Sedang Membaca
Lika-Liku Aliran Kepercayaan di Indonesia: Kini Percaya Diri Memeluk Keyakinannya

Penulis Lepas/Pegiat Lingkar Diskusi Ekonomi Sembagi Arutala Surakarta dan Telapaksimak.com

Lika-Liku Aliran Kepercayaan di Indonesia: Kini Percaya Diri Memeluk Keyakinannya

Majelis Luhur Kepercayaan Tuhan Yang Maha Esa Indonesia (MLKI) Surakarta saat menghelat upacara doa untuk republik Agustus silam.

Gerombolan berpakaian adat, dan beberapa menggenakan kemeja berkelir putih memadati di sekeliling patung Slamet Riyadi. Mereka menenteng bendera merah putih sambil menyumat dupa mengelilinginya sekali. Kemudian, lantunan rapalan doa menyeruak di sela-sela kirab. Sebuah karikatur berbentuk seperti wayang, tersirat aksara jawa, pada dadi sugih.

Sebuah ritus yang dilakukan oleh Majelis Luhur Kepercayaan Tuhan Yang Maha Esa Indonesia (MLKI) Surakarta saat menghelat upacara doa untuk republik Agustus silam. Di sela-sela rapalan doa yang menyeruak tersirat rasa tulus, mendoakan keberkahan bagi putra-putri republik. Kurang lebih ratusan penganut agama kepercayaan dengan menenteng bendera merah putih, menyiratkan eksistensinya di tengah republik yang meneguhkan ke-Tuhanan.

Dalam helat acara itu, beberapa jajaran Forkopimda Surakarta turut hadir mengikuti prosesi sakral para pemeluk agama kepercayaan. Sebuah prosesi di mana sebuah kendi berjumlah tujuh menjadi simbol. Kendi yang berisi air dari tujuh mata air itu menyiratkan kepercayaan akan doa. “Masyarakat Surakarta harus haus. Haus akan rasa kemanusian bagi Republik Indonesia.” Tukas Gress Raja ketua MLKI presidium pusat yang tinggal di Kota Surakarta, memimpin acara tersebut.

Di akhir acara ritual, kurang lebih tujuh helai padi terikat kuat. Di sematkan di atas pintu masuk pasar Gede. Di tengah-tengah aktivitas pasar yang masih berjalan. Kelompok Penghayat membagikan air yang berada di dalam kendi. Seisi pasar, menancapkan pandangannya ke arah ritual itu. Beberapa perempuan yang menggenakan batik lurik berkelir coklat, lengkap dengan pakaian kebaya berwarna hitam, menyuguhkan tarian, disaat prosesi penyematan seikat padi. “Padi sebagai representasi kemakmuran masyarakat Surakarta. Kami mempercayai dengan ritus ini, harapan baik bakal muncul untuk warga Surakarta.”

Para pedagang di Pasar Gede turut meramaikan acara itu. Lima buah kendi berisi mata air dari tujuh sumber disambar para pengunjung. Tak hanya air saja, beberapa makanan tradisional seperti lemper, nagasari dan klepon, juga dibagikan oleh para kelompok penghayat untuk dinikmati siapapun yang hadir dalam ritual itu.

Baca juga:  Aksi Biadab! Dua Tewas dan 13 Orang Luka akibat Bom di Gereja Surabaya

Seorang pria memakai blangkon, pakaian gelap, dan memasang wajah sumringah menyambut koresponden Alif.id di Surakarta. Adalah Gress Raja ketua presidium pusat Majelis Luhur Kepecayaan Tuhan Yang Maha Esa Indonesia (MLKI) yang tinggal di Surakarta. Pria itu sederhana, sering kali ia memasang senyum di saat perbincangan. Republik kita punya pelbagai corak agama. Syahdan, gagasan mengenai moderasi beragama atau mengenali pelbagai etnis yang tersebar di Indonesia sebagai bekal awal, bahwa negeri ini tercipta dari keberagaman.

Meski, banyak pasang mata merasa iri, ketika negeri yang memiliki heterogenitas dalam beragama maupun berbudaya itu dapat hidup rukun. Namun, pelik-pelik riskan terjadi bila kita tak dapat saling mengenali. Moderasi beragama sebagai jalan merawat keragaman di Indonesia. Kendati demikian mengenali beberapa budaya, agama dan kepercayaan dapat memperkuat hubungan manusia dengan manusia yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda.

Gress Raja saat ditemui di kediamannya yang singgah di Banjarsari, Kota Surakarta, membeberkan lika-liku penganut kepercayaan di Indonesia. Kelompok kepercayaan sebelum Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan pada 2017, dan kemudian dapat menyematkan kepercayaan dalam agama pada 2019, sering kali mengalami diskriminasi.

“Sempat pada waktu itu, salah satu dari kami ada yang dipersulit ketika menuliskan keterengan di kolom agama dengan kepercayaan.” Tukas Raja. Gelisah tersirat dalam air mukanya. Beberapa kelompok penghayat yang kadang  dianggap miring, kemudian terpaksa membubuhi keterangan dengan agama lain saat di catatan kependudukan sipil. “Bukankah itu tidak bijak? Kami mempercayai ini kok disuruh nulis itu.” Gress Raja mencoba menggambarkan lika-liku perjuangan kelompok penghayat untuk diakui masyarakat Indonesia.

