Selama ini kita sering menganggap mimpi hanyalah bunga tidur belaka, tidak ada efek nyata dalam kehidupan. Ketika kita bermimpi kita beranggapan “oh, cuma mimpi tho”, seolah-olah mimpi adalah fatamorgana atau khayalan dalam tidur saja. Bahkan, tidak sedikit psikolog yang menganggap mimpi itu perkara yang muspro (kalo kata orang jawa) atau tidak terlalu berguna.
Dalam islam, mimpi dianggap sangat berharga yang bisa berpengaruh pada real life atau kehidupan nyata. Mimpi terjadi ketika ruh berpisah sejenak dari al-hawwas al-khoms (anggota badan), sehingga ruh mampu menerima busyro atau ilham dari Allah yang pasti kebenarannya. Maka tidak heran, Rasulullah menjadikan mimpi sebagai salah satu dari 46 tanda kenabian. Bahkan, wahyu yang pertama diterima oleh Nabi adalah melalui mimpi.
Saking pentingnya mimpi, ada disiplin ilmu tersendiri dalam islam yang ”subject matter” atau bahasan pokoknya adalah mimpi. Disiplin ini dinamai dengan Ta’bir ar-Ru’ya (tafsir mimpi). Ilmu ini berisi tentang kaidah-kaidah yang digunakan seorang mu’abbir (penafsir mimpi) untuk mengetahui arti dan maksud dari sebuah mimpi. Karangan yang paling masyhur dalam bidang ini adalah kitab Tafsir al-Ahlam al-Kabir yang dikarang oleh Ibnu Sirrin.
Kemudian daripada itu (ini adalah ungkapan khas Presiden Suharto dulu yang sering ia pakai saat berpidato di istana negara), akan muncul pertanyaan: apakah semua mimpi benar? Apakah semua mimpi bisa ditafsiri? Tidak adakah kriteria tertentu tentang mimpi yang bisa ditafsiri?
Ibnu Kholdun berpandangan bahwa mimpi secara umum terbagi menjadi 2: ar-Ru’ya as-Sholihah (mimpi yang benar) dan Adhghotsu al-Ahlam (mimpi yang tidak jelas). ar-Ru’ya as-sholihah adalah mimpi yang berasal dari Allah ‘Azza wa Jalla secara langsung atau melalui perantara Malaikat-NYA yang bernama Shiddiqun (Malaikat yang tugasnya memang membocorkan info dari lauh al-mahfudz atau istilah keren-nya adalah hacker info Tuhan). Mimpi ini bisa berisi berbagai hal: hidayah, peringatan ataupun ilmu yang biasa kita kenal dengan ilmu ladunni. Jenis mimpi pertama inilah yang dimaksud Rasulullah sebagai salah satu tanda kenabian.
Sedangkan Adhghotsu al-Ahlam adalah mimpi yang setidaknya bersumber dari 3 perkara: setan, misalnya mimpi basah, kemudian berasal dari harapan kuat dari manusia, contohnya seorang anak adam yang bermimpi bertemu dengan orang yang dicintai (mungkin cintanya bertepuk sebelah tangan), dan yang terakhir berasal dari keadaan sekitar ketika sedang tidur, seperti seseorang yang bermimpi tubuhnya terbakar karena tidur di tengah lapangan yang panas. Jenis kedua ini adalah mimpi yang tidak bisa ditafsiri atau biasa kita kenal dengan sebutan bunga tidur.
Adapun cara mengetahui mimpi yang bisa ditafsiri, Ibnu Kholdun menyebutkan 2 syarat yang harus terpenuhi. Pertama, seorang yang bermimpi (mungkin setalah ini kita sebut dengan istilah pemimpi) kaget dan terperanjat ketika bangun dari tidur, karena ruh merasa berat saat menerima mimpi tersebut maka ia butuh topangan dari badan (kok kayak dilan sama milea ya!).
Kedua, pemimpi mengingat peristiwa dalam mimpi secara detail tanpa lupa sedikitpun, tidak perlu berfikir untuk mengingat-ingat apa yang terjadi dalam mimpi begitu ia bangun dan pemimpi tidak lupa dengan mimpinya walaupun sudah lewat berhari-hari, berbulan-bulan, ataupun puluhan tahun lamanya. Hal ini dikarenakan mimpi ini hampir atau bahkan menyamai derajat wahyu kenabian (Allah menjamin bahwa Nabi tidak akan melupakan al-Qur’an dalam salah satu firman-NYA), sehingga tidak akan terlupakan oleh sebab apapun.
Demikianlah kata Ibnu Kholdun dalam kitab Muqoddimah yang sulit dibaca dan njlimet itu (kalau tidak percaya, silahkan baca sendiri!), kitab yang konon pengantarnya lebih terkenal daripada isinya secara keseluruhan.
Akhir kata, karena ar-Ru’ya as-Sholihah merupakan al-Faidh ar-Rabbani (curahan anugerah Allah) yang hanya diberikan kepada dzul bashiroh (hamba yang bersih hatinya), maka Syaikh Abdul Ghoni an-Nabulsi memberi nasihat, dalam kitabnya Ta’thirul al-Anam fi Ta’bir al-Manam: “Barang siapa yang menginginkan mimpinya benar hendaknya senantiasa berkata jujur, menghindari kebohongan, menggunjing, serta mengadu domba dan selalu tidur dalam keadaan wudhu”. Semoga kita semua termasuk golongan hamba yang bisa diberi kenikmatan berupa ar-Ru’ya as-Sholihah ini oleh Allah ‘Azza wa Jalla. Amiin.
Sumber bacaan:
- Kholdun, Abdurrahman Ibnu. 2010. Muqoddimah Ibnu Kholdun. Kairo: Maktabah Ghirnathah.
- An-Nabulsi, Abdul Ghoni. 2008. Ta’thirul al-Anam fi Ta’bir al-Manam. Abu Dhabi: Maktabah as-Shofa’.
- Sirrin, Muhammad Ibnu. 2008. Tafsir al-Ahlam al-Kabir. Abu Dhabi: Maktabah as-Shofa’.