Hipokrisi intelektual. Begitulah kira-kira diksi yang tepat dan sederhana dalam memaknai watak kaum sofis. Dalam konstruksi imajinasi kolektif, sofisme memang lebih identik dengan kalangan yang cenderung membangun argumentasi logisnya sekedar untuk memuaskan lawan debat atau audiensi. Parameternya adalah kepuasan, bukan pada kebenaran itu sendiri.
Makanya, sofisme dianggap sebagai musuhnya filsafat. Di mata filsafat, Sofis tak ubahnya dengan pedagang yang sedang mengobral kebenaran. Kepiawaiannya dalam meramu gubahan kata, kecakapan ketika beretorika, dan gemar dalam berdialektika sontak mampu menyihir teman diskusinya; sekalipun dengan argumentasi kosong dan nalar yang keliru “logical fallacy”.
Dalam ruang alam filsafat, kebenaran barangkali merupakan sebuah komoditas yang tak ternilai harganya. Ia bukan untuk diperjualbelikan, namun untuk diperjuangkan sebagaimana ianya secara eksistensial. Kaum Sofis sehingga dianggap sebagai pengkhianat, dan telah melenceng dari rel perjuangan yang semestinya. Istilah sofisme pun akhirnya mengandungi makna peyoratif, bergeser dari makna asal kata shopos yang berarti “sang bijaksana”.
Konon, sang guru Sofis diceritakan suatu ketika menerima kesepakatan dengan seorang muridnya yang kaya untuk diajarkan seni berdialektika, yang memungkinnya untuk mengubah yang benar menjadi batil dan begitu sebaliknya. Atas imbalannya, si murid menjanjikan kepada gurunya harta yang banyak. Manakala selesai dari tugas mengajarnya, guru pun menuntut hak upahnya. Sang murid kemudian bertanya:
“Apakah yang kau tuntut tersebut adalah hak?” Guru sofisnya menjawab: “iya, sesungguhnya hak upah bagiku karena telah mengajarimu terhadap apa yang telah kita sepakati sebelumnya.”
Murid: “kesepakatan kita tentang upah sesungguhnya manakala engkau mengajariku kemampuan berdebat sampai kepada tahap yang aku mampu untuk mengubah benar menjadi salah dan begitu sebaliknya. Sekarang, jika hak yang engkau tuntut, sementara aku tidak mampu untuk membatalkannya dengan debat, maka engkau tidak berhak memperoleh apapun. Apabila aku tidak mencapai tahapan tersebut, maka apa yang engkau tuntut?
Gurunya menimpali: “Nah, justru sekarang engkau telah mampu mengubah hak menjadi batil. Oleh karena itu, maka aku berhak untuk memperoleh upah.”
Potret stigma negatif terhadap wajah sofisme memang telah mengakar dalam panggung sejarah filsafat. Semenjak era Yunani kuno (5 SM), gelagat sofisme telah memicu atensi dalam bentuk respon kritis oleh sejumlah tokoh filsafat seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles. Jika Socrates bergerak dalam bentuk sikap dan perdebatan di ruang publik, muridnya Plato secara lebih serius membungkamnya lewat tulisan. Karyanya “Sofis” merupakan representasi dari hal tersebut.
Dalam fase selanjutnya, gelombang kritikan yang sama juga menyeruak ke permukaan wacana filsafat Islam. “Tipu Daya Sofis” merupakan sebuah risalah yang disusun oleh al Kindi dalam memangkas pandangan kaum sofis. Sementara al Farabi, bahkan menjadikan “logical fallacy” sebagai simbol sofisme yang disematkan dalam karyanya “mughalathah” atau “mughalathin”.
Tema sofisme sekalipun isu klasik, nyatanya tidak mudah lenyap relevansi percakapannya hingga dalam ruang sosial modern. Beberapa waktu yang lalu, sejumlah pegiat filsafat menggelar diskusi publik dengan tema “Menolak Pembusukan Filsafat” sekitaran Cikini, Jakarta Pusat. Poin utamanya adalah penolakan terhadap sofisme dengan wajah barunya sebagai kritikan terhadap salah satu pegiat filsafat.
