Sedang Membaca
Benarkah Tidur di Bulan Ramadan Pahalanya Sama dengan Ibadah?

Alumni Ponpes Lirboyo Kediri, Darul Huda Mayak, dan Minhajuth Thullab Lampung. Sedang mengenyam pendidikan S1 di Al-Azhar University jurusan Syari'ah Islamiyyah. Berdomisili di Kairo, Mesir.

Benarkah Tidur di Bulan Ramadan Pahalanya Sama dengan Ibadah?

Benarkah Tidur di Bulan Ramadan Pahalanya Sama dengan Ibadah?

Sebagian besar dari kita pasti tidak asing dengan ungkapan “tidurnya orang berpuasa adalah ibadah”. Ungkapan ini sering kali kita dengar dari mulut para mubalig ketika bulan Ramadan. Ungkapan ini biasanya juga dijadikan andalan para santri yang hobinya mbatang (bahasa di pesantren saya dulu untuk menyebut orang yang suka tidur). Para santri “unik” ini beralasan bahwa ungkapan ini adalah pernyataan Rasulullah (hadis) yang berarti bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.

Sebenarnya alasan para santri ini sangat bisa dimaklumi. Sebab, hadis mengenai ini memang dapat ditemukan tersebar di banyak literatur pesantren dan kitab para ulama. Saya menemukan ada lebih dari sepuluh (mungkin bisa lebih) kitab yang menyebutkan hadis tentang tidur ketika puasa ini. Di antara kitab yang menyebutkan hadis ini adalah Ihya Ulumiddin (Al-Ghazali), Al-Jami’ Ash-Shaghir, Al-Jami’ Al-Kabir (keduanya karya As-Suyuthi) dan Syi’abul Iman (Al-Baihaqi).

Redaksi lengkap hadis ini adalah sebagai berikut:

نومُ الصائم عبادةٌ، وصمتُه تسببح، ودعاؤُه مستجابٌ، وعملُه مضاعَف (البيهقي)

“Tidurnya orang puasa adalah ibadah, diamnya adalah tasbih dan amalnya digandakan.” (HR. Al-Baihaqi)

Meskipun begitu, benarkah hadis ini dapat dipahami sebagaimana zahirnya? Ataukah yang dimaksud adalah hal lain? Dan sebelum kedua pertanyaan tadi, apakah hadis ini cukup kuat secara sanad sehingga dapat diamalkan?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, sebagaimana dalam ilmu hadis, hadis dapat dipandang dari dua arah: dari sisi sanad dan matan. Oleh sebab itu, saya akan mencoba membedah hadis tersebut dari dua sisi ini.

Baca juga:  Pemetik Puisi (24): Tak Lengkap, Tak Selesai

Secara sanad, hadis ini sebenarnya cukup bermasalah. Al-Baihaqi sendiri, meskipun ia mencantumkan hadis ini dalam kitabnya, menganggap hadis ini dha’if (lemah). Ia berpendapat demikian karena ada dua nama rawi dalam hadis ini: Ma’ruf bin Hassan dan Sulaiman Umar An-Nakh’i. Menurutnya, nama pertama adalah rawi yang lemah. Sedangkan nama kedua justru adh’af, lebih lemah lagi.

Lebih jauh lagi, menurut Al-Iraqi, Sulaiman Umar An-Nakh’i bukan hanya rawi yang lemah, melainkan sudah mencapai taraf rawi yang kadzib, pembohong. Dengan begitu, berlandaskan pandangan Al-Iraqi tersebut, hadis ini tidak hanya sekadar dha’if, tapi sudah masuk dalam tataran hadis maudhu’, yap, palsu.

Sejauh pembacaan saya, tak ada satu pun ulama yang berpandangan bahwa hadis ini mencapai derajat lebih dari dha’if. Imam Ahmad misalnya, mengatakan hadis ini muththarib, kacau sanadnya. Ibn Muin menyatakan hadis ini sebagai mukhtalith, sanadnya tercampur. Jadi, secara sanad, hadis ini mentok hanya dapat distatuskan dalam dua kategori, kalau tak maudhu’, ya dha’if.

Kemudian, apakah hadis ini secara mutlak tidak bisa diamalkan? Jawabannya adalah tidak. Sebab, meskipun menurut pandangan Al-Iraqi hadis ini palsu, namun menurut Al-Baihaqi hadis ini masih dalam taraf dhai’f. Dan sebagaimana menurut pandangan jumhur ulama, hadis dha’if masih dapat diamalkan dalam keutamaan-keutamaan amal, fadhail al-a’mal.

