Sufi agung tanah Jawa, Mbak Muslih Mranggen, di taman Ma’la. “Jannatul Ma’la” merupakan taman impian. Tidak seperti desa impian ”Edensor,” yang hijau, ranum, dan berparas eksotik, seperti yang tersurat dalam novel intellectual adventure Andrea Hirata. Taman Ma’la, tersusun dari bahan baku pasir, debu, dan berbatu cadas. St Peter’s Church menjadi ciri utama dalam ”negeri dongeng” Edensor, yang berjarak dua kilometer dari Chatsworth Houses. Gereja St Peter diapit puluhan makam-makam tua famili Dukes of Devonshire, termasuk peristirahatan akhir Sir Joseph Paxton, perancang kampung Edensor. Edensor adalah mata air, penyejuk dahaga keindahan dunia.
Beda dengan Edensor, Ma’la memiliki magnet tersembunyi. Masjid al-Haram sebagai ikon Makkah, kota dimana Ma’la berada, lebih tersohor dibanding ”peristirahatan” monumental itu. Kakbah menjadi episentrum kehidupan. Makkah adalah poros, lembah yang tak bertaman, biwaadin ghairi dzi zar’in (QS. Ibrahim: 37), dibangun sebagai ”ibu kota spiritual” yang aman sentosa (QS. At-Tin: 4). Dulu, kini, dan nanti, kawasan Makkah adalah jaminan sekuritas lahir dan batin.
Keamanan, dimana-mana selalu menjadi pra-syarat sejahtera. Aman adalah hak dasar setiap insan. Makkah, memberi garansi rasa aman yang tulus, Ma’la menjadi sumber imajinasi. Seperti Edensor, yang dikelilingi makam-makam legendaris, Ma’la adalah pemakaman agung, hadir sejak dulu kala, sebelum risalah Islam disabdakan. Ma’la adalah “gerbang utama” isteri Nabi, Siti Khatijah dan putra tercinta, sahabat, para ulama terkenal Nusantara bercengkrama di pertamanan surga. Ma’la, memberi harapan, masa depan yang terlabuhkan.
Edensor menjanjikan pesona lahir. Memanjakan panorama indrawi. Ma’la adalah pelangi spiritual. Daya tarik Ma’la tidak bisa ditembus oleh pelancong-pelancong yang sekedar berrmodal materi dan mata lahir. Ma’la berbeda. Ma’la adalah kerajaan ruhani. Orang-orang yang bersimpuh di Ma’la, memiliki dentuman-dentuman batin yang gemuruh. Detak-detak jiwa sang Salik terkoneksi, naik-turun, turun-naik, secara fluktuatif, mengikuti ritme kualitas sinyal spiritual individu. Tanpa kaca mata batin, Ma’la hanya gundukan bebatuan, terjal, dan gersang. Ma’la adalah simbol keluhuran jiwa. Ma’la merupakan dermaga ”kapal” cita-cita agung Mbah Muslih, perintis dan pendiri Jam’iyyah Ahli al-Thariqah al-Mu’tabarah An-Nahdliyah berlabuh. Mbah Muslih di pantai ”pulau harapan” Ma’la.
Mengisi Jiwa
Berkunjung ke Makkah tanpa munajat dan muhasabah di Ma’la tidak sempurna. Ibadah haji dan umrah menafikan kunjungan ke Jannatul Ma’la bagai ‘menyeruput’ eskrim tanpa toping. Dingin dan sensasinya kurang menonjok. Kelezatannya hambar, rapuh dan memudar. Ruang kejiwaan terasa kosong. “Hampa,” persis lirik retoris lagunya si Ungu, ”Hampa hatiku.” Begini katanya, ”Pernahkah kau merasa hatimu hampa/Pernahkah kau merasa hatimu kosong.” Melupakan Ma’la, sama artinya membiarkan ruang kosong itu mengangga. Menuju Ma’la seperti halnya memenuhi ruang-ruang jiwa. Ma’la memanjakan “lidah” spiritual dan intelektual. Ma’la adalah saksi bisu sinar gemerlap keilmuan. Makam ini, “rest in peace” ulama-ulama besar Nusantara.
