Makinuddin Samin
Penulis Kolom

Sastrawan. Novelnya yang sudah terbit antara lain, Ranggalawe dan Ahangkara. Aktivis Lesbumi Cirebon.

Kita dan Tragedi 65 (4): Hiruk Pikuk Intelijen Menjelang G-30-S

4

Sebelum dan sesudah peristiwa G-30-S, khususnya di Jakarta, banyak kabar menyesatkan, mengaburkan, dan menipu yang sengaja dihembuskan di tengah masyarakat. Dua sejarahwan Australia, Robert Cribb dan Colin Brown menyebut bahwa menjelang G-30-S desas-desus, kabar burung, dan penyesatan berita sengaja dibuat untuk menyesaki udara Jakarta. Siapa yang melakukan pekerjaan itu? Siapa lagi kalau bukan kerja para intelijen!

Kerja intelijen tidak jauh-jauh dari mencuri informasi lawan, menyebarkan berita bohong/menyesatkan, melakukan penyusupan (infiltrasi), pembunuhan senyap, dan sabotase. Persoalannya, untuk kepentingan siapa para intelijen itu bekerja memanasi Jakarta dengan berbagai berita menyesatkan? Sangat sulit menebaknya, sebab saat itu banyak lembaga; militer maupun sipil yag memiliki badan intelijen sendiri.

Angkatan Darat (AD) memiliki intelijen di bawah kendali Mayjend S. Parman. Jenderal Nasution sebagai Menko Hankam Pangab memiliki jaringan intelijennya sendiri. Konstrad di bawah Mayjend Suharto juga memiliki kelompok intelijen. Wakil Perdana Menteri I (Wapedam I) dan Menteri Luar Negeri Subandrio memiliki Badan Pusat Intelijen (BPI). Komando Operasi Tertinggi (Koti) memiliki badan intelijen sendiri. Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Angkatan Kepolisian juga memiliki kelompok intelijen. PKI juga memiliki Biro Khusus (BK) yang juga bekerja secara klendestin.

Masing-masing badan/kelompok intelijen saling menyusupkan anggotanya ke kubu lawan, bahkan mereka sudah saling mengetahui kalau organisasi disusupi pihak lain. Kepala Intelijen AD, Jenderal S. Parman (salah satu korban penculikan) pernah mengatakan kepada salah seorang perwira militer AS yang bertugas di kedutaan Jakarta bahwa dia sudah menyusupkan anggotanya di tubuh PKI dan dapat mengetahui keputusan penting yang diambil partai dalam hitungan jam. Jenderal Parman juga mengatakan bahwa PKI sudah mengetahui organisasinya disusupi. Sakirman, salah satu anggota Politbiro PKI adalah saudara tua Jenderal Parman.

Baca juga:  Memahami Intoleransi Secara Struktural: Bercermin dari Kasus Kemendikbud

Fahmi Idris pernah membagikan ceritanya kepada Salim Said, bahwa dirinya dan kawan-kawanya pernah mendapat pendidikan combat intelligence. Fahmi dikenal dekat dengan Jenderal Ahmad Sukendro, tokoh intel AD, Jenderal Alamsyah di Markas Besar AD (Mabes AD) dan Jenderal Muchlas Rowi, orang dekat Nasution. Cerita tentang aktivis mahasiswa yang terlibat dalam permainan intelijen bukan hanya milik Fahmi dan kawan-kawan semata. Sulastomo, ketua Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) saat itu juga mengakui bahwa banyak anggota HMI yang menjadi petugas intel dan disusupkan di tubuh PKI. “Wah repot, kalau mereka dikira PKI betulan,” kata Sulastomo kepada Salim Said ketika tentara mulai menangkapi para anggota dan simpatisan PKI.

Menjelang G-30-S beredar kabar bahwa PKI akan memperingati Peristiwa Madiun. Berita itu dihembuskan oleh seorang yang bernama Zainal Zaske. Salim Said menyebut bahwa berita itu ikut mendorong kecurigaan orang kepada PKI sebagai dalang dibalik G-30-S. Bertahun-tahun kemudian Salim Said mendapat informasi bahwa kontak Zaske adalah sastrawan terkemuka Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) bernama Prof. Bakri Siregar. Beberapa waktu setelah G-30-S, ketika orang-orang Lekra sudah ditangkap atau dihilangkan oleh tentara, Salim Said mengaku meilihat Bakri Siregar jalan-jalan santai di depan Rumah Sakit Cipto Mangukusumo.

Begitu rumitnya menjelang peristiwa berdarah 1 Oktober itu sehingga keganjilan sedikit saja membuat seseorang dicurigai atau mencurigai. Letnan Abdul Arief (Dul Arief) adalah salah satu orang yang dicurigai sebagai orang yang disusupkan dalam G-30-S. Dia memimpin unit Pasopati yang bertugas menangkap para jenderal. Dul Arief dicurigai karena saat kelompok G-30-S diburu oleh tentara, dia justru tak pernah ditahan dan tak pernah dibawa ke pengadilan. Belakangan diketahui Dul Arief adalah anak angkat Ali Murtopo, orang terdekat Jenderal Suharto.

