Islam di awal abad ke-20 menyiratkan sebuah nama yang terang benderang. Keberadaan Islam memantik sebuah perkumpulan bagi bangsa muslim untuk dapat memperkuat dan menyejahterakan kelompok mereka agar hengkang dari ketertindasan akan kolonialisme yang dzalim. Kota Surakarta, jadi panggung pergulatan. Bahwasannya kota itu telah disentuh oleh peradaban yang maju dibandingkan dengan daerah-daerah lain.
Beberapa bangunan menyembul meramaikan kota. Mulai dari perkantoran, pabrik-pabrik, pusat transportasi dan perdagangan, mewarnai gilang gemilang kota Surakarta. Laweyan sebagai pusat perdagangan, beberapa kali berkontribusi memberikan warna bagi gilang-gemilang kota.
Batik yang jadi komoditas komparatif mengundang banyak konsumen dari beberapa negeri untuk mengunjungi daerah tersebut. Kapal-kapal yang berlayar dari bengawan solo menuju kali pepe, kapal-kapal kecil mendayung untuk mengunjungi laweyan guna membawa batik sebanyak-banyaknya untuk menjemput nilai lebih.
Pelik-pelik perdagangan alhasil tersentuh oleh runyamnya situasi politik yang sedang terjadi di kota Surakarta. Ky. H. Samanhoedi acap kali kita kenal sebagai seorang saudagar kaya, dari pelupuk matanya yang nanar, ia menyaksikan bagaimana kesejahteraan pedagang batik di laweyan terus saja menyusut, tertindas oleh kolonialisme yang picik dan non probumi yang semakin menancapkan pengaruhnya di bumi Surakarta.
Ada tokoh yang kadang luput dari pembacaan kita mengenai pengaruhnya terhadap syiar islam di Kota Surakarta. Adalah Mochtar Boechori, pria kelahiran, Kauman, Kota Surakarta (1899), dan sempat mengenyam pendidikan pondok pesantren di Tremas, Pacitan, Jawa Timur. Pria itu memiliki prinsip kuat, untuk syiar islam tumbuh subur di Kota Surakarta.
Dalam buku Takashi Siraishi berjudul Zaman Bergerak (Marjin Kiri, 2023), nama Mochtar Boechari disebut sebanyak tujuh kali, untuk menjabarkan pengaruhnya dalam silang sengkarut pergerkan pada medio awal abad ke-20. Buku itu mendedah dengan jeli, beberapa tokoh yang berkontribusi di tanah Surakarta, mengantarkan kita ke dalam ekstase imajinasi masa lalu, yang riuh dengan ide juga perjuangan.
Muhammadiyah dan Serikat Islam acap kali kita ketahui sebagai gerakan islam di Indonesia yang pertama, ihwal itu tersirat dengan kentara dalam polemik radikalisme rakyat jawa 1912-1926. Tokoh-tokoh seperti Hadji Mohammad Misbach, Fachroddin, K.H Ahamd Dahlan, H. Samanhoedi, dan Tjokroaminoto, berpikir, bertindak dan bergerak berseteru sesuai dengan ide pikirnya masing-masing.
H.M. Misbach yang kita kenal sebagai oratur dan pendakwah ulung, juga menuliskan pelbagai gagasan-gagasan revolusionernya itu (Penerbit Octopus, 2016), bersitegang dengan kelompok Boechori. Perseteruan terjadi menyoal penggunaan ide-ide Islam dalam memperjuangkan masyarakat tertindas di Kota Surakarta,
Sebelum itu, H.M Misbach, Sjarief, Ahmad Dasuki, dkk, membentuk sentrum kelompok kritis dari Islam untuk media dakwah dan gerakan. Adalah SATV (Sidiq, Amanah, Tabligh dan Vatonah), yang dibentuk medio 1918. SATV memiliki tujuan “memperkuat kebenaran Islam” dan “memajukan Islam”.