Membaca Ma’la dengan lensa lahir, hanya mempertajam kesenjangan sosial. Ma’la adalah sisi lain metropolitas Makkah. Begini gambarannya. Kota-kota besar, sebut saja seperti London, New York, Paris, Tokyo, Jakarta, menjadi pusat kemakmuran, kekuasaan, dan kreativitas. Kota-kota megah itu selalu menyisakan keterbelakangan. Terbelakang moral, integritas, atau istilah generasi Z, akhlak-less. Di balik kemakmuran, bersanding kaum miskin, kumuh, senyap, dan sepi. Tidak seperti area Masjid al-Haram yang gemerlap, indah, gagah, mencakar langit, Ma’la merepresentasikan kebersahajaan.
Dibanding makam Imam Syafi’i yang terdapat di Mesir, Ma’la bertolak seratus delapan puluh derajat. Kompleks makam Imam madzhab ini sangat prestisius, megah, dan nyaman. Meski sama-sama banyak peziarah, pemerintah Arab Saudi dan Mesir punya perlakuan yang beda terkait ”pemakaman.” Ma’la dalam sejarahnya, berada ”di pinggir jurang” eksistensial. Hampir saja punah oleh gempuran gerakan wahabisme. Makbaroh Imam Syafi’i, menjulang dan berwibawa dalam peluk hangat penguasa Mesir yang ”ramah tradisi.” Ma’la simbol perjuangan, kesederhanaan, dan ketulusan.
Gemerlap kota dan kesunyian makbaroh adalah pendulum magnetik. Hidup adalah bandul gerak ke arah gemerlap dan sunyi, kaya dan miskin, kuasa dan jelata. Bukan berarti jalan kemewahan selalu buruk, lelaku sederhan pasti baik. Meski, memang lazimnya begitu. John Milton dalam Areopagitica (1965) memberi rumus hidup; ”baik dan buruk tumbuh bersama nyaris tak terpisahkan.” Kota metropolis bisa jadi memang pusat aneka maksiat yang dipertontonkan. Bisa juga, kota, kemakmuran, gemerlap dunia, menjadi ladang perjuangan, rasa menumbuhkan empati, mengasah diri dan kasih sayang. Jika demikian, kota sama potensialnya sebagai sarana menuju ridha Ilahi.
Pun begitu dengan makam, seperti Ma’la, kawasan pinggiran, tradisi remeh-temeh, perdusunan, tempat-tempat yang sederhana. Ia bisa menjadi jalan dan ’pusat’ kebaikan, dan saat yang sama menjadi penyebab munculnya petaka dunia akhirat. Masjid dan ibadah pun begitu, seperti pisau bermata dua. Menjadi sumber pahala atau penyebab dosa dan dosa. Sungguh beruntung, orang-orang yang bisa mengisi kekayaan jiwa di segala tempat dan medan. Pribadi jenis ini bisa mengontrol diri. Tidak terbawa arus, tetapi mengontrol arus. Pribadi yang dipeluk integritas, jiwa-jiwa yang tenang dan tentram, siap menjadikan Ma’la sebagai pengisi dahaga ruhani. Nur Syam, dalam risetnya Islam Pesisir (2010), bilang bahwa umat Islam tidak bisa lepas dari tiga medan budaya, yaitu masjid, sumur, dan kuburan (makam).
Ketiga medan budaya itu sangat inklusif dan dinamis, termasuk makam Ma’la. Terjadi pergerakan dari sakralitas, desakralisasi, menuju resakralisasi. Dari mistifikasi, menuju demistifikasi, dan menjadi remistifikasi. Dari mitologi, ke demitologi, dan berakhir pada remitologi. Begitu seterusnya, laksana Bianglala, Ma’la berputar seiring pasang surut nalar dan hati manusia. Tidak seperti dulu, makam dianggap pusat klenik, simbol keprimitipan, dan keterbelakaangan. Kini, Ma’la menjadi poros utama skenario besar Visi Arab Saudi 2030, yang lebih dinamis, progresif dan inklusif. Ma’la menjadi pintu masuk Arab Saudi yang ultra-modern, transenden yang bernilai ekonomi. Welcome to our vision of a vibrant society in Saudi Arabia. Ma’la menjadi jantung spiritual yang berdenyut ekonomis.
