“Sigra milir sang gethek sinangga bajul, kawan dasa kang njageni, ing ngarsa miwah ing pungkur, tanapi ing kanan kering, kang gethek lampahnya alon.”
Demikianlah bunyi dari Tembang Sigro Milir, sebuah tembang macapat bermetrum Megatruh. Pada Ceramah Agama di Ujungpangkah Gresik Tahun 2003 KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur menceritakan tentang Tembang Sigro Milir, dapat dilihat pada tayangan https://youtu.be/A8sfLQenZpA.
Tembang Sigro Milir menceritakan tentang Joko Tingkir. Joko Tingkir sendiri merupakan Sultan pertama Kesultanan Pajang, bergelar Sultan Hadiwijaya. Nama kecilnya adalah Raden Mas Karebet, merupakan putra dari Ki Ageng Pengging. Joko Tingkir juga merupakan murid dari Sunan Kalijaga. Joko Tingkir menikah dengan Ratu Mas Cempaka, putri dari Sultan Trenggono.
“Lagu Sigro Milir itu apa? Tembang Sigro Milir itu loh, sigro milir sang gethek sinangga bajul. Pinten cacahe? kawan doso cacahipun, patang puluh. Padahal itu menceritakan Joko Tingkir, loh wali beliau, kyai beliau,” ujar Gus Dur.
Menurut Gus Dur Tembang Sigro Milir itu ada kaitannya dengan Joko Tingkir yang merupakan Sultan Pajang yang bergelar Sultan Hadiwijaya. Di mana Sultan Hadiwijaya mendapatkan pemberontakan dari anak angkatnya, yaitu Sutawijaya.
“Lah di situ anak angkatnya itu akhirnya mengangkat dirinya menjadi raja yang baru karena menang perang tanding. Namanya Sutawijaya, sehingga mempunyai gelar Panembahan Senopati ing Ngalogo Sayyidin Panotogomo Kalipatullah ing Tanah Jawi,” ungkap Gus Dur.
Lebih lanjut Gus Dur menjelaskan bahwa Patang puluh kanuragan artinya itu kesaktian. Jadi ceritanya Joko Tingkir hendak pulang ke Pajang dari Sumenep masuk Bengawan Solo, dekat dari Pringgoboyo.
Gus Dur mengungkapkan bahwa Pringgoboyo dahulunya adalah sebuah pulau, lalu Joko Tingkir atau Sultan Hadiwijaya mampir di tempat tersebut untuk mengisi perbekalan. Malam harinya Joko Tingkir mimpi bertemu dengan gurunya, sang guru berkata “sedang apa kamu? memiliki kanuragan (kekuatan) empat puluh, kok kembali lagi ke sini?”
Kemudian sang Guru berpesan agar Joko Tingkir tidak usah kembali lagi ke Pajang, rebutan keraton tidak bakal menang. Sebab kanuragan (kekuatan) tidak boleh digunakan untuk pamer, tidak boleh digunakan untuk urusan dunia. Selanjutnya sang Guru menyarankan agar Joko Tingkir membuat pondok saja, mengajar ngaji orang banyak, lama kelamaan masyarakat menjadi pintar.
“Jadi, jabatan itu para hadirin dan hadirat bukan apa-apa di mata beliau ini. Sultan Hadiwijaya manut bikin pondok di situ. Lah itu jadi Sigro Milir Sang Gethek Sinangga Bajul. Getheke (rakit) disangga (didorong) bajul (buaya) kawan doso cacahipun, Patang puluh iji, empat puluh ekor,” jelas Gus Dur.
Artinya adalah apabila Joko Tingkir melompat masuk ke air, dikejar oleh buaya itu tadi dimakan habis. Maksudnya adalah apabila Joko Tingkir pulang ke Pajang rebutan keraton, dirinya bakal kalah lagi dengan Sutawijaya.
“Oleh sebab itu, kita sekarang ini harus meniru Sultan Hadiwijaya, yang akhirnya tidak diperbolehkan lagi menjadi sultan lagi oleh gurunya, menetap di Pringgoboyo, namanya kembali lagi menjadi Joko Tingkir. Lah seperti itu ceritanya,” ucap Gus Dur.
Dari cerita tersebut menurut Gus Dur dapat dilihat bahwa raja, kedudukan tidak ada artinya sebagai lembaga dibandingkan dengan budaya. Budaya Joko Tingkir adalah budaya santri, yaitu budaya kiai mengajar muridnya.