Sedang Membaca
Kitab Man al-Mas’ul ‘an Takholluf al-Muslimin (1): Percaya terhadap Hal Gaib Sebab Kemunduran Umat Islam, Benarkah?

Alumni Ponpes Lirboyo Kediri, Darul Huda Mayak, dan Minhajuth Thullab Lampung. Sedang mengenyam pendidikan S1 di Al-Azhar University jurusan Syari'ah Islamiyyah. Berdomisili di Kairo, Mesir.

Kitab Man al-Mas’ul ‘an Takholluf al-Muslimin (1): Percaya terhadap Hal Gaib Sebab Kemunduran Umat Islam, Benarkah?

Kitab Man al-Mas’ul ‘an Takholluf al-Muslimin

Pada tulisan sebelumnya (Mengenal Kitab Pesantren (77): Kitab Tentang Cinta Karya Said Ramadhan al-Buthi), saya menulis tentang biografi Said Ramadhan al-Buthi. Dalam tulisan tersebut, saya menjelaskan bahwa al-Buthi sangat aktif mengkritik dan mengonter pernyataan-pernyataan orientalis yang misinterpretation (gagal paham) terhadap agama Islam. Termasuk karya al-Buthi dalam hal ini adalah kitab Man al-Mas’ul ‘an Takholluf al-Muslimin (yang berarti: Siapa yang bertanggung jawab atas kemunduran umat Islam?). Sebuah kitab tipis (tidak sampai 100 halaman) namun mengandung isi yang luar biasa.

Secara umum, dalam kitab ini, al-Buthi ingin membahas dua hal: menolak tuduhan-tuduhan (tak berdasar) mengenai sebab kemunduran umat Islam dan mencoba mencari penyebab sejati dari kemunduran itu. Ibarat sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui, al-Buthi, dalam karyanya ini, bukan hanya menolak tuduhan-tuduhan tersebut, namun sekaligus mencari sebab sesungguhnya dari kemunduran umat Islam serta solusi untuk menanganinya.

Pada tulisan ini, kita akan coba membedah jawaban-jawaban al-Buthi atas tuduhan-tuduhan tak berdasar tentang sebab kemunduran umat Islam tersebut.

Sebagian pemikir modern, baik dari kalangan muslimin sendiri ataupun barat, menganggap bahwa sebab utama kemunduran umat Islam saat ini adalah kepercayaan terhadap agama Islam yang mereka anggap hukumnya berasal dari suatu tak kasat mata alias gaib. Secara tidak langsung, mereka menuduh penyebab kemunduran umat Islam adalah agama Islam itu sendiri. Islam, bagi mereka, mengajarkan hal-hal gaib sehingga membuat umat Islam kurang logis dalam berpikir untuk sebuah kemajuan yang pada akhirnya membuat umat ini semakin tertinggal dari bangsa lainnya. Ajaran Islam, menurut para pemikir ini, menjauhkan pemeluknya untuk berpikir dengan menggunakan kaidah dan metodologi keilmuan yang benar.

Untuk menjawab tuduhan di atas, setidaknya al-Buthi memakai dua cara: metode apple to apple (perbandingan) dan metode burhani (nalar berpikir empiris).

Dalam metode pertama (apple to apple), al-Buthi menyampaikan bahwa anggapan ajaran Islam menjadi penyebab kemunduran umat Islam saat ini adalah salah kaprah. Buktinya, dahulu, ketika ajaran Islam diterapkan sepenuhnya, umat Islam mengalami kemajuan pesat melebihi bangsa-bangsa lain (seperti yang terjadi pada era Rasulullah sampai pada puncak kemajuan dinasti Abbasiyah). Pada zaman itu, sudah jelas bahwa Islam menjadi sumber kemajuan, kemakmuran dan kesejahteraan umatnya. Lha kok bisa, Islam yang dulunya menjadi sumber kemajuan berubah menjadi sumber bencana.

