Sedang Membaca
Dilema Penafsiran Ayat tentang Semesta

Alumnus Teknik Kimia UPN Veteran Yogyakarta. Tinggal di Bekasi.

Dilema Penafsiran Ayat tentang Semesta

John Fowler 7ym9rpytsda Unsplash (1)

Persoalan penafsiran ayat-ayat semesta sebetulnya bukan pada sumber daya manusianya, mencari sosok yang selain dituntut memiliki kecakapan ilmu Al-Qur’an juga harus memiliki pengetahuan sains yang menyeluruh, – sementara dunia akademik sekarang hanya melahirkan ilmuwan-ilmuwan fakultatif,  tentu tak mudah. Persoalan terbesar justru ada pada ilmu sains itu sendiri. Tidak seperti ilmu tafsir, yang sanad dan rumusan kaidahnya sudah baku, teori-teori sains dirumuskan dari serangkaian ujicoba ilmiah yang berkembang tiap waktu. Artinya, teori sains yang diyakini masa kini bisa sewaktu-waktu direvisi, bahkan bisa hilang sama sekali oleh teori-teori baru. Biasanya karena digunakannya variabel-variabel pengujian yang lebih komplek.

Lihat saja teori phlogiston yang dihantam babak belur oleh teori elemen lavoiser, hampir tak tersisa kini. Atau heliosentris yang diamini nyaris semua orang pasca kedigdayaan geosentris. Atau teori cahaya yang seolah bunglon, ia dulu gelombang , lalu menjadi materi lalu menjadi dualisme materi-gelombang. Atau atom, yang pemodelannya begitu dinamis. Atau yang masih ramai dipeributkan hingga kini, flat earth.

Padahal, penafsiran Al-Qur’an tentang ayat semesta tentu tidak bisa mengesampingkan penggunaan teori sains. Kalau tak cermat, dalam arti bila teori sains digunakan sebagai legitimasi atas ayat semesta, sementara teori sains itu tidak tetap, maka tentu akan menjadi bomerang, akan melemahkan nilai haq dan absolut dari Al-Qur’an itu sendiri di mata masyarakat. Ibarat membangun rumah diatas permukaan tanah bergerak, satu waktu bisa runtuh rumahnya. Kita tak perlu berbangga ketika ada ayat dalam Al-Qur’an yang ternyata sesuai dengan realitas sains, sehingga merasa bahwa Al-Qur’an adalah benar karena telah terbukti secara sainstifik. Kita terkadang lupa bahwa kebenaran Al-Qur’an itu mutlak dari Allah, tanpa perlu sebab.

Baca juga:  Syaikhona Cholil, NU, dan Tanggungjawab Orang Madura

Lantas bagaimana seharusnya, bukan kah Al-Qur’an itu tibyanan likulli syai’in (16 : 89)?. Ini bukan bermakna bahwa segala sesuatu terkandung jelas di dalam Al-Qur’an, tetapi bahwa Al-Qur’an adalah guidence dalam menemukan segala sesuatu. Bahwa Al-Qur’an mengandung clue dan tentu clue tidak bisa menjelaskan secara utuh, itu artinya Allah membuka ruang bagi kita untuk membangun bentuknya,  la’allahum yatafakkarun.  Maka petunjuk-petunjuk itu harus kita gali melalui organanisasi pikiran yang baik dan tepat.

Penafsiran mengenai ayat semesta seharusnya digunakan untuk merekonstruksi teori-teori sains baru, bukan untuk melegitimasi teori sains yang ada. Bahwa penafsiran harus didasarkan pada sesuatu yang absolute, paling kukuh dasarnya. Maka Al-Qur’an dapat digunakan sebagai acuan dalam membangun hipotesis ilmiah dengan perangkat-perangkat ilmiahnya, karena tentu teori sains tidak dapat dikritik melalui argumentasi Al-Qur’an. Kritik ilmiah harus dilakukan secara ilmiah, melalui ujicoba ilmiah. Al-Qur’an memang benar, tetapi kebenaran itu harus disampaikan dengan benar juga.

Satu contoh ayat semesta yang sering digunakan dalam buku-buku yang mengulas sains Al-Qur’an adalah namlah (27 : 18), Ratu semut dalam kisah perjalanan pasukan Nabi Sulaiman. Diceritakan bahwa sebuah instruksi kepada segerombolan semut agar menyingkir dari jalur pasukan Nabi Sulaiman itu dilakukan oleh seekor semut perempuan (namlah). Fakta ilmiah juga menyebut sebuah koloni semut memiliki seorang semut perempuan (ratu semut) yang menjaga keberlangsung hidup koloni tersebut. Sisi ilmiah yang ditampilkan seharusnya tidak berhenti pada Ratu Semut, ayat itu seharusnya juga bisa digunakan untuk menyusun hipotesis ilmiah, misal mengenai bagaimana semut memberikan instruksi, menggunakan bahasa gelombang atau materialistik (persenyawaan, gerak, dll).

