Sadar atau tidak, kita semua sering disindir Al-Qur’an. Kata Al-Qur’an, “agar kalian berpikir”, la’allakum tatafakkarun. Usai menerima sindiran itu, beberapa orang yang ada di fase Quarter Life Crisis kemudian mau berpikir, tapi kebablasan.
Alih-alih memejamkan mata sebelum (dipaksa) tidur, sembari memandang dinding-dinding langit, dan setelah baterai gawai habis, mereka memilih untuk memperburuk kualitas istirahat dengan memikirkan skenario terburuk di setiap episode hidupnya. Orang-orang sekarang menyebut aktivitas sekaligus rutinitas itu sebagai overthinking.
Jadi, apa itu overthinking? Menurut psikolog Fakultas Psikologi UGM, Dr. Nida UI Hasanat, M.Si., Psikolog., overthinking adalah aktivitas berpikir berlebih, tetapi hanya jika mengarah pada hal-hal negatif.
Penyebab Overthinking
Overthinking bisa disebabkan oleh satu dua penyesalan di masa lalu, atau kecemasan dan kekhawatiran gagal di masa yang akan datang. Padahal, masa lalu tidak bisa diutak-utik lagi. Lha wong sudah terjadi. Jangan terlalu lama melihat spion. Melihat masa lalu penting juga, tapi jangan berlarut-larut, kata Denny Cak Nan dengan sedikit modifikasi.
Perkara masa depan, al-Mawardi (975 M – 1085 M) punya paparan menarik di Adab al-Dunya wa al-Din. Bahwa, seseorang yang hendak melanjutkan pendidikan pascasarjana di fakultas idamannya, tetapi ia mengira tidak akan mampu melewati masa-masa sulit di tengah perjalanan, atau bahkan merasa insecure dengan daya tangkap yang dimilikinya, adalah semata-mata alibi orang-orang lemah. Bagi beliau, terburu-buru menyimpulkan dan takut terhadap sesuatu sebelum benar-benar dicoba adalah kedunguan. Begini teksnya;
وربما منعه من طلب العلم ما يظنه من صعوبته وبعد غايته ويخشى من قلة ذهنه وبعد فطنته. وهذا الظن اعتذار ذوي النقص وخيفة أهل العجز. لأن الأخبار قبل الإختبار جهل، والخشية قبل الإبتلاء عجز.
Penyebab overthinking selanjutnya boleh jadi berkaitan dengan hurry sickness. Yaitu ekspektasi ketinggian yang dibarengi dengan keinginan serba instan. Belum lagi kalau kemakan paham idealisme. Padahal Islam sebegitu mengajarkan umatnya untuk kalem, tapi ya nggak klemar-klemer. Btw, saya sudah menulis sedikit tentang hurry sickness. Monggo dibaca dan dikoreksi.
Mengobati Overthinking
Walaupun agak klise, tetapi jika yang dikehendaki adalah overthinking soal masa lalu, mungkin cara menyembuhkannya adalah dengan memosisikan roja’ sebagai obat lebih daripada khouf. Jadi, buat orang yang terlalu memikirkan dosa yang dilakukannya di kala dulu, sebaiknya meyakini dengan mantap atas luasnya pengampunan Allah, ketimbang terus berhanyut-hanyut dalam kenestapaan.
Tapi banyak yang salah paham di sini. Roja’ ada SOP-nya. Roja’ boleh dikedepankan dalam hati, tetapi mesti beriringan dengan ketaatan beribadah, juga kesungguhan bertaubat. Yahya Ibn Mu’adz menyatakan, ketiadaan taubat yang mestinya menyertai rasa roja’ adalah semacam tindakan penipuan.
Senada dengan itu, seorang sya’ir berkata;
تَرْجُو النَّجَاةَ وَلَمْ تَسْلُكْ مَسَالِكَهَا – إِنَّ السَّفِينَةَ لَا تَجْرِي عَلَى الْيَبَسِ
”Engkau bergegas meraih keselamatan tapi salah jalan. Perahu tidak pernah bisa berlayar di atas tanah kering.”
Nah, selanjutnya overthinking perkara masa depan. Semakin ke sini, hampir tidak ada orang yang overthinking akan nasibnya di akhirat. Maka sinonim-turats yang tepat adalah thulul amal.
Secara sederhana, thulul amal diartikan sebagai kedunyan, kebalikan dari zuhud. Mengenai ini, ada satu hadis yang mengatakan bahwa kekhawatiran terbesar Nabi pada umatnya adalah thulul amal dan menjadi budak hawa nafsu. Anggaplah overthinking adalah thulul amal, at least (setidaknya) dalam beberapa kasus.
Terlepas dari fakta yang dibenarkan Abu Hamid al-Ghazali tentang keniscayaan manusia punya kebiasaan thulul amal, beliau sudah membuat pola tingkatan. Ada yang dalam batas wajar, ada yang kebablasan, ada juga yang benar-benar sesuai tuntunan utama. Misalnya, seseorang overthinking memikirkan perencanaan finansial untuk diri sendiri serta keluarganya dengan menimbun (menabung) harta.
Menyimpan harta hanya untuk kebutuhan sehari semalam saja (besok ya dipikir besok), adalah derajat paling utama. Hierarki di bawahnya adalah menyimpan harta untuk kebutuhan selama empat puluh hari. Jika lebih dari empat puluh hari, ada yang mengatakan sudah dikategorikan thulul amal. Ada pula pendapat bahwa, baru disebut thulul amal jika mengupayakan kebutuhan untuk lebih dari satu tahun.
Di Ihya’ Ulum al-Din, dengan tegas al-Ghazali menjelaskan obat dari thulul amal;
وتعالج طول الأمل بكثرة ذكر الموت والنظر في موت الأقران وطول تعبهم في جمع المال وضياعه بعدهم
“Thulul amal dapat diobati dengan kerap memikirkan kematian, dan mengangan-angan usaha keras orang lain menyimpan harta, tetapi setelah ia mati harta itu terbengkalai sia-sia.”
Dan, apa yang disampaikan al-Mawardi sebelumnya menyiratkan bahwa, apapun rencana yang hendak dilakukan, selama itu positif ya mbok dilakukan saja dulu. Kalau kalangan ahlusunah disepakati kalah progresif dengan kelompok sebelah, jawabannya mungkin karena kita terlalu sibuk menggembar-gemborkan ajaran ahlusunah sebagai teori semata. Sementara kelompok lain sudah PKL (Praktik Kerja Lapangan). Mereka gercep. Sat set. Nyata.
Walhasil, berbagai kisah keberhasilan cendekiawan muslim dalam pelbagai pencapaian temuan ilmiahnya, perjuangan keras dan pergumulan sengitnya dengan buku-buku hingga seolah lupa waktu, tidak bisa dikatakan overthinking dengan mengacu pada definisi yang disampaikan Dr. Nida di awal tadi. Sebab itu semua positif, bukan negatif.
Atau jangan-jangan, overthinking kita selama ini hanya sebatas renungan belaka, yang bagi Rene Descartes misalnya, manusia seharusnya lebih sering belajar daripada merenung.
Sekian, semoga bermanfaat.