Avatar
Penulis Kolom

Pendidikan: Mahasiswa Pascasarjana UIN sunan Kalijaga Yogyakarta Domisili: Yogyakarta. Twitter: @huda_serdadu

Pelecehan Seksual di Masa Nabi dan Khulafaurrasyidin

Seksualitas, pertama kali kata tersebut digunakan pada abad ke-19, awal permulaan tahun 1800. Namun penggunaan kata tersebut secara terbuka dimulai pada akhir abad ke-19 yang memiliki arti, kualitas menjadi seksual atau melakukan seks (the Oxford English Dictionary).

Menurut Jeffrey Weeks, seksualitas adalah segala sesuatu yang menyangkut imaji-imaji, ritual, fantasi mengenai tubuh, termasuk cara berpikir manusia mengenai model dan gaya seks. Namun pandangan kritis mengenai seksualitas disampaikan oleh Foucault, bahwa seksualitas bukanlah dorongan dari dalam (biologis), melainkan adanya relasi-relasi kuasa yang menempa dan membentuk prilaku dan pikiran untuk mencapai tujuan lain di luar kepentingan seksualitas.

Istilah “pelecehan seksual” mungkin belum dikenal waktu zaman Nabi Muhammad dan Khulafaurrasyidin, sehingga akan sulit memetakan mana perbuatan yang melecehkan atau tidak terhadap seksualitas seseorang. Perlu mengutip dari KOMNAS Perempuan untuk mempermudah pemetaan tersebut, pelecehan seksual yaitu, tindakan seksual lewat tindakan fisik maupun nonfisik dengan sasaran organ seksual atau seksualitas korban.

Tindakan yang dimaksud termasuk juga siulan, main mata, ucapan bernuansa seksual, mempertunjukkan materi pornografi dan keinginan seksual, colekan atau sentuhan di bagian tubuh, dan Gerakan atau isyarat yang bersifat seksual sehingga mengakibatkan rasa tidak nyaman, tersinggung, merasa direndahkan martabatnya, dan mungkin menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatan.

Baca juga:  Ahli Fatrah dan Status Kedua Orang Tua Nabi

Relasi laki-laki dan perempuan telah mengkonstruksi seksualitas di Arab. Khalil Abdul Karim menyebutkan, bahwa konstruksi seksual di masyarakat Arab dimulai sejak pra-Islam dengan hubungan laki-laki dan perempuan menjadi obsesi utama masyarakat pada waktu itu. Terlebih lagi dengan kondisi iklim yang panas dan kondisi kering yang menjadi karakternya, sehingga menambah gairah dan nafsu kedua manusianya semakin bergejolak.

Kondisi sosial tersebut juga berakibat pada ungkapan yang sering mereka gunakan dalam beraktivitas, seperti mubada’ah (saling bermain kemaluan), mulamasah (saling bersentuhan), muqarafah (saling bersentuhan kulit), murawadah (saling menginginkan) dan kata-kata lainnya yang menunjukkan reciprocal.

Bahasa menjadi wahana yang sangat idela untuk membentuk seksualitas masyarakat, tepatnya menjadikan perempuan sebagai subordinat. Bahasa juga sebagai ekspresi sosial masyarakat yang sedang bergejolak, seperti rafas (senggama), imtita’ (menunggangi), wat’i (menginjak), rukub (mengendarai). Semua kata tersebut merujuk pada laki-laki sebagai eksekutor dan perempuan sebagai objeknya dan sudah sepantasnya, menurut masyarakat pada waktu itu, diperlakukan demikian.

Dapat diambil pengertian bahwa perempuan memang sengaja ditundukkan seksualitasnya demi kepentingan hasrat laki-laki dan kebebasan atas kekuasaan yang sangat patriarki. Akhirnya berimbas pada aktivitas perempuan yang selalu dibayang-bayangi (yang hari ini disebut) pelecehan seksual.

Datangnya Islam memang untuk mengikis prilaku masyarakat sebelum Islam yang merugikan satu sama lain. Meskipun begitu, prilaku dan cara berpikir yang mengarah pada penundukan seksualitas masih terus berlanjut sampai masa khulafaurrasyidin.