Baca juga:  Islam dan Toleransi Beragama

Mungkin (mungkin lho ya), kita bisa mengatakan bahwa Islam menjadi sumber kemunduran apabila memang umat Islam saat ini menerapkan ajaran agamanya seperti para pendahulunya. Namun fakta yang ada adalah sebaliknya. Umat Islam sekarang banyak yang jauh dari ajaran-ajaran Islam dibandingkan dengan para pendahulunya. Mereka tidak peduli dengan aturan-aturan agama yang ada. Maka, mengambinghitamkan Islam sebagai sumber kemunduran dan kemerosotan jelas kurang tepat.

Selain itu, tidak ada satu pun negara maju saat ini, dalam proses kebangkitannya, harus mengorbankan agama, budaya ataupun kultur yang mereka anut. Justru, faktanya, hal-hal tersebut menjadi pemicu untuk bangkit dari keterpurukan dan mentas dari kemerosotan.

Negara Jepang misalnya. Negara maju satu ini sama sekali tidak perlu menghilangkan budaya, agama ataupun kulturnya untuk mencapai kejayaan dan kemajuan. Jepang membuktikan bahwa untuk maju tidak perlu sampai mengorbankan kepercayaan yang sudah dianut. Malah tradisi atau kepercayaan itulah yang menjadi pondasi utama dalam kebangkitan. Jepang juga mengajarkan bahwa dari Barat, cukup kita contoh kemajuan teknologinya saja, tidak perlu mengorbankan apa yang selama ini kita anut, bahkan jangan sampai itu terjadi.

Negara Inggris (yang notabene dijadikan role model kemajuan Barat), sampai sekarang pun masih menjaga tradisi kerajaan yang diwariskan oleh pendahulunya. Oleh sebab itu, dari metode apple to apple tadi, bisa kita pahami bahwa menjadikan Islam sebagai sebab keterpurukan dan kemunduran umat Islam adalah kurang bijak, kalau tidak mau dikatakan salah total. Karena bukti yang ada, sebuah bangsa tidak perlu meninggalkan apa yang mereka anut untuk menuju sebuah kemajuan seperti yang bisa dilihat dari Jepang, Inggris dan negara maju lainnya.

Kalau di metode pertama tadi al-Buthi mengonter tuduhan bahwa ajaran Islam secara umum menjadi sebab kemunduran. Pada metode kedua (burhani) ini, ia mencoba menjawab hal yang lebih spesifik, yaitu tuduhan beberapa pemikir modern bahwa kepercayaan terhadap hal gaib (seperti surga, neraka, padang mahsyar dan lain-lain) merupakan penyebab kemunduran dan kemerosotan umat Islam. Al-Buthi menolak tuduhan di atas dengan elegan dan luar biasa. Seperti yang akan kita bahas di bawah ini.

Baca juga:  Penerbitan Era Kolonial: dari Buku Fasolatan hingga Injil Pegon

Beberapa pemikir (dan juga pengkritik tentunya) berpandangan bahwa ketika Islam menuntut pengikutnya untuk mayakini hal-hal gaib, maka hal itu menyebabkan umat Islam tidak bisa berpikir secara ilmiah bahkan dianggap cacat nalar.

Apakah benar pernyataan di atas. Mari kita teliti.

Apabila yang dimaksud dengan gaib adalah hal yang tidak logis dan tidak bisa diterima akal, maka Islam sama sekali tidak seperti itu. Karena Islam adalah agama yang menjunjung tinggi keilmuan, sama sekali tidak menerima hal-hal yang bertentangan dengan hukum akal.

Apabila yang dimaksud dengan gaib adalah perkara yang tidak bisa dirasakan dan ditemukan pancaindra serta menganggap hal tersebut tidak logis dan bertentangan dengan akal sehingga menganggap Islam sebagai ajaran yang mengada-ada, maka ini adalah pemahaman yang benar-benar kacau. Kenapa?

Menganggap Islam sebagai agama yang tidak masuk akal sebab mempercayai hal-hal yang tidak bisa dicapai pancaindra jelas sebuah kesalahan. Karena sesuatu yang tidak terlihat belum tentu tidak ada. Semua ilmuan pasti sepakat bahwa cara mengetahui kebenaran sesuatu tidak terbatas lewat perantara pancaindra semata. Seandainya semua hal yang tidak dicapai pancaindra dianggap tidak masuk akal, maka banyak sekali hal yang selama ini kita percayai (seperti halnya dipercayai Barat) dianggap kesalahan berpikir.

