Niatnya ikut-ikutan menulis tentang spekulasi keterlibatan Janissary Utsmaniyah dalam perang Jawa yang terjadi 1825-1830, namun godaan untuk menulis subjek lain tak bisa dihindari. Kemarin tergoda menulis relasi Aceh-Jambi-Ustmaniyah, sekarang tak bisa menolak tarikan untuk menulis sosok Diponegoro, tokoh sentral dalam perang Jawa. Sosok luar biasa yang mengguncang dan hampir membuat bangkrut pemerintah kolonial Belanda ini.
Pangeran Diponegoro lahir pada Jumat Wage dari rahim seorang perempuan berusia lima belas tahun, berstatus istri tak resmi (garwo ampeyan) bernama Raden Ayu Mangkorowati, putri Kiai Ageng Prampelan yang masih trah Sunan Ampel. Bapaknya adalah putra sulung Sultan Hamengkubuwono II yang lahir dari garwa padmi, Ratu Kedaton yang berdarah Madura, keturunan Panembahan Cakraningrat II.
Dia besar di lingkungan nenek buyutnya, Nyai Ageng Tegalrejo, istri Sultan Yogyakarta pertama, seorang panglima pasukan kawal istana perempuan “Srikandi” yang masih trah kesultanan Bima di Sumbawa. Kehidupannya di Tegalrejo membuatnya dekat dengan para haji, kiai, dan penghulu agama Islam. Hal itu dibuktikan pada saat perang, dukungan mengalir dari kaum santri. Terhitung dukungan datang dari 88 kiai, 36 syeikh, 18 penghulu agama, 15 guru mengaji, dan beberapa ulama dari Bagelen, Kedu, Mataram, Pajang, Madiun, dan Ponorogo. Pangeran yang memiliki 12 putra dan 5 putri ini mengunjungi banyak pesantren: Gading, Grojogan, Sewon, Jejeran, Turi, Pulo, Kadang, Kasongan, Dongkelan, dan lain-lain.
Laki-laki yang digambarkan bertubuh gempal dengan tinggi sedang ini adalah ningrat yang gemar membaca. Buku Bustan as-Salatin karya Nuruddin ar-Raniri dan al-Tufha al-Mursalah karya Muhammad ibnu Fadillah al-Burhapuri yang dipinjamnya dari Raden Ayu Danukesumo dilahapnya.
Selain itu, pangeran yang disebut dekat dengan rakyat jelata ini juga memiliki koleksi buku Sirat as-Salatin, Taqrib, Lubab al-Fiqh, Muharar, Taqarrub, Joyo Lengkoro, dan lain-lain. Dia juga belajar Fatuh al-Muluk, Hakik al-Modin, Nasihat al-Muluk, juga kisah-kisah klasik Jawa seperti Serat Rama, Bhoma Kawya, Arjunawijaya, dan Arjunawiwaha. Pada saat berada di pengasingan, dia meminta naska-naskah Bharatayudha, Asmoro Supi, Serat Manikmaya, Serat Gandakesuma, Serat Angreni, dan cerita Panji.
Dengan bacaan yang begitu luas, sang Pangeran masih tetap orang Jawa yang menyukai senjata-senjata bertuah dan menyepi di tempat yang dianggap keramat.
Dia terkenal mengoleksi banyak keris, setelah perang senjata-senjata itu dibagikan kepada kerabatnnya kecuali keris Kiai Bondoyudo dan keris Kiai Abijoyo, sedangkan keris Kiai Naga Siluman dirampas dan diserahkan kepada Raja Belanda, Willem I.
Ada puluhan tempat keramat yang dijadikan tempat menyepi: pasarean Imogiri, Gua Langse, Gua Siluman, Gua Surocolo, Gua Song Kamal, Parangkesukmo, Parangwedang, Parangtritis, Cemoro Tunggal, dan lain-lain. Pada saat-saat menyepi itulah sang Pangeran merasa bertemu Sunan Kalijaga dan Nyai Ratu Kidul.
Konon, kepercayaannya terhadap hal-hal gaib saat menyepi itu yang menjadi salah satu penyebab retaknya persekutuan dirinya dengan Kiai Mojo. Selain dugaan Kiai Mojo bahwa sang Pangeran berambisi menjadi raja baru di Tanah Jawa.
Sebagai “sultan”, panglima tertinggi perang melawan Belanda, Diponegoro menyebut dirinya dalam babad yang disusunya “tidak dapat berkelahi” dan “tidak tega melihat kematian”. Knoerle, orang yang mendampingi selama perjalanan menuju Manado mencatat pengakuan sang Pangeran bahwa dia tak pernah tega membawa senjata dalam perang dan merasa tepukul saat melihat pembantaian di medan perang. Namun De Stuers membantahnya, pada akhir 1825, Pangeran pernah memberikan perintah untuk memancung kepala semua pembesar desa di barat ibu kota kesultanan karena membantu pembangunan jalan raya dari Yogyakarta ke penyeberagan Brosot di Kali Progo.
Selain suka menyirih, Diponegoro juga minum anggur, dan merokok lintingan daun jagung. Namun pengakuan sang Pengeran yang membuat surprise adalah dia seorang yang sering tergoda oleh perempuan. Laki-laki berjuluk Sultan Abdulkhamid yang pernah menikah sebanyak sembilan kali ini mengakui dalam babad yang ditulisnya bahwa kekalahanya dalam pertempuran di Gowok ada kaitanya dengan penyelewengannya dengan gadis Tionghoa, tawanan perang dari Kedaren Delanggu yang menjadi tukang pijitnya.
Residen Manado, Willem Pietermaat menyebutkan, saat dipengsingan percakapan sang Pangeran terbanyak adalah tentang para perempuan yang menganggapnya sebagai kekasih yang menawan. Bahkan pada saat di Manado dia berusaha mendekati seorang gadis, anak tokoh Islam terkemuka, Letnan Hasan Nur Latif. Sayang keinginan Pangeran untuk mengawininya ditolak sang bapak.
Selama di pengasingan Diponegoro menyalin Al-Qur’an dan menggambar denah-denah mistik, juga menyusun naskah Sejarah Ratu Jawa dan Hikayat Tanah Jawa, selain menulis Babad Diponegoro yang mengisahkan perjalanan hidupnya.
Pada Juni 1833 Sang Pangeran dipindahkan ke Makassar dari Manado sampai akhir hayatnya pada 8 Januari 1855. Jasadnya dikebumikan di Kampung Melayu Makasar. Lahu al-Fatihah.
———————————
Buku sumber: Kuasa Ramalan jilid 1 dan 2 karya Peter Carey, Babad Dipanegara karya Pangeran Diponegoro, dan Jejaring Ulama Diponegoro karya Zainul Milal Bizawi. Gambar Raden Saleh dari Wikipedia.