Jaringan Spiritual
Kalender mencatat, tanggal 14 Juli 2023. Jum’at pagi, pukul 09.00, waktu Arab Saudi. Bulan haji. Penulis dan isteri berjuang menggapai anugerah untuk ziarah ke makam Mbah Muslih, di Ma’la. Secara geografis, Ma’la dekat masjidil Haram. Berjarak 1,1 km, terletak di bagian utara kiblat umat Islam sedunia. Ma’la sudah ada sejak 1.700 tahun yang lalu, sebelum Sang Baginda Muhammad lahir. Berada di bagian bawah bukit Hujun, Mekkah. Makam ini bersebelah dengan Jabal Assayidah atau bukit Sayyidati khadijah. Butuh waktu 30 menit jalan kaki dari masjidil Haram. Menempuh waktu 15 menitan, karena jalan melingkar, jika naik taksi dari kawasan Misfalah, tempat hotel kami berada, Hotel Al-Zaeer al-Halili.
Bagi penulis, ke Ma’la adalah alam khayali. Hari itu, tidak lagi mimpi. Cita-cita primordial, sejak dulu, ingin ke makam Mbah Muslih menjadi nyata. Mbah Muslih Mranggen, sang kiai, ulama, dan musyid. Pendiri lembaga tarikat, yang beraviliasi dalam payung besar Nahdlatul Ulama (NU) atau yang terkenal dengan sebutan Jatman adalah pendiri Pondok Pesantren Futuhiyyah, Mranggen, Demak. Bagi penulis, Mbak Muslih itu masyhur dan memenuhi ruang kesadaran, harapan dan imajinasi. Sejak kecil, Penulis dapat cerita dari Ayahanda, Mbah Ahmad Mua’lim bin Umar Shiddiq tentang ilmu, karamah, dan perjuangan Mbah Muslih. Ayahanda pergi haji pada tahun 1980, satu tahun sebelum mbah Muslih wafat di Makkah, pada tahun 1981.
Mbah Muslih, kiai asal kampung Suburan Mranggren sangat masyhur. Tentu, secara pribadi, penulis belum pernah ketemu. Beda generasi. Beda ruang dan waktu. Tentu juga, beda status. Satu-satunya titik temu adalah ruang “cerita” dan kitab “Samratul Qulub.” Kitab panduan dzikir yang mungil di ukuran dan berat di ”timbangan” spiritual, menjadi jembatan koneksitas wirid santri Futuhiyah dan Mbah Muslih.
Sungguh, berdoa di Ma’la secara intim dan privat lebih syahdu. Namun, penulis devisit nyali untuk berkunjung menuju Ma’la secara otodidak dan sendirian. Isteriku, Siti Mumun Muniroh, yang namanya mirip the city of prophet, ku ajak serta. “Siti Muniroh” seperti nama isteri duta besar Arab Saudi pada masanya, Kiai Agus Maftuh Abegebreil, alumni Futuhiyyah yang bereputasi tinggi. ”City of Muniroh” anggap saja semakna, seperti al-madinah al-munawaroh. Isteri, teman di segala medan dan cuaca. Sahabat, kolega, tersayang, dan teman ngobrol. Dia sudah teruji, bolak-balik ke kawasan Kakiyah. Pasar tradisional, tempat “kaporit” emak-emak yang sedang haji dan umrah.
Bersama isteri, penulis bertiga menuju Ma’la. Bertiga, kok “bertiga?” apakah penulis beristeri dua? Ooh…no, la la…, sama sekali tidak. Penulis, isteri, dan supir taksi. Keder juga di hamparan Ma’la. Bingung menemukan pintu utama Ma’la, satu-satunya akses yang bisa dilewati. Berdua, kaki-kaki ini melangkah pasti mengelilingi taman Ma’la. Hampir dua puluh menit, akhirnya ketemu juga pintu itu. Ma’la mengajarkan jangan pernah mundur dalam medan perjuangan. Sekali layar terkembang, pantang biduk surut ketepian. Niat itu utama. Semesta akan menuntun langkah demi langkah. Kira-kira begini, tancapkan kekayakinanmu, alam semesta akan menuntunmu. Meskipun, visi baru Arab Saudi 2030 membuka ruang akses bagi kaum perempuan, di depan askar (security), “ketidakadilan gender” tetap abadi. Isteriku hanya boleh di luar “taman” Ma’la. Berdo’a dan membaca al-Qur’an di balik pagar. Pelajaran penting hari itu, ketika pintu-pintu lahir tertutup maka jendela hati selalu terbuka abadi. Yang penting, spiritual connected.
