Sedang Membaca
Karna (1): Kelahiran yang Tak Diharapkan

Lahir di Subang, 22 Juli 1981. Lulusan pesantren Lirboyo dan ma'had aly Sukorejo, Situbondo. Ayah dua orang anak ini sekarang sedang menempuh pendidikan s3 di SPS UIN Jakarta.

Karna (1): Kelahiran yang Tak Diharapkan

Whatsapp Image 2020 11 24 At 22.12.52

“Engkau kunamai Karna, karena terlahir dari telinga”. Kunthi kepada bayi baru lahir yang ia hanyutkan ke sungai.

Namanya adalah Karna. Saat kecil ia dijuluki Sutaputra yang berarti “Anak Kusir” karena ia dibesarkan oleh Adirata, Kusir kereta perang milik Bhisma. Ia juga dijuluki Radheya (anak Radha). Radha adalah istri Adirata, orang yang Karna anggap sebagai Ibu karena selama ini Radha lah yang merawatnya. Saat menjadi Raja kerajaan Angga, ia disebut Basukarno, Narpati Awangga. Di Indonesia, namanya lumayan sering dipakai seperti oleh Presiden pertama Indonesia, Soekarno, hingga menjadi nama seorang musisi yakni Nirpati Awangga yang akrab kita kenal sebagai Om Leo.

Kehadiran Karna penulis anggap sangat penting dalam jagat pewayangan Mahabharata yang terlalu memanjakan Arjuna. Kelak mereka berdua akan berperang menjelang berakhirnya Bharatayudha, hanya untuk sebuah kegagalan. Kegagalan membuktkan siapa yang lebih mumpuni diantara mereka berdua. Perang antara keduanya dianggap sebagai perang saudara paling epik diantara sekian banyak sejarah atau cerita perang. Disebut perang saudara karena sesungguhnya mereka berdua adalah saudara. Mereka dilahirkan dari rahim yang sama, rahim Dewi Kunthi. Namun dalam kondisi yang berbeda.

Kunthi, Prtha atau Parshini adalah putri Surasena, Raja Yadawa. Ia diangkat Putri oleh Kunthiboja. Ia merupakan saudara dari Basudewa, ayah Baladewa, Kresna dan Subadra. Mereka memanggil Kunthi sebagai “Bibi”, kecuali Subadra yang kemudian menjadi menantunya. Ia adalah Istri pertama Pandu selain Madrim. Saat kecil, Kunthi diberi Mantra Sakti Adityahredaya oleh Resi Durwasa. Dengan mantra tersebut, ia bisa memanggil dewa untuk turun ke muka bumi dan memberikan anugerah kepadanya. Resi Durwasa memberikan mantra tersebut karena melihat masa depan suram pada diri Kunthi.

Baca juga:  Praktik Nahi Munkar bil Ma'ruf: Mengingat Bapak

Kunthi yang kecil dan ceroboh diam-diam merapalkan mantra tersebut untuk menguji kebenaran ucapan Resi Durwasa. Maka turunlah Bhatara Surya. Kunthi yang ketakutan menyuruh Bharata Surya pergi dan berkilah bahwa ia hanya bermain-main saja. Tentu saja bermain-main tak berlaku bagi diri seorang Dewa. Maka dianugerahilah Kunthi seorang putra titisannya. Kunthi lantas hamil. Namun untuk menjaga nama baik Kunthi, Bhatara Surya merekayasakan agar bayi tersebut langsung lahir, dan lewat telinga agar menjaga keperawanan Kunthi.

Maka lahirlah seorang bayi berkelamin lelaki yang sangat gagah. Bhatara Surya menganugerahi bayi tersebut dengan baju zirah yang melekat pada tubuhnya. Baju itu akan tumbuh seiring pertumbuhan sang bayi. Dengan baju tersebut, maka segala jenis senjata apapun tak akan mempan pada tubuhnya. Selain itu, Bhatara Surya juga menganugerahinya dengan anting-anting dan kalung.

Kunthi yang ketakutan rahasianya akan terbongkar kemudian menaruh bayi tersebut kedalam keranjang dan ia hanyutkan ke sungai Aswa. Sebelumnya, Kunthi membisikkan pada sang bayi bahwa ia dinamai Karna karena terlahir dari telinga. Ia pun menaburi bayi tersebut dengan bunga kamboja. Bayi Karna kemudian ditemukan oleh sepasang suami istri yang bekerja sebagai kusir kereta kuda milik Bhisma, yakni Adirata dan Radha. Keduanya memang sedang merindukan kehadiran anak yang tak kunjung tiba. Keberadaan Karna mereka anggap sebagai anugerah Dewata yang tak terkira.

