Sedang Membaca
Memunculkan Rasa Kemanusiaan dalam Beragama
Moh. Haidar Latief
Penulis Kolom

IKSAB TBS, Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo Semarang, Pengelola Media Hammasah.

Memunculkan Rasa Kemanusiaan dalam Beragama

Img20210123062256

“Kemanusiaan Sebelum Keberagamaan” adalah judul karya dari Habib Ali al-Jufri, ulama kelahiran Jeddah, Arab Saudi 49 tahun silam. Karya tersebut merupakan edisi Indonesia dari kumpulan artikel yang ditulis antar tahun 2012 hingga 2014. Karya ini banyak menyinggung soal esensi keberagamaan kita, perhatian kepada pemuda, agama sebagai alat politik, hingga teladan Nabi Muhammad.

Judul dari karya ini diambil dari judul dari salah satu artikel, namun merupakan tema pengikat yang menyatukan seluruh kandungan buku. Pada bagian awal ditegaskan bahwa agama (din) adalah dari Allah, maka akan selalu terjaga kesuciannya. Namun keberagamaan (tadayyun) adalah tentang bagaimana manusia menyerap, memahami, dan mempraktikkan ajaran agama. Maka keberagamaan adalah pengalaman dari manusia. Kemanusiaan adalah wadah dari keberagamaan. Apabila tidak tampak kemanusiaan seseorang, tidak tampak pula keberagamaan seseorang. (hlm.9)

Dalam hadis riwayat Ahmad dikisahkan bahwa, pada masa awal nabi dakwah ada seseorang yang bertanya kepada Nabi siapa dirinya hingga kemudian bertanya pesan apa yang Nabi bawa dari Allah. Jawab Nabi pesan yang dibawa ialah “menjunjung ikatan kekeluargaan, mencegah pertumpahan darah, menjadikan jalan-jalan aman, menghancurkan berhala dan hanya menyembah Allah”.

Kita dapat merenungkan hikmah di balik pesan yang dititipkan oleh Allah kepada Nabi. Sebelum menyebutkan hubungan antara hamba dengan pencipta, terlebih dahulu disebutkan hubungan antar sesama hamba mulai dari menghormati tali persaudaraan yang akan menciptakan kedamaian, mencegah pertumpahan darah yang berarti menjaga hak hidup manusia, hingga membuat jalan-jalan aman yang dapat menghadirkan rasa aman bagi sesama, baru kemudian menyebutkan menghancurkan berhala dan hanya menyembah Allah. (hlm.171).

Baca juga:  Sabilus Salikin (98): Tarekat Histiyah

Dengan itu berarti perilaku keberagamaan kita tetap harus didasari rasa kemanusiaan, rasa peduli terhadap sesama sebagai modal awal, tanpa menghadirkan rasa kemanusiaan dalam beragama maka akan mengurangi esensi keberagamaan.

Perhatian Kepada Pemuda

Habib Ali Al Jufri dalam karyanya ini juga menaruh perhatian kepada anak muda, anak muda merupakan aset yang berharga, anak muda adalah penerus para ulama, dan para cendekiawan muslim. Maka kita perlu untuk menjaga aset berharga yang kita miliki agar tidak berpaling dari Islam.

Namun kenyataannya tidak demikian, banyak anak muda yang lari dari agama karena kepercayaan anak-anak muda terhadap Islam dihancurkan oleh para agamawan ekstrimis, bahkan kerusakannya lebih dalam dari yang pernah dilakukan oleh musuh Islam (hlm.113)

Para kaum ekstrimis tersebut beragama dengan berlandaskan kekerasan, tidak menerima perbedaan, menghalalkan segala cara demi tujuannya dan mereka menganggap sedang membela panji Rasulullah, menganggap kelompoknya yang paling benar dan menyalahkan kelompok lain yang memiliki pandangan berbeda dengan kelompoknya. Hal tersebutlah yang hingga menjadikan para pemuda bertanya-tanya “Apa semua kejatahatan yang nampak di mata kami adalah benar-benar ajaran Islam?”

Padahal setiap generasi memiliki tanggung jawab untuk mengembangkan generasi berikutnya dengan pengetahuan serta kebutuhan-kebutuhan lain yang dibutuhkan untuk menjawab masalah yang ada. (hlm. 118)

Lalu bagaimana para pemuda akan nyaman dalam berproses dan mengembangkan diri dalam agama jika mereka sendiri sudah muak dengan kelakuan orang-orang yang mengaku menegakkan agama Islam?

