Penganut Nasrani di masa Nabi Muhammad merupakan kelompok beragama yang memiliki peran vital dalam dakwah Nabi Muhammad SAW. Penganut Nasrani adalah orang-orang yang pertama kali membaca tanda kenabian Nabi. Buhaira dan Waraqah bin Naufal adalah dua pendeta Nasrani yang yakin bahwa Muhammad inilah yang akan menjadi Nabi yang sedang ditunggu-tunggu.
80 orang sahabat Nabi yang menyingkir dari Mekah akibat kekejaman para penyembah berhala di Mekah, mendapat perlindungan dari Raja Najasyi di Habasyah yang merupakan penganut Nasrani yang taat. Saat Nabi dihina dan dilempari batu ketika di Thaif, yang menolong ialah Adas, seorang budak penganut Nasrani dari Nivineh. Puncaknya, ketika Hijrah ke Madinah, yang menyambut Nabi ialah penganut Nasrani dari Bani Aus dan Khajraj. Kepada mereka yang bersikeras tetap menganut agama Nasrani di Najran, Nabi tetap memberikan perlindungan keamanan selama mereka sanggup membayar jizyah.
Meski demikian, hubungan Nabi Muhammad SAW dengan Nasrani mengalami masa surut. Puncak kesuksesannya adalah pada peristiwa Piagam Madinah, dan titik nadirnya ialah ketika terjadi perang Mut’ah.
Piagam Madinah
R.B. Serjeant dalam The Constitution of Medina dan William Montgomery Watt dalam Muhammad at Medina menyebutkan bahwa Piagam Madinah adalah sebuah dokumen yang disusun oleh Nabi Muhammad yang memuat perjanjian antara dirinya dengan semua suku yang berada di Yatsrib. Peristiwa ini terjadi di tahun 1 H. atau 622 M. pada saat itu pula Nabi merubah nama Yatsrib menjadi Madinah.
Ayang Utriza Yakin, dalam Islam Moderat, dan Isu-Isu Kontemporer, Demokrasi, Pluralisme, Kebebasan Beragama, Non-Muslim, Poligami dan Jihad (Kencana Pranada Media, 2016) menyebutkan bahwa secara demografis, saat Nabi hijrah ke Madinah, jumlah penduduk Madinah ialah 10.000 jiwa. Penduduk muslim hanya 1.500 jiwa, terdiri dari Muhajirin dan Anshar, penganut Yahudi berjumlah 4.000 jiwa, dan selebihnya ialah kaum pagan.
Tindakan pertama Nabi ialah mempersaudarakan Muhajirin dengan Anshar. Anshar sendiri ialah gabungan dari Bani Aus dan Khajraj yang beragama Nasrani yang menyatakan masuk Islam setelah baiah Aqabah II. Pertemuan ini dilakukan di rumah Anas bin Malik.
Sesudah itu, Nabi melakukan aliansi dengan Yahudi. Maka berkumpullah di Madinah orang-orang dari berbagai latar belakang. Ada kelompok Muhajirin beragama Islam yang hijrah dari Mekah ke Madinah, pemeluk agama Nashrani dari Bani Aus dan Khajraj yang pindah ke Islam dan selanjutnya disebut Anshar, dan pemeluk Yahudi yang terdiri dari Bani Qainuqa, Bani Nadhir, dan Bani Quraidhah. Semuanya sepakat menandatangani piagam Madinah yang pokok isinya ialah mempersatukan semua kelompok yang ada di Madinah dalam satu aliansi dan mengakui kebebasan beragama. Ibnu Hisyam dalam Sirah Nabawi menulis isi piagam madinah secara lengkap dalam bahasa Arab.
Maulvi Muhammad Ali dalam Muhammad the Prophet merumuskan isi piagam Madinah ke dalam enam prinsip pokok, yaitu: 1) Orang-orang Islam dan Yahudi sebagai satu bangsa. 2) Setiap golongan bebas memelihara keyakinan dan tidak boleh campur tangan terhadap yang lain. 3) Saling membantu dalam menghadapi musuh. 4) Mempertahankan keamanan kota Madinah. 5) Kota Madinah harus dijaga kesuciannya. 6) Nabi bertindak sebagai pemutus akhir berbagai perselisihan.
Piagam Madinah ini sendiri kemudian dikhianati oleh kelompok Yahudi pada tahun kedua hijriah dimana mereka membantu pasukan Quraisy dari Mekah sehingga bisa masuk ke dalam kota Madinah.
Perang Mu’tah
Pada tahun 7 H. Nabi menugaskan al-Harits bin ‘Umair untuk membawa surat dakwah kepada Gubernur Bashrah bernama Hanits bin Abi Syamr al-Ghassani yang baru saja diangkat oleh kekaisaran Romawi. Dalam perjalanan, di daerah Mu’tah, ia dicegat dan dibunuh oleh Syurahbil bin Amr al-Ghassani, pemimpin suku Ghassaniyah. Pada tahun yang sama, lima belas utusan Rasulullah untuk Banu Sulayman dibunuh di Dhat al Talh. Sebelumnya, tidak pernah terjadi utusan Rasulullah yang dibunuh dalam misinya.
Setelah berunding dengan para Sahabat, Nabi kemudian melantik sekaligus tiga orang panglima perang, yakni Ja’far bin Abu Thalib, Zaid bin Haritsah, dan seorang Anshar bernama Abdullah bin Ruwahah. Penunjukan sekaligus tiga panglima perang ini merupakan keputusan yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Mereka berangkat membawa 3.000 pasukan perang.
Sesampainya di Mu’tah, pada tanggal 5 Jumadil Awal tahun 8 H. terjadilah perang antara 3.000 pasukan Islam melawan 200.000 pasukan musuh. Pasukan musuh tersebut terdiri dari 100 ribu pasukan Romawi pimpinan Heraklius, ditambah 100 ribu pasukan Nasrani Arab yang merupakan gabungan dari Lakhm, Al-Yakin, Bahra’, Baly, dan Irasyah yang dipimpin oleh Malik bin Zafilah.
Peperangan ini merupakan awal ketegangan antara pasukan Nabi dengan Nasrani yang sebelumnya tidak pernah terjadi.
Dalam peperangan yang tidak imbang tersebut, tidak bisa dipastikan siapa yang menang dan siapa yang kalah. Ada banyak sahabat gugur dalam peperangan tersebut. Awalnya panji dipegang oleh Zaid bin Haritsah, kemudian beliau gugur. Panji kemudian dipegang oleh Ja’far bin Abu Thalib, kemudian beliau gugur. Panji lantas dipegang Abdullah bin Rawahah, kemudian beliau gugur pula.
Tampillah kemudian Khalid bin Walid dengan strateginya yang sangat cerdik. Ia merubah formasi perang setiap saat sehingga membuat tentara lawan mengira bahwa tentara muslim mendapatkan bala bantuan. Di akhir perang, kedua belah pihak sama-sama menarik mundur pasukannya, diawali dengan pasukan musuh yang mundur terlebih dahulu setelah mengira bala bantuan untuk pasukan muslim datang.
Pasca peperangan ini, hubungan Nabi Muhammad dengan penganut Nasrani di Arab tidak lagi sama.