain itu, Syahrur melihat adanya polarisasi masyarakat menjadi dua kelompok. Pertama, yang memiliki pedoman secara kaku dalam tradisinya. Dan Kedua, mereka yang beraliran paham Marxis, komunis, dan beberapa tokoh nasionalis Arab yang menyerukan sekulerisme dan modernitas menolak adanya pemikiran Islam, termasuk Al-Qur’an. Dapat dilihat dari artikel yang ditulis oleh Toni Pransiska, “Rekonstruksi Konsep Poligami Ala Muhammad Syahrur: Sebuah Tafsir Kontemporer,” dalam Jurnal HIKMAH, Vol. XII, No. 2 Tahun 2016, hal. 193-194.
Syahrur mencoba untuk memberikan penafsirannya terhadap surah an-Nisa ayat 3, yang bertolak belakang dengan penafsiran ulama. Yang mendasarkan ayat poligami adalah ayat hududiyyah, yaitu dilihat dari dua sisi kualitas dan kuantitas. Sedangkan dalam melakukan istinbat hukum, Syahrur memiliki 2 metode. Pertama, analisis linguistik dan semantik. Dan kedua, penerapan ilmu eksakta modern yang diaplikasikan dalam bentuk teori limitnya (nazhariyyah hudūd). Di sini kita fokuskan pada kritik yang disampaikannya tentang ayat poligami. Dapat dilihat dari artikel yang ditulis oleh Toni Pransiska, “Rekonstruksi, …, hal. 194.
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (an-Nisa/4:3)
Pada surah an-Nisa ayat 3 tersebut, Syahrur menggunakan teori batasnya (nadhariyah hudūdiyah) sebagai analisis terhadap ayat tersebut. Didapati 2 macam al-hadd, yaitu hadd fi al-kamm (secara kuantitas) dan hadd fi al-kayf (secara kualitas). Pertama, hadd fi al-kamm. Ayat ini menjelaskan bahwa hadd al-adnâ atau jumlah minimal istri yang diperbolehkan agama adalah satu, karena tidak mungkin seorang beristri setengah. Adapun hadd al-a’lā atau jumlah maksimum yang diperbolehkan adalah empat. Dan kedua, hadd fi al-kayf. Yang dimaksud istri di sini, apakah masih perawan atau janda.
Kata hadd fi al-kayf merupakan ayat yang termaktub dalam memakai shighah syarth, yang seolah-olah, menurut Syahrur, kalimatnya adalah: “Fankihū mâ thāba lakum min al-nisâ’ matsnâ wa thulâtsâ wa rubâ’ …” dengan syarat kalau “ wa in khiftum an lâ tuqsithū fi al-yatâmâ …”. Dengan kata lain untuk istri pertama dipersyaratannya adalah perawan atau janda, sedangkan pada istri kedua, ketiga dan keempat dipersyaratkan dari armalah/janda yang mempunyi anak yatim.
Oleh karena itu, jika syarat-syarat ini tidak bisa dipenuhi, maka cukup menikahi satu saja. Sebab dalam hal ini, Allah SWT berfirman: ”Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (an-Nisa/4:3). Sebaliknya Syahrur mengatakan boleh berpoligami asalkan dua syaratnya terpenuhi, yaitu (kammiyyah dan kaifiyah). maka poligami itu boleh dan diperintahkan, dengan tegas ia menyatakan “Sesungguhnya Allah tidak hanya membolehkan poligami (bagi yang memenuhi syarat), tetapi bahkan memerintahkannya….” mengingat mulianya poligami karena membantu para janda dan anak yatim. Dapat dilihat dari kitab yang ditulis oleh Muhammad Syahrur, al-Kitāb wa al-Qur’ān: Qirā’ah Mu’āshirah, Damaskus: al-Ahālī li Thabā’ah wa al-Nasyr wa al-Taujī’, 1991, hal. 597-599.
Berdasarkan pernyataan Al-Qur’an di atas, jelaslah bahwa poligami bukanlah solusi yang menyenangkan dalam pembelaan dengan pola yang terbatas. Tetapi Al-Qur’an tidak menerima adanya institusi poligami karena tidak pernah membuka ‘kran‘ yang selebar-lebarnya untuk memiliki 4 istri. Perkawinan dibolehkan melebihi satu istri asalkan syaratnya terpenuhi dan adil ke dalam 3 tingkatan; penggunaan harta kekayaan anak yatim dengan layak, adil terhadap semua istri dalam hal materi, dan jaminan cinta dan kasih sayang kepada semua istri-istrinya secara adil.