Selain itu juga sering adanya konflik antara generasi muda dan generasi tua. Sering terjadi ketidaksepahaman antara dua generasi ini, padahal mestinya generasi muda merupakan perpanjangan tangan dari generasi tua. Namun yang ada generasi tua menyerang generasi muda, menganggap mereka tidak hormat kepada yang tua hingga merebut otoritas mereka tanpa kecakapan yang mumpuni, di samping itu generasi muda menuduh generasi tua adalah generasi yang kolot, gagal, dan tak bertenaga, mereka bahkan menolak masukan yang diberikan generasi tua.

Baca juga:  Perkembangan Literasi Arab di Barat: Berubahnya Sebuah Paradigma

Mengenai masalah yang telah disebutkan di atas Habib Ali al Jufri mencoba menawarkan alternatif, yakni saling memahami. Tampaknya menjadi mustahil untuk dapat menyelesaikan semuanya jika tidak saling memahami, juga perlu diyakini bahwa ada tanggung jawab yang dipikul atas situasi saat ini dan masa depan dari masing-masing generasi. Selain itu juga perlu untuk membuka dialog dengan tulus dan serius yang didasarkan pada semangat cinta dan belas kasih (hlm.125)

Agama sebagai Alat Politik

Selanjutnya dalam buku ini juga membahas bagaimana agama menjadi alat legitimasi untuk membolehkan melancarkan serangan kepada orang yang berbeda pandangan dengannya.

Seperti kata kafir, mereka mengambil sudut pandang yang ekstrem dalam penggunaan istilah tersebut. Beberapa orang menyematkan istilah tersebut kepada orang yang menentang paham keagaamaannya bahkan juga digunakan untuk menggambarkan orang yang tidak setuju terhadap pandang politiknya. (hlm.250)

Penyematan istilah kafir yang seperti ini merupakan takfir yang memiliki motif politik, penyebutan tersebut dijadikan sebagai alat pembenaran bagi mereka untuk pemecahan politik atau penyerangan terhadap kelompok yang lain.

Dalam kasus yang lain mereka menggunakan dalil-dalil agama untuk kepentingan kelompok politiknya dan juga untuk menyerang kelompok politik yang berlawanan dengannya.

Dalil agama diproduksi dengan sedemikian rupa kemudian mereka menganggap tafsiran tersebut merupakan tafsiran yang dimaksudkan oleh syariah, padahal tafsiran tersebut adalah tafsiran berdasarkan nafsu politik belaka.

Baca juga:  Pandangan Seorang Nashrani: Muhammad Nabi Cinta

Teladan Nabi Muhammad

Pembahasan terakhir dalam buku ini dipungkasi dengan mengingatkan kembali kepada pembaca kemuliaan, keteladanan, dan ketulusa Rasulullah.

Mulai dari peristiwa di Tha’if, saat orang-orang di sana melemparinya dengan batu, yang menyebabkan anggota tubuhnya tertutupi oleh darah, melihat itu para malaikat penjaga gunung geram dan menawarkannya agar meminta kepada Allah untuk menghancurkan mereka.

Namun jawaban Nabi Muhammad sungguh luar biasa, dijawabnya ” Aku diutus bukan sebagai pelaknat, jika mereka tidak dapat menerima ajaranku, mungkin keturunan-keturunanya yang dapat luluh pada Islam” Bukan kutukan atau balasan yang nabi berikan . (hlm.363)

Begitupun juga ketika peristiwa Fatkhu Makkah, saat Nabi Muhammad merebut kembali Makkah dari orang-orang kafir, pasukannya berkata “Hari ini adalah hari pertumpahan darah”. Namun Nabi mengatakan ” Hari ini adalah hari belas kasih.

Di saat Nabi mempunyai kesempatan untuk membalas apa yang telah dilakukan orang-orang kafir dahulu kala, Nabi justru memlilih untuk membebaskan semua orang yang memusuhinya. Kasih sayang yang ditunjukkan oleh Nabi

Peristiwa-peristiwa tersebut menunjukkan begitulah ajaran Islam sejatinya, Islam yang bergandengan dengan kasih sayang, Islam yang tidak ada paksaan di dalamnya. Nabi telah memberikan contoh untuk memandang umatnya dengan pandangan belas kasih (ain rohmah) dan justru karena itu, banyak musuh Islam yang tertarik pada Islam.

 

Judul Buku : Kemanusiaan Sebelum Keberagamaan

Pengarang : Habib Ali al-Jufri

Penerbit: Noura

Tebal Halaman : 371 Halaman

ISBN : 978-623-242-074-8

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top