Mochtar Boechori ikut serta dalam SATV pada 1918, karena landasan konkrit mengenai perjuangan islam waktu itu untuk bertahan dari terpaan bangsa kapitalis yang picik. Mochtar Boechori banyak menulis di beberapa koran cetak, termasuk ia menjadi redaktur dalam Medan Moeslimin gubahan Misbach.
Pertengahan medio 1918, kaum kolonial berselingkuh pemodal untuk meredam segala bentuk praktik-praktik yang mengusik hidupnya. Kocar-kacir, dan runyam nampak dengan kentara beberapa lembaga dan tokoh-tokoh kunci organisasi dibui. Mochtar Boechori tetap tenang, dengan tetap melaksanakan dakwahnya.
Buku gubahan Moechtar Boechari berjudul Moeslimah (Penerbit Lumut, 2023), sebuah memoar dirinya yang sedang melaksanakan dakwah di rumah saudagar kaya bernama Ibrahim. Buku itu menjelaskan pertemuannya dengan Siti Moeslimah anak dari saudagar Ibrahim, sehingga timbul pelbagai perbincangan yang tertulis secara rapi.
Buku itu awal mula, diterbitkan secara berkala di Majalah Bintang Islam (1923). Tersirat dengan kentara, sembari Boechari malantunkan ayat suci Al-Qur’an untuk menyigi makna kebaikan di dalamnya, ia juga ikut serta dalam organisasi pergerakan. Tepat hari sabtu, ketika ia sedang berdialog dengan Siti Moeslimah, Bochari nyeletuk memperkenalkan Moehammadiyah kepada Siti Moeslimah.
K.H. Ahmad Dahlan pernah berpartisipasi dalam SI Yogyakarta. Tak dinyana, pada waktu itu, beliau menjadi pegawai keagamaan Sultan, tepatnya di Pakualaman. Seperti ketiban bekjan, irisan sama menyoal keislaman, alhasil ia rengkuh tampuk kepemimpinan SI di Yogyakarta, yang dimana berimbas positif bagi perkembangan basis masa Moehammadiyah.
Kembali ke Mochtar Boechari. Dalam buku terbitan Penerbit Lumut, 2023, Mochtar Boechari nampak sebagai seorang yang brilian. Ia kaya akan wawasan mulai dari barat, timut, utara sampai selatan, mampu ia jabarkan. Mafhum, Siti Moeslimah anak saudagar Ibrahim yang tinggal di daerah Sriwedari itu, juga seorang perempuan yang cerdas. Ia mampu menggiring ke satu topik ke yang lainnya, dengan begitu kritis.
Menurut Shiraishi (1950), Mochtar Boechari menjalankan aktivitas tablighnya di kalangan anggota muda abdi dalem kesunanan dan di kalangan siswa sekolah pribumi Belanda. Mafhum, pertemuannya dengan saudagar Ibrahim, ialah sebuah buktinya.
Cek-cok H.M Misbach dengan K.H. Ahmad Dahlan, kala Misbach menuliskan dengan tajam, di Medan Moeslimin, (10 Oktober 1922), sangat begitu kental syarat persinggungan antara Islam ala Misbach dengan K.H Ahmad Dahlan. Mochtar Boechory alhasil berdiri di sisi K.H. Ahmad Dahlan untuk menyongsong “islam berkemajuan”. Pergolakan itu pun terus dikenang. Mereka semua ialah pendobrak peradaban, yang memberi kita pelajaran, apa arti komitmen, konsistensi, menyoal agama, ilmu dan pengetahuan. Sekian.
Sumber bacaan:
Shiraishi, Takeshi. Zaman Bergerak; Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926. Marjin Kiri, Tangerang Selatan. 2023
Boechary, Mochtar. Moeslimah. Penerbit Lumut; Surakarta. 2023.
Misbach, Mochammad. Hadji Misbach Sang Propagandis. Penerbit kendi dan Octopus. 2022