Hal serupa juga terjadi dengan Untung Syamsuri, pemimpin militer G-30-S dan Abdul Latif, salah satu wakil Untung dalam gerakan; mereka berdua orang yang dikenal dekat dengan Jenderal Suharto. Kedekatan Suharto dengan Untung ditunjukkan dengan kedatangan keluarga Suharto di pernikahan Untung di Kebumen. Kedekatan Suharto dengan Latif dituntujukkan dengan kehadiran Suharto pada saat acara sunatan anak Latif, dan kedatangan keluarga latif pada saat Sigit, putra Suharto disunat. Menurut pengakuan Latif, saking dekatnya dengan Suharto, Latif pernah menawarkan rumahnya yang lebih besar untuk ditukar dengan rumah dinas Suharto yang berukuran lebih kecil agar bekas atasannya itu mendapat rumah yang lebih luas. Kedekatan pribadi itu membuat orang-orang menduga-duga, Untung dan Latif sebenarnya orangnya siapa?

Baca juga:  Nouruz Mubarak

Cerita tentang kerja intelijen sebelum G-30-S tak lengkap tanpa menyebut triumvirat Syam, Pono, dan Bono, tiga tokoh yang dikenal sebagai orang-orang inti BK. Di BK PKI ketiganya adalah orang-orangnya DN. Aidit (ketua PKI) yang betugas untuk merekrut dan memelihara hubungan dengan para perwira militer. Ketiganya bebas keluar masuk markas tentara karena masing-masing memiliki kartu indetitas sebagai agen intelijen militer. Kemewahan yang dimiliki ketiganya itu yang membuat orang meraba-raba; Syam, Pono, dan Bono sebenarnya para agen PKI yang disusupkan di militer atau agen militer yang disusupkan di tubuh PKI, atau mereka agen pihak ketiga (pihak asing) yang disusupkan ke tubuh PKI sekaligus di kesatuan militer? Di antara ketiganya, Syam (pemimpin politik G-30-S) yang paling misterius.

Syam Kamaruzaman bin Ahmad Mubaidah alias Jimin (nama samaran) adalah seorang keturunan pedagang Arab yang lahir di Tuban, Jawa Timur. Pernah sekolah di Surabaya dan kemudian pindah ke Yogyakarta menjelang Jepang datang. Pada saat di Yogyakarta, saat revolusi fisik Syam masuk ke dalam Kelompok Pemuda Pathuk yang dimotori Kusumo Sunjoyo, Permadi Joy, Den Nyoto, dan Dayino. Kelompok Pathuk ini merupakan bagian dari jaringan perlawanan “bawah tanah” Sutan Syahrir dan Jhohan Sjahroezah. Salah satu kegiatan Pemuda Pathuk adalah diskusi kebangsaan dan melakukan kajian buku “Das Kapital” karya Karl Mark, karena itu kelompok ini dikenal sebagai Marx House.

Baca juga:  NU dan Keterlambatan-keterlambatannya

Pasca perang kemerdekaan Kelompok Pathuk pecah, ada yang masuk Partai Sosialis Indonesia (PSI), ada yang masuk PKI, dan ada yang tetap menjalani karir militer. Salah satu tugas Syam di BK adalah memelihara jaringan militer, salah satunya jaringan para tentara yang sama-sama pernah bergerilnya di Yogyakarta dari Kelompok Pathuk. Salah satu anggota Kelompok Pathuk yang tetap berkarir di militer pasca perang kemerdekaan adalah Suharto.

Sebagai bekas anggota Kelompok Pathuk, Suharto dan keluarga memiliki kedekatan khusus dengan Dayino (salah satu bekas pemimpin Pemuda Pathuk). Salim Said pernah mewawancari Dayino pada 1984-an, bahwa Ibu Tien Suharto pernah berkonsultasi dengan Dayino soal rencana suaminya keluar dari militer sebab pendapatannya sebagai Pangkostrad dianggap tidak mencukupi kebutuhan rumah tangganya.

Simpul kelompok Pathuk ini yang kemudian memunculnya dugaan bahwa Syam dan Suharto sebagai kawan lama yang saling terkait menjelang G-30-S. Syam dicurigai sebagai agen ganda, mungkin lebih. Agen siapa? Allahu a’lam.

—————————————————–

Sumber buku: 1) “Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September & Kudeta Suharto” karya John Roosa; 2) “Gestapu 65: PKI, Aidit, Sukarno, dan Seoharto” karya Salim Haji Said; 3) “Propaganda dan Genosida di Indonesia: Sejarah Rekayasa Hantu 1965” karya Saskia E. Wieringa dan Nursyahbani Katjasungkana; dan 4) “Djohan Sjahroezah: Perjuangan Kemerdekaan Bawah Tanah” karya Riadi Ngasiran. Gambar dari Dude-Historia.blogspot.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top