Orang introvert selalu dikait-kaitkan dengan circle (lingkaran) pertemanan yang sempit, atau ada yang menyebut nolep (no life) dan hal lain yang terkesan mengintimidasi. Memang benar, ada sebagian ulama’ hikmah yang ketika ditanyai hakikat hidup, menjawab, “(hakikat hidup adalah) melek terhadap perkembangan zaman, menjadi penguasa agung nan megah, dan punya jaringan pertemanan yang luas”. Jadi, manusia kurang hidup seutuhnya kalau tidak punya banyak teman.
Tapi tunggu dulu. Ulama lain, menganalogikan seseorang yang memperbanyak pertemanan secara ceroboh dan tanpa kewaspadaan, dengan seseorang yang mengoleksi banyak bebatuan tak berharga. Sebaliknya, selektif memilih teman dianggap sama dengan menghimpun intan diantara banyak bebatuan tadi. Tak ayal, seorang perawi hadis terkemuka dari kalangan sahabat, Amr Ibn ‘Ash pernah berujar, siapa yang terlalu banyak temannya, maka banyak pula hutangnya. Demikian kutipan dari Al-Mawardi di kitabnya, Adab ad-Dunya wa ad-Din.
Toxic relationship, mau sampai kapanpun, akan selalu meresahkan. Untuk menghindarinya, perlu ada hal prinsipil dalam menambah pertemanan. Semestinya tidak hanya untuk memperbanyak kuantitas dan jumlah saja, melainkan untuk saling menebar kemanfaatan satu sama lain. Kalau boleh sedikit bercerita, sebagian kawan saya punya prinsip begini, kenal boleh, berteman nanti dulu.
Introvert dan ekstrovert semuanya normal dan netral, disebut normal karena itu kepribadian atau kebiasaan soal isi ulang energi, netral agar tidak ada marginalisasi lagi. Orang introver tidak berarti tidak bisa ramah sama sekali. Sebagai perumpaan ringan, Zaid Ibn Tsabit itu ketika sedang di rumah bersama keluarga tercintanya adalah sosok yang sangat humoris dan asyik. Tapi ketika nyangkruk dengan orang-orang di luar rumah, ia justru yang paling pendiam diantara mereka.
So, saran penulis, jadilah ambivert (kombinasi dari introvert dan ekstrovert) saja. Toh, bukankah seorang santri sudah selayaknya mengisi ulang energi kehidupannya di pondok dengan menyepi dan bertawasul di maqbaroh (pesarean sesepuh pendiri pesantren), atau beriktikaf di masjid pondoknya, di saat yang lain dengan tertidur pulas? Dan bukankah sepertinya kurang lengkap, kalau seorang santri tidak kenal kawan sekamar dan sekelasnya? Apakah mengisi ulang energi dengan ngeblek (makan bareng) di nampan, atau ngopi bareng sepulang ngaji itu tidak efektif untuk mengembalikan energi?
Saya punya teman, sebenarnya sudah kenal lama, tapi baru tiga tahun ini sekelas, dan dia bagi saya adalah gambaran santri yang ambivert. Sebelum saya satu kelas dengannya, saya kira dia hanya senang koar-koar dan ngoprak-ngoprak, pokoknya dia kelihatan ekstrovert parah. Ini bukan anggapan saya saja, banyak kawan lain yang beranggapan begitu, sampai ada yang memanggil lambe turah. Tapi ternyata, dia punya waktu khusus, punya wadzifah (kebiasaan) lain. Pada saat-saat di mana masjid agung pondok sepi, dia banyak menghabiskan waktu di shaf pertama, di belakang pengimaman. Tidak janggal, dia sudah hafal apa yang akan disetorkan di hari muhafadzoh (ujian hafalan), bahkan jauh-jauh hari.
Ada juga santri yang punya nama panggilan “mbah wali”, ia dipanggil begitu karena waktunya banyak dihabiskan di masjid, di serambi, atau di kelas. Pokoknya dia ngaji, ngaji, dan ngaji. Biasanya, mbah wali itu memang kurang nyaman dan luwes saat bercengkerama dengan orang lain. Padahal kalau kata Kiai Sahal Mahfudz, santri itu mestinya tidak hanya saleh ritual, tetapi juga saleh secara sosial. Aw kama qaal.
Walhasil, mengisi energi dengan mendengarkan playlist favorit Spotify sambil mengkhatamkan buku fiksi di kamar sendirian sah-sah saja, tapi jangan sampai menjadi si paling introvert sehingga acuh tak acuh dengan lingkungan sekitar, dan jangan pula menjelma jadi si paling extrovert, kopdar sana-sini, sampai salah kekancan.
Semoga kita semua, khususnya saya, lekas menjadi santri ambivert (saleh ritual & saleh sosial).