Buku ini memiliki sub judul yang menggelitik: “Apa Yang Telah Diatur Allah, Tak Perlu Kau Sibuk Ikut Campur”. Lalu apa gunanya usaha?
Dengan reputasi sufinya yang melegenda, Ibnu Athaillah Assakandari mengungkap kontradiksi yang rumit antara konsep kepasrahan dengan ikhtiar manusia.
Persoalan ini telah memicu perdebatan klasik di antara para ulama sehingga timbul aliran Jabariyah, Qadariyah, dan Ahlusunnah wal Jmaah. Aliran pertama meyakini manusia sepenuhnya hanya wayang dalam panggung kehidupan ini, sedangkan aliran kedua meyakini sebaliknya, manusia menentukan hasil yang dicapai sesuai level ikhtiarnya. Aliran Ahlussunnah wal Jamaah berada pada posisi moderat, bahwa manusia memiliki usaha yang disebut kasyaf, meski tidak efektif.
Ibnu Athaillah tidak menyeret pembacanya masuk ke labirin perdebatan tersebut. Ulama asal Iskandaria (Alexandria), Mesir, itu lebih berfokus pada konsep kepasrahan dan bagaimana menanamkannya ke dalam hati para salik, hingga pada akhirnya muncul sebagai produk sikap harian yang saleh.
Pasrah, menurut Ibnu Athaillah adalah melepaskan diri dari segala macam kecemasan instingtif manusia. Tak perlu resah dengan apa yang terjadi besok, lusa, pekan depan, tahun depan dan jangan pula resah tentang hasil apa yang akan dicapai dalam sebuah proses ikhtiar yang berliku-liku.
Pelanggaran terhadap hal ini mengandung konsekuensi serius, rusaknya iman. Manusia diperintahkan berserah diri dan bersandar kepada qadla- qadar-Nya. Allah tidak menerima keimanan hambanya sampai mereka patuh kepada ketetapan-ketetapan yang sudah diberikan. Hal itu ditandaskan di QS At-Thalaq: 3 “Waman yatawakkal alallah fahuwa hasbuh. (Barang siapa yang bertwakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan keperluannya).
Dalam QS Al-Qashash 68, Allah berforman, “Warabbuka yakhluqu ma yasya’ wayakhtaru ma kaana lahum al-khiyarah, subhanallahu wata’ala amma yusyrikun. Artinya, Tuhanmu menciptakan dan memilih apa yang Dia kehendaki. Bagi mereka (manusia) tidak ada pilihan. Mahasuci Allah dan mahatinggi dari apa yang mereka persekutukan.
Ayat ini menandaskan poin penting, manusia diharuskan meninggalkan sikap ikut mengatur dalam rencana Allah swt, meskiun dia terlibat dalam menjalani prosesnya. Pemahaman umumnya begini: Jika Allah menciptakan sesuatu yang dikehendaki-Nya berarti Dia telah mengaturnya sesuai dengan rencananya. Pihak lain yang tidak ikut menciptakan, dengan demikian tak punya hak turut campur dalam skenario Allah itu (QS-An Nahl, 17).
Allah sebagai pencipta jelas memiliki otoritas penuh dan absolut. Tidak dikabulkannya sebuah usaha bukan berati Dia pelit atau tidak mampu, tetapi terdapat rahasia besar yang hanya bisa terusngkap dalam jangka panjang, bahkan di akhirat.
Syekh Abu Hasan Asy Syadzili berkata, “Ketahuilah bahwa Allah swt menghalangimu bukan karena kikir padamu, melainkan Dia sayang kepadamu. Rintangan dari Alah merupakan bagian dari pemberiannya, dan tak ada yang dapat memahami pemberian itu selain orang-orang yang tulus imannya”.
Pada hakekatnya Alah menciptakan sebuah poin untuk dicapai hambanya, lalu membentangkan berlapis-lapis tabir penghalang di atasnya. Manusia sebagai mahluk harus melepas satu per satu tabir penghalang itu demi menemukan poin penting yang Allah berikan.
Dalam buku ini, dengan bijaknya Ibnu Athaillah memberikan batasan yang tegas, mana ikhtiar dan mana ikut campur. Dalam hal rezeki, manusia sebenarnya telah dicukupkan. Soal rezeki ini diskusinya cukup panjang sehingga Ibnu Athaillah membahasnya dalam bab tersendiri. Terdapat lima hal besar yang menjawab dengan gamblang mengapa Allah memerintahkan hambanya berjalan mencari rezeki yang belum tentu diberikannya.
Tentu saja ada hikmah-hikmah yang membangkitkan kesadaran. Sebagaimana dalam Al-Hikam, kitab sufinya yang masyhur, Ibnu Athaillah mampu mengali dasar kesadaran kita dengan analogi-analogi dan pemikiran beyond yang tak terduga.
Membaca buku ini, kita diseret ke dalam hubungan resiprokal dengan Allah dalam hal menerima takdir, yang baik maupun yang buruk. Hubungan itu tercermin dalam kalamnya: Radhiallahu anhum waradhu anhu. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepada-Nya.
Judul Buku: Istirahatkan Dirimu Dari Kesibukan Duniawi
(Terjemah Al-Tanwir fi Isqati At Tadbir)
Pengarang : Ibnu Athaillah As-Sakandari
Penrbit : Turos Pustaka
Tebal : 428 halaman