“Dia adalah seorang ulama terkenal,” kata seorang YouTuber, mengomentari seorang ustaz kondang yang juga sering tampil di YouTube. Komentar itu terdengar ganjil secara kebahasaan.
Dalam percakapan sehari-hari, kata ‘ulama’ dipakai sebagai kata benda singular. KBBI juga memuat kata tersebut sebagai kata benda singular dan artinya adalah “seseorang yang ahli dalam hal atau dalam pengetahuan agama Islam.”
Dalam bahasa aslinya, yaitu bahasa Arab, ‘ulamâ’ adalah bentuk plural dari ‘âlim yang bahasa Indonesianya adalah ilmuwan. Jadi, sama seperti ‘ilmuwan’, kata ‘âlim bersifat generik, bisa menunjuk seseorang yang berwawasan luas dalam ilmu agama Islam maupun ilmu lainnya. Bahkan dia yang berwawasan luas dalam hal agama selain Islam pun bisa disebut ‘âlim.
Kata ‘akhlak’ juga serapan bahasa Arab yang mengalami penyempitan makna serupa. Asal katanya adalah akhlâq, bentuk plural dari khuluq. Saat diserap ke dalam bahasa Indonesia, yang dipakai adalah ‘akhlak’ tapi makna singular.
Dengan demikian, saat kata ‘ulamâ’ diserap ke dalam bahasa Indonesia, setidaknya menurut KBBI, terjadi penyempitan makna dua kali. Pertama, ia menyempit dari makna plural menjadi singular. Kedua, ia menyempit dari ilmu yang bermacam-macam menjadi sekadar ilmu agama.
Penyempitan makna tersebut, kadang tidak berlaku dalam kebiasaan masyarakat. Beberapa ormas di Indonesia yang menggunakan kata ‘ulama’ lebih sadar maknanya yang plural, namun masih mempertahankan penyempitan maknanya hanya pada ilmu keislaman. Nahdlatul Ulama, Majelis Ulama Indonesia, dan Kongres Ulama Perempuan Indonesia adalah sebagian contohnya. Kata ‘ulama’ di situ mengacu pada makna plural, bukan singular.
Pada dasarnya kata ‘âlim sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia, menjadi ‘alim’. KBBI V mencantumkan tiga arti terhadapnya dan salah satunya mengandung pengertian ilmuwan yang netral.
Namun, untuk menyebut ilmuwan keagamaan dalam makna plural, terdapat kata serapan ‘alim ulama’ yang dalam KBBI V diartikan “orang-orang pandai dalam pengetahuan agama Islam.” Jadi, kalau kita mau menyatakan para ilmuwan keislaman, kita menyatakannya dengan ‘alim ulama’, alih-alih sekadar ‘ulama’.
Lagi pula, jika ditinjau dari sudut bahasa Arab, kata ‘âlim dan ‘ulamâ’ digabung jadi satu untuk menyatakan makna plural dari ilmuwan keislaman saja sudah aneh. Tidak ada orang Arab akan menyatakan dengan cara demikian. Mereka cukup bilang ‘ulamâ’ saja.
Barangkali, akan ada yang membela keanehan tersebut dan mewajarkannya. Tata aturan bahasa Arab tidak bisa disamakan dengan tata aturan bahasa Indonesia. Jadi, sebuah kata serapan harus ditinjau dari bahasa Indonesia, bukan dari bahasa asalnya.
Kata ‘alim ulama’ tidak sepenuhnya berasal dari bahasa Arab, lanjut para pembela tersebut. Ada unsur bahasa tutur setempat yang terlanjur biasa menggunakannya dalam bahasa sehari-hari. Kebiasaan tuturan itulah yang ditampung oleh KBBI V, bukan sekadar serapan bahasa Arab.
Argumen di atas bisa dibenarkan dalam beberapa kasus, namun perlu diingat bahwa KBBI kadang berfungsi membetulkan kebiasaan tuturan di masyarakat. Ada beberapa kata yang kadang dituturkan masyarakat tapi tidak layak masuk KBBI karena terdapat unsur kesalahan berbahasa.
Kata ‘sinergitas’ adalah salah satu contohnya. Kata ini jelas merupakan kekeliruan tuturan di masyarakat, dianggap berasal dari sinergity. Padahal, tidak ada orang Inggris berkata begitu. Yang ada adalah sinergy yang diserap menjadi ‘sinergi.’
Oleh karena ‘sinergitas’ adalah kekeliruan penuturan di masyarakat, bahkan terkadang dalam masyarakat akademis, maka ia tidak layak masuk KBBI. Ini membuktikan bahwa KBBI berfungsi pula membetulkan kekeliruan tuturan.
Jadi, ada pentingnya juga menerapkan alur berpikir serupa pada serapan-serapan dari bahasa Arab. Kata ‘alim ulama’ memang sering terdengar di masyarakat, tapi kata ini berawal dari kekeliruan tuturan yang tidak layak masuk KBBI.