Sedang Membaca
Penggunaan TOA dalam Diskursus Fikih Islam: Telaah Singkat atas Pemikiran Syekh Utsaimin tentang Penggunaan TOA Saat Salat
M. Luthfi Thomafi
Penulis Kolom

Ketua Pimpinan Pusat GP. Ansor. Dosen STAI Al-Anwar Sarang Rembang.

Penggunaan TOA dalam Diskursus Fikih Islam: Telaah Singkat atas Pemikiran Syekh Utsaimin tentang Penggunaan TOA Saat Salat

Kitab Syekh Utsaimin

Kementerian Agama bahkan harus lebih berani lagi untuk mengeluarkan aturan atau regulasi terutama berkaitan dengan mubaligh-mubaligh yang gemar menyebarkan kebencian di khotbah-khotbah mereka. Pengaturan dimaksudkan untuk melanggengkan kedamaian dan kenyamanan, bukan memelihara kebencian yang justru dikeluarkan melalui khotbah-khotbah dari rumah Allah.

Surat Edaran Menteri Agama Nomor SE. 05 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara yang mengatur tentang penggunaan toa di masjid telah menghiasi tema-tema pembicaraan terutama di media sosial. Sebenarnya, SE Menteri Agama ini bukan hal baru.

Pada tahun 1978, Departemen Agama RI melalui Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, telah mengeluarkan Instruksi Nomor : KEP/D/101/’78 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musholla. Kemudian, pada tahun 2018, Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam, telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor : B.3940/DJ.III/Hk.00.7/08/2018 tentang Pelaksanaan Instruksi Dirjen Bimas Islam Nomor : KEP/D/101/’78 Tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musholla.

Jika ada yang marah sebab tidak setuju dengan Surat Edaran tersebut, maka kemarahan itu terlambat 40 tahun lebih. Walaupun Surat Edaran Menteri Agama Nomor 05 Tahun 2022 bukan hal baru, namun Edaran ini tetap penting untuk menjadi perhatian dan pembelajaran bersama.

Terlepas dari misleading yang terjadi, Surat Edaran 05 2002 tersebut memberikan pelajaran dan hikmah yang luar biasa. Di Timur Tengah, terutama di Arab Saudi dan Mesir, perdebatan atau aturan mengenai penggunaan toa di masjid telah menjadi perbincangan puluhan tahun lalu.

Baca juga:  Mahmoud Darwish dan Liberasi Cinta

Pembahasan itu bukan hanya soal penggunaan toa untuk adzan, tetapi juga untuk salat. Salah satunya adalah apa yang telah dibahas dalam kitab Fatāwā wa Rasā`il Fadhīlat al-Shaykh Muhammad ibn Şālih al-‘Uthaimin karya Syekh Abu ‘Abdullah Muhammad bin Shalih bin Muhammad bin Sulaiman bin Abdur Rahman Al-‘Utsaimin At-Tamimi, yang lebih populer dengan nama Syekh Utsaimin, ulama terkemuka asal Arab Saudi.   

Dalam kitab yang terdiri dari 29 volume itu, Syekh Ibnu Utsaimin menulis pernah mendapatkan pertanyaan yang lugu : apa hukumnya menggunakan pengeras suara saat salat, jika pengeras suara berada di menara dan mengganggu masjid lain? Pertanyaan ini, tercatat pertanyaan nomor 447, diajukan sebab masjid di Timur Tengah cenderung berdekatan satu sama lain dengan pengeras suara yang berpotensi bersaingan.

Mendapatkan pertanyaan itu, tanpa ragu, beliau menjawab : menggunakan pengeras suara saat salat dengan toa di menara adalah dilarang (oleh agama), karena menyebabkan banyak gangguan bagi orang-orang yang rumahnya di sekitar masjid serta mengganggu masjid-masjid lain di sekitarnya. Beliau menjawab hal tersebut dengan mengutip Syarh al-Zurqani ‘ala Muwattha` bab al-‘Amal fi al-Qira`ah.