Ingin Mukim di Makkah
Banyak ”bintang” di taman Ma’la, Mbah Muslih Mranggen satu yang bercahaya. Mbah Muslih bisa membaca masa depan. Pribadi yang memiliki daya linuwih, membumi dan manusiawi. Misteri kewalian menyelimuti kehidupan beliau. Suatu hari beliau mendapat kabar tentang esok hari yang cerah di Makkah. Diceritakan oleh Kiai Hanief Muslih, dalam Kiai Muslih Mranggen: Sang Penggerak & Panutan Sejati (2020). Mbah Muslih berjumpa dengan Malaikat Jibril. Kiai Hanief melanjutkan, “Mau bengi aku bakda ditemui malaikat Jibril A.S., membawa kabar gembira. Umurku ditambah satu tahun,” menirukan kabar dari Mbah Muslih dihadapan sanak keluarga. Beliau ‘pamit’ ingin bermukim di Makkah. Jelas, kabar misterius ini membikin melongo anak-cucunya. Mereka saling pandang. Satu dengan yang lain beradu mata. Ada apa gerangan? Dalam batin anak-cucu bertanya-tanya. Suasa hati semakin tidak menentu. Madrasah, pondok pesantren, santri, dan ribuan murid tarikat, nanti nasibnya bagaimana?
Mbah Muslih merencakan berdomisili di Makkah, tentunya di luar nalar. Ada waktu satu tahun persiapan. Satu tahun bonus umur. Beliau mengoptimalkan dispensasi tersebut untuk berkunjung, silaturahmi, mengaji, dan menulis. Bertemu keluarga, sahabat, santri atau murid. Beliau memperkuat jaringan organisasi tarekat. Bahasa kiwari, upgrading dan capacity building bagi organisasi kaum sufi. Praktis selama 365 hari, Mbah Muslin berkegiatan rutin, terjadwal rapi, sistematis, dan terstruktur. Masa penantian mengasah perjuangan, menorehkan kematangan intelektual dan spiritual. Pengarang kitab Umdatu As-Salik fi Khairi al-Masalik (1956) ini, disebut Martin van Bruinessen sebagai tokoh sentral TQN di tahun 1970an. Gus Ulil Abshar Abdalla, intelektual muda NU, menyebut sebagai ulama yang tekun, wawasan luas, dan inklusif. Murtadho Hadi (2012) menyebut bahwa Mbah Muslih merupakan Tiga Sufi Tanah Jawa, yang wejangan sufistiknya abadi.
Kitab al-Nur al-Burhany, karya legendaris Mbah Muslih, menjadi bacaan wajib dalam tradisi Manaqib Syech Abdul Qadir al-Jailani. Kitab ini menjadi mantra ritual manaqib bagi mayoritas Muslim Asia Tenggara. Kampung, desa, kota dan di metropolitan. Santri-santri yang bertekat bulat ingin menjadi “kiai,” biasanya antri mendapatkan ijazah kitab bertuah ini. Karya ini pernah mengantarkan Prof Abdul Munip (UIN Yogya) menjadi guru besar, berkat menelaah secara kritis karya monumental ini. ”Uniqueness in Translating Arabic Hagiography of Shaikh’Abd Al-Qādir al-Jailānī: The Case of An-Nūr al-Burhā nī,” studi terkait Nurul Burhan yang terbit di Jurnal Internasional bereputasi, Indonesian Journal of Applied Linguistics, 7(3), 668-675. Al-Burhany menjadi bagian keadaban masyarakat kampus, awam dan penduduk global. Al-Nur al-Burhany, yang penuslinya tertulis, Li Abi Lutfi al-Hakim wa Hanif Muslih bin Abdurrahman al-Maraqy, telah melegenda, dulu, kini, dan nanti.
