Akhir tahun 2015 yang lalu, saya mendapat kesempatan mengikuti program #MenyapaNegeriku yang dilaksanakan oleh Kementrian Ristekdikti. Kegiatan ini bertujuan untuk memotret, memonitoring, dan mengevaluasi kinerja program SM-3T yang sudah berjalan 5 tahun.
Namun, karena peserta #MenyapaNegeriku berasal dari berbagai kalangan dan profesi, akhirnya para peserta juga dituntut untuk memberikan ‘sesuatu’ pada masyarakat di sana, sesuai dengan keahlian dan minatnya masing-masing, semacam kelas inspirasi gitulah.
Program SM-3T sendiri adalah program pengabdian sarjana pendidikan untuk berpartisipasi dalam percepatan pembangunan pendidikan di daerah 3T selama satu tahun sebagai penyiapan pendidik profesional yang akan dilanjutkan dengan Program Pendidikan Profesi Guru (PPG).
Selama ini, proses evaluasi yang telah dilakukan hanya melibatkan pihak dalam, yaitu LPTK (Lembaga pendidikan dan Tenaga Kependidikan). Maka dari itulah ini merupakan suatu terobosan baru dengan melibatkan masyarakat luas dalam melakukan evaluasi program. Karena selain peserta #MenyapaNegeriku memotret aktivitas perserta SM-3T di ujung negeri. Mereka juga harus memberikan inspirasi dan melaporkan kegiatan atau temuannya selama mereka berada di lokasi.
Dalam proses pendaftaran kegiatan tersebut, calon peserta diminta untuk menjelaskan apa saja yang ingin mereka lakukan atau inspirasi apa yang ingin dibagikan selama mereka berada di sana? Lokasi mana yang dipilih, dan mengapa? Sebagai orang yang memiliki ketertarikan khusus di bidang seni budaya, saya memilih kepulauan Anambas, provinsi kepulauan Riau dengan salah satu tujuan, ingin meneliti seni budaya melayu di daerah tersebut, terutama di bidang musik.
Kemajuan suatu bangsa tidak hanya terlihat pada perkembangan ekonomi dan politik saja. Karya seni-budayanya juga menjadi salah satu alat penanda tingkatan budaya suatu bangsa. Penting sekali kita memperhatikan dan mendokumentasikan seni budaya yang kita punya sebagai bagian dari kekayaan bangsa dan sebuah catatan pengingat generasi selanjutnya, bahwa kita memiliki banyak seni-budaya yang harus dijaga eksistensinya. Misal diantaranya, seni musik dari kepulauan Anambas, Gendang Siantan.
Gendang Siantan: Kesenian Musik Melayu
Gendang Siantan adalah salah satu kesenian musik daerah yang berasal dari kecamatan Siantan, kabupaten Kepulauan Anambas, provinsi Kepulauan Riau. Menurut kisah pemangku adat yang saya temui, kesenian melayu ini awalnya hanya gendang biasa dan dipukul tak beraturan.
Akan tetapi, karena gendang tersebut cukup masyhur di kalangan masyarakat Melayu, kemudian banyak yang memainkannya namun dengan cara yang sederhana dan belum memiliki ketentuan khusus.
Gendang Siantan kemudian mengalami perkembangan atas pengaruh kesenian lain, seperti pengaruh Dayak, Bugis, Melayu Deli, serta pengaruh dari para pedagang India dan orang-orang Eropa yang melalui daerah itu. Hal ini bisa dilihat dari beberapa instrumen yang dipakai dalam musik tersebut. Seperti Gong (menurut ketua adat setempat Gong yang dipakai nyaris tidak ada perbedaan dengan gong Jawa dan Bali), kemudian ada biola, dan tentu saja gendang.
Selain instrumen, saya memperhatikan adanya pengaruh pada cara memainkannya. Pola pukul gendang agaknya dipengaruhi India walaupun notasi penyanyi dan tangga nada yang dimainkan masih sangat khas bernuansa dan bercita rasa Melayu. Kesenian ini biasanya dimainkan diacara hajatan perkawinan. Maka dari itu musik ini terkesan sakral.
Sayangnya, Gendang Siantan kini sudah semakin langka dan cukup sulit ditemukan. Pemangku adat setempat mengisahkan bahwa ada beberapa masalah yang perlu dicari solusinya. Hal ini menjadi catatan penting dan seharusnya menjadi perhatian kita, baik masyarakat dan terutama pemangku kebijakan.
Pertama, lumpuhnya Lembaga Adat Melayu (LAM). Lembaga ini pada dasarnya sangat potensial untuk menjaga aset seni-budaya di Siantan. Namun nyatanya, pemerintah kurang mendukung itu. Pemangku Adat mengatakan bahwa banyak hal yang kurang menyenangkan yang dihadapi mereka. Terutama terkait dengan respon pemerintah lokal terhadap lembaga ini. Jangankan untuk mengembangkan, untuk mengurus saja terkesan tak tertarik, cenderung membiarkan begitu saja.
Kedua, kurangnya pemahaman dan hilangnya perhatian terhadap seni-budaya lokal, ditambah dengan tekanan global yang tak terbendung, sedikit demi sedikit, perlahan kearifan lokal semakin tereleminasi. Gendang Siantan kini sudah terganti oleh organ tunggal yang hampir menghiasi seluruh resepsi pernikahan masyarakat di daerah itu.
Dari fenomena Gendang Siantan tersebut, saya berpikir bahwa telah terjadi sebuah proses pemahaman yang kurang tepat menyoal seni-budaya sebagai aset bangsa yang tak ternilai harganya. Terutama bagi para pemangku kebijakan dan sebagian masyarakat kita.
Fakta tersebut bahkan dialami saya sendiri, di mana ketika tahun 2013 lalu diterima di jurusan kajian seni pertunjukan di salah satu universitas di UK, pewawancara dari penyedia beasiswa pemerintah menegaskan dan menilai bahwa jurusan yang saya pilih adalah jurusan “aneh” dan tidak menjadi prioritas pemerintah. Benar-benar bikin baper.
Disadari atau tidak, ternyata kita masih ‘tertindas’ secara budaya dan selera. Resistensi kelokalan atas hegemoni barat nyaris tak terdengar dan praktek-praktek tersebut jelas berhubungan dengan kekuasaan barat atas dominasi budayanya. (aa)