Karna yang seharusnya menerima kenyataan sebagai putra seorang kusir yang artinya berada pada kasta dibawah ksatria, ternyata lebih tertarik untuk menjadi seorang perwira kerajaan seiring kekagumannya kepada seorang Bhisma. Sayang, Bhisma tidak membalas kekaguman tersebut karena bagi Bhisma, Karna hanyalah Sutaputra, anak seorang kusir kereta. Karna lantas mencoba berguru kepada Mahaguru Drona yang sedang mendidik Pandawa dan Kurawa. Drona menolaknya dengan alasan ia hanya sudi mengajar kasta Ksatria saja. Maka berangkatlah ia mencari Parasurama, seorang Brahmana guru dari Bhisma dan Drona sehingga bisa menjadi guru yang lebih baik dari Drona.

Baca juga:  Moderasi Lintas Agama ke Ideologi

Parasurama ternyata memiliki pengalaman yang buruk dengan kasta Ksatria. Maka ia hanya mau menerima murid dari kasta Brahmana saja. Untuk itu, Karna menyamar sebagai Brahmana muda agar ia bisa diterima sebagai murid Parasurama. Ketika kedoknya terbongkar, Parasurama mengutuknya. Kelak, pada saat pertarungan antara hidup dan mati melawan seorang musuh terhebat, Karna akan lupa terhadap semua ilmu yang telah ia ajarkan.

Karna kemudian muncul pada saat Drona sedang mempertunjukkan hasil didikannya di hadapan para bangsawan dan rakyat Hastinapura. Drona mengumumkan bahwa Arjuna adalah manusia pemanah terbaik di dunia. Mendengar hal tersebut Karna muncul menantang Arjuna sambil mempertontonkan kesaktiannya. Kehadirannya diiringi dengan semilir wangi bunga Kamboja. Menghirup aroma tersebut, Kunthi yang hadir pula di gelanggang teringat pada putranya yang ia hanyutkan ke sungai. Melihat baju zirah, anting dan kalung yang dipakai pria muda di hadapannya, yakninlah Kunthi bahwa itu adalah Karna yang sedang berhadapan dengan Arjuna yang juga adalah putranya. Kunthi harus menerima kenyataan melihat putra-putranya saling berhadapan dan hanya ia sendiri yang tahu kenyataan tersebut.

Kripa selaku pendeta Istana meminta Karna supaya memperkenalkan diri terlebih dahulu karena yang boleh melawan Arjuna haruslah dari golongan yang sederajat yakni ksatria. Karna menjawab bahwa ia hanya meladeni ucapan Drona bahwa Arjuna adalah manusia pemanah terbaik di dunia. Dan ia pun manusia. Namun Kripa dibantu Bhisma bersikeras bahwa aturan adalah aturan. Menyadari dirinya hanyalah seorang anak kusir kereta, Karna tertunduk malu. Dan Kunthi tak berbuat apapun padahal sesungguhnya ia bisa berbuat sesuatu mengingat statusnya sebagai Ratu Hastina, janda dari mendiang Raja Pandu.

Baca juga:  Salat, Solat, Shalat, dan Sembahyang

Adalah Duryudhana yang akhirnya memberikan jalan keluar bagi Karna. Duryudhana yang bagaimanapun caranya menginginkan agar pandawa kalah di medan laga memaksa ayahnya, Drestarasta, Raja Hastinapura pengganti Pandu untuk memberikan anugerah kepada Karna berupa kerajaan Angga. Drestarasta yang tak bisa menolak permintaan anaknya akhirnya memberikan kerajaan Angga kepada Karna agar ia menjadi setara dengan Arjuna.

Meski tekah menjadi Raja Angga, namun tetap saja Bima, kakak Arjuna mengejek Karna sebagai anak kusir dan bukan lahir dari kalangan bangsawan sehingga tak setara dengan Arjuna. Kunthi lagi-lagi hanya bisa diam, terperanga dan pingsan melihat anak-anaknya kini saling bermusuhan.

Kunthi baru berbicara ketika Bharatayudah akan dimulai. Ia yang mengkhawatirkan keselamatan anak-anaknya kemudian menemui Karna. Kepada Karna Kunthi mengungkapkan semua rahasia bahwa sebenarnya Karna adalah putranya, anugerah dari Bhatara Surya. Kunthi memintanya untuk bergabung dengan pihak Pandawa karena sesungguhnya mereka adalah bersaudara. Mengapa baru sekarang? Mengapa sebelum perang dimulai? Mengapa setelah Duryudhana memberikan hutang jasa yang harus dibayar dengan nyawa oleh Karna? Bagi Karna, ia hidup dari dharma yang telah diberikan oleh Duryudhana kepadanya, maka akan menjadi kehinaan baginya apabila ia tidak membela Kurawa di perang Bharatayudha. Keputusan yang sama sebagaimana diambil oleh yang selama ini ia idolakan, Bhisma.

Itulah Karna, kelahirannya tidak diinginkan, kehadirannya tidak diindahkan. Ia baru dianggap penting saat keadaan sudah sedemikian genting.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top