Pelajaran sejarah misalnya. Kalau kita menganggap semua harus kasat mata (ter-pancaindra), maka sejarah yang kita percayai dan ketahui saat ini dianggap tidak masuk akal. Seperti yang kita tahu, pengetahuan sejarah bukan kita dapat dari pancaindra (karena kita tidak pernah melihat kejadiannya secara langsung), melainkan dari dokumen-dokumen sejarah yang ditulis oleh orang-orang sebelum kita.

Mengetahui kebenaran bisa melalui cara lain, seperti berita dari seseorang atau lembaga yang terpercaya. Faktanya, kita sering mempercayai hal-hal yang bahkan kita tak tahu secara langsung mengenai itu. Contoh, ketika di pagi hari, ramalan cuaca mengatakan bahwa siang nanti akan terjadi hujan, kemudian kita keluar dengan membawa payung. Kenapa kita percaya pada ramalan cuaca padahal kita tidak tahu yang sebenarnya akan terjadi? Apakah kepercayaan kita terhadap ramalan cuaca adalah tidak masuk akal? Tentu saja tidak.

Baca juga:  Inilah 36 Karya Sapardi Djoko Damono

Contoh lagi, ketika seorang dokter memberi resep kepada pasiennya, kemudian pasien percaya begitu saja padahal dia tidak tahu apa yang ada dalam obatnya. Apakah kepercayaan pasien kita anggap sebagai hal yang tak masuk akal? Sekali lagi, tentu tidak.

Para pengkritik itu menuduh sebab kemunduran Islam adalah karena kepercayaan terhadap hal gaib. Padahal mereka, dalam kesehariannya, juga sama, sama-sama percaya akan hal yang bahkan tidak bisa dicapai oleh pancaindra. Perbedaannya hanya satu: beda sumber kepercayaan. Umat Islam percaya pada Islam (al-Qur’an) sedangkan mereka tidak. Hanya itu bedanya.

Maka dari itu, kepercayaan umat Islam terhadap hal gaib yang disampaikan al-Qur’an bukanlah hal yang non-logis dan tidak masuk akal. Kepercayaan tersebut masih berdasarkan metode ilmiah. Apa itu? Ketika kita sudah percaya kepada sumber sebuah informasi maka kita juga akan percaya informasi yang disampaikan, apapun itu, sekalipun kita tak pernah melihatnya.

Karena umat Islam percaya terhadap al-Qur’an, mereka mempercayai apapun yang disampaikan oleh al-Qur’an (mengenai surga, neraka dan lain-lain) seperti halnya kepercayaan masyarakat Barat terhadap Darwin. Karena masyarakat Barat sudah percaya dengan Darwin, maka informasi apapun yang disampaikannya akan dianggap benar, walaupun faktanya mereka (masyarakat barat) tidak tahu-menahu dan tidak pernah melakukan penelitian secara langsung.

Bisa disimpulkan, mengatakan bahwa kepercayaan umat Islam terhadap hal gaib sebagai sumber kemunduran kuranglah tepat. Karena kepercayaan terhadap hal gaib tersebut sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu yang berlaku, dalam artian, tidak cacat nalar sama sekali. Maka, menyalahkan Islam dan ajarannya sebagai sumber kemunduran umat Islam adalah tuduhan yang salah kaprah.

Dengan penjelasan menggunakan dua metode di atas, sudah jelas, bahwa kemunduran umat Islam bukan disebabkan agama Islam dan ajaran-ajaran yang ada di dalamnya.

Begitulah penjelasan al-Buthi untuk menjawab tuduhan-tuduhan tak berdasar atas kemunduran umat Islam.

Memang perlu diakui bahwa umat Islam sekarang mengalami kemunduran dibandingkan bangsa lain. Namun perlu ditekankan, bahwa kemunduran tersebut bukan disebabkan oleh agama Islam, melainkan ada faktor lain di belakangnya. Apa saja itu? Nah, Insya Allah, itu akan kita bahas di tulisan selanjutnya.

Semoga bermanfaat.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
1
Senang
3
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Scroll To Top