Grees Raja pria asal Flores, Nusa Tenggara Timur mengaku mempercayai kepercayaan Salika –kepercayaan asli Flores, Nusa Tenggara Timur. Sejak kedatangannya di Surakarta, Gress bertemu dengan kelompok penghayat kepercayaan lainnya. Melalui Pelajar Kawuruh Jiwa (PKJ), di situ Gress membentuk dan akrab dengan kelompok penghayat yang memegang teguh pemikiran Ki Ageng Suryomentaram.

Baca juga:  Covid-19 di Pesantren: RMI NU Mengharap Pesantren Menjalankan Protokol Covid-19

Perkenalannya dengan filsuf jawa mutakhir itu, mengetuk dirinya untuk membuktikannya dalam telaah ilmiah kiwari. Gress menemukan konsep diri yang ditawarkan oleh Ki Ageng Suryo Mentaram itu, dibuktikan oleh Gress. Bahwa setiap diri manusia memliki ‘jiwa sejati’ untuk mencapai ‘kebaikan’ bagi semesta alam. “Uniknya hari ini yang mutakhir dan tersertifikasi harus didasarkan dengan ide barat. Ki Ageng Suryo Mentaram dan beberapa pemikir seperti Ki Ageng Suryomentaram juga mutakhir, ini lo buktinya.”

Gress menyampaikan hasil penelitian saat menjadi mahasiswa Psikologi di salah satu kampus di Surakarta. Melalui metodologi kualitatif dengan sample beberapa siswa di Surakarta, ia menemukan bahwa, manusia adalah memiliki guru sejati di dalam tubuh mereka sendiri. “Terkadang kita malu untuk menimba pengetahuan yang datangnya dari lingkup kita. Seakan-akan pengetahuan yang paling maju adalah ilmu yang dimiliki oleh mereka. Sedangkan dari kita dianggap usang.”

MLKI Surakarta menaungi tiga belas kepercayaan. Adapun tugas dari MLKI sebagai lembaga yang menaungi kelompok penghayat. Struktur kepengursannya pun lengkap dari tingkat pusat sampai tingkat daerah. Beberapa macam kepercayaan seperti; Saptadarma, Merapu, Salika, dsb terhimpun dalam majelis tersebut.

Kelompok penghayat sempat merasakan lika-liku kala memperjuangkan keberadaannya. Gress menceritakan, ketika kelompok kepercayaan/penghayat sebelum gugatannya menang di Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2017, para pemeluk kepercayaan sering dipandang sebelah mata.

Gres mengingat ketika ia mencecap di zaman orde baru. “Dahulu ada mimbar kepercayaan dan kepercayaan bisa masuk KTP.” Tak hanya itu, terkadang naras-narasi miring yang mengarah kepada kekerasan simbolis menyeruak. “Pak Gres nanti kalau meninggal masuknya ke mana?” Gres sambil menggaruk-garuk keningnya heran, ketika ditanyai seorang yang iseng. Kurangnya mengenal atas kepercayaan dan agama bisa jadi salah pengertian. Kendati demikian, perlu ada penguatan secara kolektif, bahwa pemeluk aliran kepercayaan atau penghayat dijamin dalam konstitusi.

Baca juga:  Bengawan Solo: Simbol Peradaban dan Perdamaian Wong Solo

Melalui pasal 29 ayat 2 tersirat dengan jelas bahwa UUD 1945 dan  menjamin kebebasan setiap warga negara Indonesia untuk memleuk dan beribadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing. Kemudian usaha keras dari kelompok kepercayaan yang berjuang untuk dapat menyematkan kepercayaan di kolom ‘agama’, alhasil dapat diterima.

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 97. PUU-XIV/2016, menyampaikan bahwa aliran kepercayaan punya kedudukan hukum yang sama dengan pemeluk enam agama di Indonesia. Kendati demikian, para penganut kepercayaan dapat menyiratkan ‘aliran kepercayaan’ ke dalam baris agama, sejak undang-undang itu ditetapkan.

Meski aliran kepercayaan sudah diatur di dalam konstitusi, namun hal itu kurang cukup. Perlu ada sinergitas antara kelompok satu dengan lainnya untuk menyokongnya. “Walaupun aliran kepercayaan bisa dicantumkan dalam KTP, namun bila mau eksis saja masih takut lantaran perundungan misalnya, maka pikir saya belum cukup. Kelompok agama dan kepercayaan lain, bahkan masyarakat juga harus mendukungnya.” Tukas Dimas Suro Aji selaku koordinator Gudurian Solo.

Mafhum pelaksanaan kirab mahardika oleh kelompok kepercayaan pada Agustus silam baru dilaksanakan pertama kali. Kendati demikian, perlu kiranya, menyuluh pesan-pesan yang sejuk kepada masyarakat agar masyarakat juga membuka pintu lebar, agar saudara/i dari kelompok kepercayaan dapat eksis dan percaya diri dalam memeluk kepercayaan dan agamanya.

Artikel ini terbit atas kerjasama alif.id dengan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) Kemenag dan LTN PBNU.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top