Reputasi ilmu dan adab Mbah Muslih tiada debat. Tak banyak kiai dan mursyid thariqah yang produktif, istiqomah, dan konsisten berkarya, Mbah Muslih pengecualian. Ajaran, tausiyah, fatwa, dan wejangan Mbah Muslih tertransmisi melalui kitab-kitab beliau. Selain yang di atas, ada juga kitab; al-futuhat al-rabbaniyat, inarah al-dzalam, hidayah al-wildan, inarah al-daijur wa al-duja, nasr al-fajr fi al-tawas bi-ahli badr, dan seterusnya. Kitab persembahan cinta Mbah Muslih untuk Umi Dah terkasih, yaitu Yawaqitu al-Asani fi Manaqib al-Syech Abd al-Qadir al-Jaelani. Kitab manaqib versi lain, edisi spesial buat sang pujaan hati Mbah Muslih. Berisi untaian-untaian indah, kisah positif dan inspiratif Syeih Abdul Qadir al-Jailani.
Syair “Mali Wala Ahmadu Allaha” yang populer di kalangan santri lahir di masa ini. “Mali Wala” merupakan senandung rindu nan puitis Mbah Muslih. Rindu bercengkaram dengan Ilahi, murid, keluarga, tetangga, dan bangsa. Pujian ilahi, bait cinta sang Rasul, nasionalisme, gairah berburu ilmu, kepedulian sosial, dan kecintaan keluarga. Syair Mali Wala, secara spesifik sebagai usaha spiritual Mbah Muslih menuju Makkah. Beliau ingin membuktikan cinta Allah dan Rasul, melalui kunjungan ke Makkah, ziarah Nabi, dan tentu ibadah haji dan umrah.
Mbah Muslih piawai dalam bersyair. Karya-karyanya mayoritas berbentuk nadlam. Diksi-nya menumbuhkan keyakinan, menggerakkan jiwa, dan mengayunkan langkah. Ya rabby sahhil thariqy fi ziyaaratihi. Min qabli an ta’tariiny syddatul harami. Duhai Tuhanku, mudahkan jalanku untuk menziarahi Nabi, sebelum datang lanjut usia menghampiriku. Ya rabby hajji’tamir fi al-‘aami ahly ma’iy. Ya rabby dujja al-rijqa ka al-diyami. Wahai Penguasaku, haji dan umrahkan aku di tahun ini bersama keluargaku. Tuhanku, mohon beri kelancaran rizki hamba seperti air yang mengalir deras. Kalimat syair yang ”ringkas, sarat makna, dan transenden” membuktikan Mbah Muslim mendaya-gunakan kata-kata dan bahasa untuk mengetuk pintu-pintu langit dan sekaligus sebagai energi penggerak. Seperti disebutkan oleh Martin Heidegger; Language is the house of being, Mbah Muslih adalah mursyid ideologis, menggunakan kata-kata bukan sekedar untuk menjelaskan kehidupan, seperti para antropolog, melainkan untuk merubah garis-garis takdir kehidupan. Melalui syair di atas, ”ibdah haji dan umrah” bukan sesuai yang ditunggu, melainkan dijemput, diperjuangkan, dan disiasati. Persis seperti mencari jodoh, ibadah haji adalah medan perjuangan. Butuh senjata spiritual, pikiran, energi, dan finansial.
Waktu pun tiba, dan takdir Allah menjadi penentu. Tahun 1981 M, Mbah Muslih bersama keluarga besar, sejumlah 27 orang menunju ke Haramain. Ibadah umrah dan haji. Ketika di Madinah Mbah Muslih jatuh sakit, dibawa ke Jeddah untuk berobat. “Terjawab sudah misteri ingin mukim di Makkah.” Atas reputasi, ilmu, jaringan guru dan santri, tentu berkah kekuatan diplomasi Duta Besar RI dan ijin pihak otoritas Arab Saudi, Mbah Muslih dimakamkan di Jannatul Ma’la. Ma’la menjadi impian banyak ulama, dan hanya garis takdir Allah yang berbeda. Mbak Muslih, Syaech al-Mursyidin, sang penggerak sejati, kini memetik buah ”samratul qulub” di perkebunan Ma’la. Wassalam.