Mengetahui hal tersebut, ia pun dalam acara yang lain menuding sebaliknya. Terlepas dari keberadaannya yang terseret dalam arus kontestasi politik, yang jelas sofisme bak tokoh antagonis lintas masa dalam pentas drama logika manusia “homo-sapien”.
Sikap resistensi terhadap Sofis muncul dalam bentuk bola panas liar yang menggelinding tanpa arah. Ia menjelma bak anak haram yang terlunta-lunta dan tidak ada yang mengaku. Bagaimanapun konstruksi pemikirannya, percayalah anda ataupun saya tentunya tidak setuju jika disebut sebagai Sofis. Menariknya, Ali al-Wardi justru bersikap sebaliknya.
“Saya bangga menjadi seorang Sofis”. Begitulah ungkap al-Wardi dalam karyanya Mahzalah al-‘Aql al-Basyari “Lelucon Akal Manusia”. Pernyataan tersebut merupakan responnya terhadap sejumlah kritikan terutama dalam buku “Ma’a Duktur al-Wardi” oleh Murtadha al-‘Askari. Tak pelak, pemikiran Ali al-Wardi memang cukup kontroversial, dan bahkan dianggap sebagai pelopor Liberalis.
Tentunya disini bukan dalam porsinya untuk mendiskusikan semuanya, namun sikapnya terhadap sofisme justru lebih mendasar dan mengakar; sebagai “titik balik” dalam menelusuri saluran epistemologi sosiologis. Dalam hal ini, Ali al-Wardi mencoba untuk merekonstruksi stigma sosial terhadap wajah sofisme.
Memang, dalam karya-karyanya al-Wardi banyak mengkritisi filsafat klasik. Mantik Aristotle ataupun Plato tidak merepresentasikan realitas kehidupan, stagnan dan ketinggalan zaman. Sementara Sofis justru ditampilkan sebagai tokoh heroik, dan ikon kemajuan peradaban.
“Manusia sebagai parameter segala sesuatu” oleh al-Wardi diyakini sebagai premis berharga Sofis dalam mendobrak kemajuan pemikiran manusia. Selain itu, sofisme ungkapnya tidak munafik, mereka mengimani relativitas kebenaran baik itu dalam ucapan dan perbuatan. Sementara kebenaran absolut dalam mantik klasik hanya diyakini secara teoritis, tidak dalam praktis.
Ali al-Wardi kelihatannya cukup serius dalam memperbaiki citra sofisme. Kritikan terhadap kelemahan filsafat klasik justru dianggap telah terlebih dahulu dilakukan oleh Ibn Khaldun. Kajian desertasinya pun tentang “Pemikiran Sosiologis Ibnu Khaldun”, didalamnya ia menegaskan bahwa logika itu adalah relatif.
Gelar doktoralnya diperoleh pada tahun (1950) di University of Texas, tempat yang sama ketika ia menyelesaikan studi masternya (1948). Intelektual asal Irak (1913-1995) ini memang dikenal sebagai Sosiolog terutama berkaitan teori sosial-historis. Tujuannya bagaimana mampu membaca teks sejarah melalui lensa sosiologis.
Betapapun kontroversial pemikirannya, Ali al-Wardi setidaknya mengakui “ke-Sofisme-an” konstruksi berpikirnya secara berani. Yang paradoksnya, manakala menerima premis dasar Sofis “Relativisme dan Manusia sebagai parameter segala sesuatu”, namun menolak jika disebut sebagai Sofis.
Ali al-Wardi adalah Sofis yang bermetamorfosis dengan wajahnya yang baru “Neo-Sofisme”. Pun demikian, bagaimanakah cara mengukur keberhasilannya dalam merekonstruksi wajah Sofisme? Bukankah ia seorang Sofis? Tokoh-tokoh dalam alur drama nalar manusia yang hendak didesain ulang karakternya (Protagonis atau Antagonis), adakah untuk mengubah kebenaran menjadi kebatilan ataupun kebatilan menjadi kebenaran? Nah, bingung kan.