Baca juga:  Bulan Kemerdekaan, Kado Wapres, dan Robohnya Surau Kami

Lalu dalam bentuk apa sinyal yang diterima Nabi Sulaiman sehingga bisa mendengarnya lalu tersenyum (tabassama dhohikan) atau bahkan untuk mengembangkan biomimitik semut. Hipotesis ilmiah itu kemudian diuji menggunakan metodologi ilmiah yang validatif. Ketika menghasilkan simpulan yang mengungkap sesuatu, lalu jangan sekedar disyukuri sebagai bukti kebenaran Al-Qur’an (Al-Qur’an tak perlu dibuktikan benar), tapi alhamdulillah bahwa Al-Qur’an telah mengantarkan satu pemahaman ilmiah baru yang harapannya membawa maslahat bagi semesta raya.

Penafsiran Al-Qur’an agaknya juga harus mulai berkolaborasi dengan para ilmuwan sains dalam menafsirkan ayat-ayat semesta, agar bahasan mengenai ayat semesta tidak sebatas pada kajian bahasa dan asbab nuzulnya saja, tapi juga menggunakan pendekatan berdasar pada konteks teori sains yang sudah mapan. Ayat tentang logam misalnya, di dalam Al-Qur’an disebut mengenai besi, tembaga, emas, perak. Kesemuanya bisa dikaji secara persenyawaannya, karena masing-masing memiliki karakteristik kimia maupun fisika yang berbeda-beda (viscocity, melting point, conductivity, density, elektronegativity, dll). Salah satu ayat yang menyebut tembaga menggunakan kata nuhas (55 : 35), diayat yang lain menyebutnya dengan qithr (18 : 96).

Ini menjadi menarik ketika kita melihat konteksnya, ketika nuhas diterjemahkan sebagai cairan tembaga panas dan qithr dimaksudkan untuk tembaga mendidih. Secara bentuk, orang awam tentu akan mengimajinasikannya sebagai hal yang sama, yaitu tembaga berbentuk lelehan yang panas. Padahal Allah memiliki maksud dalam pemilihan setiap kata, sehingga untuk penafsiran sepertinya mutlak dibutuhkan pendekatan sains oleh seorang ilmuwan sains untuk melihat definisi mana yang paling sesuai untuk memaknai kedua kata tersebut menurut konteks ilmiahnya. Sehingga bisa jadi salah satu yang dimaksud bukanlah tembaga, melainkan persenyawaan lain yang lebih tepat asosiasinya dengan fenomena alam yang ada di ayat tersebut. Ini menjadi penting mengingat terkadang ditemukan terjemah Al-Qur’an yang mengartikan satu kata yang sama dengan nama logam yang berbeda.

Baca juga:  Ketika "Ya Allah" Berubah Menjadi "Yawla"

Kebanyakan buku yang membahas tentang dimensi sains Al-Qur’an justru hanya memaparkan informasi-informasi sains yang diungkap dari ayat semesta. Jadilah buku ini hanya menyajikan semacam berita, berisi narasi panjang yang tidak menampikan dimensi sains yang sesungguhnya, tidak ada logika ilmiah yang dibangun dari simpulan yang dipaparkan. Apalagi data dan penjabaran komprehensif yang merujuk pada referensi ilmiah. Meskipun yang menjabarkan dengan baik bukan tidak ada, beberapa buku telah membuat uraian menarik dan runut disertai data dan ilustrasi, dan ini yang harus diperbanyak.

Penafsiran mengenai ayat semesta tidak dapat diselesaikan dengan satu disiplin ilmu. Dimensi sains yang komplek di dalam Al-Qur’an membutuhkan telaah-telaah komprehensif dari berbagai disiplin ilmu sains. Telaah tersebut harus diampu oleh ilmuwan sains yang kompeten, yang mengerti seluk beluk dinamika disiplin ilmunya. Dan ilmuwan tersebut harus mengerti batasan keilmuwannya, maksudnya ilmuwan biologi jangan coba menggali maksud-maksud elektronika atau matematika dan sebaliknya.

Hal tersebut untuk menghindari telaah-telaah yang kurang mendalam. Dan yang tak kalah penting juga adalah memberikan pemahaman keilmuawan kepada ilmuwan sains tersebut mengenai kaidah-kaidah penting dalam tafsir Al-Qur’an, agar telaah ayat semesta  juga tidak melukai hakikat penafsiran Al-Qur’an, kebenaran harus dibentuk dari unsur-unsur yang benar, dari perangkat alat yang benar juga. Sudah saatnya pusat-pusat studi Al-Qur’an memperbanyak keterlibatan ilmuwan-ilmuwan sains dalam kajian ayat semesta Al-Qur’an.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top