Syekh Ibnu Utsaimin, mantan Ketua Majelis Ulama Arab Saudi itu, juga mengutip riwayat Abu Dawud yang mengisahkan Nabi Muhammad Saw mendapati beberapa sahabat membaca al-Qur’an dengan suara keras, maka beliau bersabda : “Sesungguhnya, kalian semua sedang berdoa kepada Allah Swt, hendaklah jangan saling menyakiti, dan jangan meninggikan suara satu sama lain dalam membaca.”

Baca juga:  Islam dan Hak Asasi Manusia (1): Bagaimana Islam Memandang HAM?

Menurut Syekh Utsaimin, makna hadits ini adalah larangan membaca dengan suara keras saat salat, karena akan mengganggu orang lain. Selain itu, Syekh Utsaimin juga mengutip pendapat Syekh Ibn Taymiyyah, yang menyatakan “tidak seorang pun berhak membaca dengan keras sedemikian rupa (saat salat) sehingga merugikan orang lain”.

Poin-poin catatan Syekh Utsaimin atas permasalahan penggunaan toa saat salat, sebagaimana dalam Fatāwā wa Rasā`il, vol. 13 halaman 74-99, di antaranya adalah sebagai berikut :

  • Nabi Muhammad Saw telah secara nyata melarang untuk mengeraskan suara saat salat. Baginya, ini dapat menjadi landasan formal untuk melakukan pelarangan penggunaan toa (di menara) saat salat.
  • Mengeraskan suara saat salat dapat mengganggu orang yang sedang salat di masjid-masjid terdekat. Hal ini berkaca pada kasus-kasus di Timur Tengah dimana sering terjadi suara masjid bersaut-sautan sehingga mengganggu jamaah satu sama lain.
  • Mengeraskan suara saat salat dapat mengganggu orang yang mendengarnya dari kalangan jamaah (baik di masjid tersebut maupun di masjid lain) yang sedang menuntut ilmu atau sedang mengaji. Salat adalah kewajiban yang tidak mungkin dilakukan dengan mengganggu kewajiban lainnya.
  • Orang-orang yang rumahnya di sekitar masjid dan dapat mendengar bacaan salat (atau al-Qur`an) sangat mungkin (atau kebanyakan) mereka sedang tidak memperhatikannya, dan seolah-olah (atau benar-benar) mengabaikannya. Dengan demikian, kekhawatiran Syekh Utsaimin, bacaan al-Qur`an menjadi tidak berwibawa.
  • Pendapat yang mengatakan bahwa dengan toa dapat mempengaruhi atau mengajak orang (untuk melakukan salat), terutama jika suara imam itu indah, ini mungkin benar, tetapi hal itu, baginya, merupakan manfaat individual. Kaidah umum dalam fikih, masih menurutnya, adalah bahwa jika maslahah dan mudarat bertemu, maka menghindari mudarat harus diutamakan.
Baca juga:  Konsep Fikih Menjaga Lingkungan (2): Mengenal Iqtha’ Tamlik dan Iqtha’ Irfaq di Kalangan Ulama Fikih

Selain poin-poin di atas, Syekh Utsaimin juga memberikan nasehat masyarakat mengambil keputusan yang bijak, dan memperhatikan orang-orang yang merasa terganggu oleh ibadah kita. Dengan mengambil keputusan seperti itu berarti telah sesuai dengan apa yang disabdakan Nabi Muhammad Saw di atas.

Jika Syekh Utsaimin, yang selama ini dihormati oleh masyarakat Wahabi Indonesia, berani dengan bijak melarang penggunaan toa atau pengeras suara saat salat, tentu sudah sangat benar jika pemerintah melalui Kementerian Agama melakukan pengaturan penggunaan toa untuk kegiatan azan salat.

Kementerian Agama bahkan harus lebih berani lagi untuk mengeluarkan aturan atau regulasi terutama berkaitan dengan mubaligh-mubaligh yang gemar menyebarkan kebencian di khotbah-khotbah mereka. Pengaturan dimaksudkan untuk melanggengkan kedamaian dan kenyamanan, bukan memelihara kebencian yang justru dikeluarkan melalui khotbah-khotbah dari rumah Allah.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top