Baca juga:  KUPI-2: Memori Shima, Kalinyamat, dan Kartini yang Menggerakkan

Pada masa nabi, pelecehan seksual pernah dialami oleh seorang perempuan yang sering bangun malam, di tempat paling suci dan di waktu paling suci pula untuk beribadah tidak menghalangi pelaku untuk memperkosanya. Begitu pun dengan seorang perempuan yang hendak melakukan salat subuh kemudian dihadang oleh laki-laki untuk memperkosanya. (Khalil Abdul K, 2007 : 36-37).

Sedangkan pada zaman khulafaurrasyidin, pelecehan seksual juga terjadi, bahkan dilakukan oleh Umar bin Khattab terhadap Ummi Kulsum, puteri Ali. Peristiwa tersebut terjadi ketika Ali mengirim putrinya untuk menemui tunangannya, Umar bin Khattab. Seketika Umar memegang betis Ummi Kulsum untuk memastikan bahwa dia adalah barang bagus. Budaya memastikan bagus-buruknya perempuan adalah dengan memegang betis dan ini sering dilakukan di pasar ketika jual-beli budak sekali pun muslimah.

Kemudian Ummi Kulsum membentak khalifah tersebut: “Engkau berani melakukan hal ini? Andaikata engkau bukan Amirul mukminin, niscaya aku memecah hidungmu.” Dalam riwayat al Mughni; “niscaya aku menusuk matamu.”

Setelah kejadian itu Ummi Kulsum menemui ayahnya dan mengadukan kejadian tersebut. Namun tanggapan Ali tidak sesuai keinginan: “Tenang anakku, sebab dia itu suamimu”. (Khalil Abdul K, 2007 : 90) Tanggapan Ali sangat patriarki, bahkan berani meminggrkan syara’ dalam menanggapi kasus pelecehan tersebut.

Baca juga:  Inilah Pesan Idul Fitri Soekarno di Tahun 1943

Selain tanggapan yang patriarki, ada kesalahan saat Ali mengucapkannya, bahwa status Ummi Kulsum adalah tunangan bukan suami Umar bin Khattab waktu peristiwa tersebut terjadi. Juga apakah diperbolehkan menurut syara’ seorang peminang menyingkap dan melihat betis perempuan yang dipinangnaya?

Konstruksi seksualitas yang menempatkan laki-laki sebagai penentu baik-buruknya perempuan lewat wacana-wacana (misal, memeriksa betis) yang bergulir di masyarakat sejak pra-Islam memang sulit dihilangkan, sekalipun dia adalah sahabat nabi  sekaligus khalifah. Dan yang perlu ditekankan, bahwa terjadinya pelecehan seksual tidak memandang pakaian yang dikenakan dan keturunan siapa. Sedangkan pelaku pelecehan seksual tidak memandang siapa, apa jabatannya dan apa statusnya. Semua itu terjadi karena adanya kesempatan dan juga didukung oleh wacana yang berusaha mengkonstruksi seksualitas masyarakat.

Untuk lebih lanjut, wacana yang mengkonstruksi seksualitas kearah patriarki harus dibendung untuk memberi rasa aman bagi perempuan (pada khususnya) dan laki-laki dalam beraktivitas di ruang publik.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (1)
  • pembaca: Hadis ini tidak sahih, karena terdapat kedhaifan dan inqitha’ (perputusan) di antara perawi. tapi banyak orang menganggapnya sahih, sehingga dijadikan dalil: Bolehnya seorang pelamar melihat calon istrinya lebih dari wajah dan kedua telapak tangan. tapi sebetulnya hadis ini tidak sahih.

    sekiranya sahih, dan banyak kaum syiah yang memperburuk citra Umar dengan perbuatannya di atas, yang menyingkap betis Ummi Kulsum, sesungguhnya ini kembali kepada perkataan Ali, dan dia adalah wali bagi Ummu Kulsum, apalagi di sekelilingnya terdapat banyak sahabat, Ali berkata: “Jika engkau tertarik padanya, maka dia adalah istrimu.”

    berarti saat itu Umar yang menyingkap betis Ummu Kulsum adalah tidak masalah, karena saat itu Umar sudah menjadi suami Ummi Kulsum. pernikahan terjadi karena ada wali yaitu Ali, yang mengatakan: “Jika dia membuatmu tertarik maka dia istrimu.” dan Umar sangat tertarik kepada Ummu Kulsum, yang kedua harus ada saksi. tentunya para sahabat yang hadir di situ adalah saksi-saksi atas pernikahan mereka.

    oke? paham insya Allah…. semoga bermanfaat.

Komentari

Scroll To Top