Oleh karena itu, menurut Athiyyah Saqr (w. 2006), salah ulama Al-Azhar, dari hadis ini dapat dipahami setidaknya dua hal. Pertama, orang yang tidur pada bulan puasa karena ia mempunyai dugaan kuat akan melakukan maksiat di siang hari ketika melakukan aktifitas, seperti gibah dan berbohong, maka tidurnya dapat dianggap sebagai ibadah.

Baca juga:  Digitalisasi Dakwah dan Belajar dari Ceramah Ustazah Oki

Dalam keadaan seperti ini, tidurnya orang yang berpuasa dapat dianggap sebagai ibadah yang salbiyyah, defensif. Sebab, dengan tidur, ia dianggap aslam, berpotensi lebih kecil untuk melakukan maksiat. Hal ini juga sesuai dengan salah satu adagium dalam fikih, tuhummila akhaff adh-dhararaini li daf’i asyaddihima, bahwa boleh melakukan satu hal yang punya nilai negatif lebih kecil agar terhindar dari hal yang punya nilai negatif lebih besar.

Rasulullah, dalam beberapa kesempatan, juga pernah memerintahkan hal semacam ini (kebaikan defensif). Misalnya ketika Rasulullah memerintahkan salah satu sahabat yang miskin untuk minimal tidak melakukan keburukan sebagai ganti dari bersedekah.

Kedua, orang yang tidur di bulan puasa dan tak punya alasan sebagaimana di atas berarti telah menyalahi anjuran-anjuran agama yang senantiasa mendorong umatnya untuk melakukan hal-hal positif dan produktif. Apalagi, anjuran untuk produktif ini semakin kuat pada bulan Ramadan karena semua amal perbuatan akan dilipatgandakan pahalanya. Ini dicontohkan pula oleh umat Islam generasi awal bersama Nabi ketika pada saat itu, peristiwa-peristiwa besar terjadi pada bulan Ramadan, seperti Perang badar dan Fathu Makkah.

Oleh karena itu, matan (isi) hadis ini tidak bisa semena-mena diamalkan sesuai dengan tampak luarnya saja atau secara tekstual. Sebab, sebagai agama yang menuntut umatnya agar selalu produktif, Islam—dalam hal ini diwakili oleh Nabi—tak mungkin memerintahkan umatnya untuk bermalas-malasan. Begitu penjelasan panjang lebar Athiyyah Saqr dalam kitabnya, Mausu’ah Ahsan Al-Kalam fi Al-Fatawa wa Al-Ahkam.

Dengan demikian, menggunakan hadis ini sebagai dalih untuk bermalas-malasan dan mbatang pada bulan puasa jelas tidak dapat dibenarkan. Selain memang secara sanad sangat bermasalah, hadis ini seandainya kita anggap bisa diamalkan, maka ranahnya pun sangat terbatas dan hanya berlaku dalam keadaan darurat saja. Oleh sebab itu, yang paling baik pada bulan Ramadan adalah menggunakan waktu semaksimal mungkin untuk melakukan hal-hal baik dan positif.

Baca juga:  Kebingungan Sekularisme Menghadapi Islam Politik

Sebagai penutup, menurut Al-Ghazali, termasuk adab pada bulan puasa adalah ‘adam katsrat an-naum bi an-nahar, tidak banyak tidur di siang hari agar ia merasa haus dan lapar. Hal tersebut bertujuan agar tubuh merasa lemah dan pada akhirnya membuat hati lebih bersih. Dengan begitu—kata Al-Ghazali, tubuh akan terasa ringan untuk melakukan kegiatan ibadah pada malam hari, seperti salat tahajud dan ibadah lainnya.

Sekian. In uridu illa al-islah mastatha’thu.

Sumber bacaan:

Al-Baihaqi, Abu Bakar, Syu’ab Al-Iman, (Riyadh: Maktabah Ar-Rusyd, 2003).

Al-Munawi, Abdurrauf, Faidh Al-Qadir, (Kairo: Maktabah Tijariyah Kubra, 1356 H).

As-Suyuthi, Jalaluddin, Al-Jami’ Al-Kabir, (Kairo: Al-Azhar Asy-Syarif, 2005).

Az-Zabidi, Murtadho, Ithaf As-Sadah Al-Muttaqin, (Beirut: Muassasah Tarikh Arabi, 1994).

Shaqr, Athiyyah, Mausu’ah Ahsan Al-Kalam fi Al-Fatawa wa Al-Ahkam, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2011).

Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, (Labuan: Saqifah Safa Ilmiyah, 2020).

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
2
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top