Tafsir tentang sistem politik Islam saat ini begitu beragam. Ada yang menganggap bahwa sistem politik Islam adalah demokrasi, ada juga yang mengatakan bahwa sistem politik Islam adalah (sosialis) komunis. Keduanya adalah persepsi, dan tidak bisa benar-benar dibetulkan.
Di negara kita, sistem politik yang dipakai adalah demokrasi. Bukan apa-apa, dengan penduduk yang berjumlah ratusan juta dan agama yang bermacam-macam, diperlukan satu sistem yang bisa melindungi semua orang-orang di dalamnya. Sejauh ini, demokrasi adalah pilihan yang tepat.
Meskipun demikian, masih ada kelompok-kelompok yang melawan demokrasi, dan ingin menggantinya dengan sistem politik yang lebih Islami. Mereka menolak adanya hukum yang diciptakan oleh manusia. Alasannya, hanya hukum Tuhanlah yang sempurna dan mengesampingkan hukum Tuhan sebagai dasar sebuah negara adalah dosa besar. Mereka mempertentangkan demokrasi dan sistem politik yang mereka idam-idamkan, yaitu Islam.
Alasan yang demikian bisa saja kita terima, apalagi mayoritas penduduk kita adalah beragama Islam. Namun, apakah betul kalau demokrasi dan politik Islam itu bertolak belakang? Apakah menggunakan hukum Islam adalah solusi yang tepat? Atau jangan-jangan itu hanya bentuk kejumawaan kelompok mayoritas saja?
Prinsip utama politik Islam adalah mengakui dan mempercayai keesaan, kekuatan, dan kekuasaan Allah. Sistem politik Islam mengacu bahwa Tuhan di atas segalanya. Alih-alih kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat, sistem Islam menyatakan bahwa kedaulatan tertinggi berada di tangan Tuhan. Sistem yang menyandarkan kepada hukum Tuhan dikenal dengan teokrasi.
Namun, tidak serta merta teokrasi Islam dan teokrasi menurut Barat bisa disama artikan. Keduanya berbeda. Islam tetap membuka kemungkinan untuk menyelesaikan hukum secara musyawarah
Kalaupun terpaksa harus memiripkan sistem Islam dengan sosialis, itupun tidak memiliki dasar yang kuat. Islam melindungi hak-hak individu (terkait kepemilikan), akan tetapi juga membenaninya dengan kewajiban-kewajiban lain, seperti membayar zakat dan sedekah. Hal itu dimaksudkan supaya orang Islam tetap acuh terhadap individu lain di sekitar dirinya.
Selanjutnya, ada asumsi bahwa demokrasi yang sekarang merupakan penyempurnaan dari sistem “syura” dalam Islam. Banyak yang bilang kalau masa Nabi, secara tidak langsung telah menerapkan sistem demokrasi, karena kerap bermusyawarah dengan para sahabatnya. Begitu pun dengan pengangkatan khalifah setelah Nabi. Abu Bakr diangkat menjadi khalifah di Tsaqifah Bani Saidah pun berdasarkan musyawarah.
Lantas, mungkinkah peristiwa itu bisa dipakai sebagai dasar argumen bahwa sistem politik Islam sama dengan demokrasi?
Demokrasi lahir di Barat, dan erat kaitannya dengan kebebasan individu. Bahkan sekarang sistem demokrasi sudah kerap disandingkan dengan konsep liberal. Demokrasi sebagai sebuah sistem politik di Barat sudah bercampur baur dengan konsep kebebasan.
Berbeda dengan Islam, Islam tidak sepenuhnya memberikan kebebasan terhadap manusia. Walaupun manusia sejatinya bebas bertindak, tapi Islam masih memberikan batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar. Batasan tersebut bertujuan untuk memberikan keseimbangan supaya kebebasan yang dimiliki oleh manusia tidak menjerumus ke kebebasan yang kebablasan.
Apabila ditarik ke tujuan adanya sebuah negara, negara bertujuan untuk melindungi seluruh warganya dari serangan bangsa asing atau bangsa sendiri. Negara hadir sebagai pelindung sekaligus penengah di kehidupan masyarakat. Islam pun demikian, yang menghendaki adanya keadilan bagi seluruh umat manusia, tidak membeda-bedakan antara satu manusia dengan manusia lain. Islam memberikan gelar kepada manusia sebagai khalifah.
Acuan kedaulatan di tangan rakyat yang dipegang oleh demokrasi Barat berbeda dengan istilah yang Islam pakai dalam konteks sistem politik ini. Bagi umat beragama, kedaulatan tetap berada di tangan Tuhan, tapi di saat yang sama kedudukan manusia sebagai khalifah di muka bumi juga harus ditegakkan.
Islam tidak menggunakan istilah kedaulatan, akan tetapi kekhalifahan. Tuhan tetap menjadi penguasa absolut, dan manusia memiliki tanggung jawab sebagai khalifah. Maka dari itu konsep inilah yang bisa dipakai untuk menjelaskan perbedaan antara sistem politik Islam dan demokrasi Barat.
Cukup jelas perbedaan antara demokrasi Barat dan sistem politik Islam. Meskipun sistem politik yang dikenalkan Islam (bagi sebagian orang) identik dengan sistem demokrasi saat ini, tapi keduanya tetap tidak bisa disamakan. Demokrasi bukan lahir dari Islam.
Abul A’la Maududi mengistilahkan sistem politik Islam dengan sebutan “Teo-Demokrasi”. Yaitu gabungan antara demokrasi dan teokrasi. Ini bisa jadi adalah jalan tengah untuk menjembatani antara sistem politik Islam yang sudah sukar untuk ditegakkan di masa sekarang, dengan sistem demokrasi yang sedang banyak dipakai oleh beberapa negara saat ini.
Namun, apakah itu memuaskan kelompok pembela sistem Islam? Kalau harapannya adalah sistem khilafah seperti imperium-imperium di masa lampau, itu pun tidak akan bisa dipakai sekarang. Tidak ada orang yang benar-benar bisa menjadi raja (dengan mengaku sebagai wakil Tuhan) saat ini. Bagaimana kita akan mempercayakan otoritas sepenuhnya kepada manusia yang juga fana itu? Apalagi masyarakat biasa tidak memiliki otoritas untuk ikut campur.
Tidak ada yang benar-benar bisa memuaskan semua pihak.
Meskipun demikian, substansi dari demokrasi bisa dipakai dalam sebuah wilayah yang membawahi masyarakat mayoritas Islam. Itu bisa menjadi alternatif bagi negara untuk tidak melupakan orang-orang yang tidak beragama Islam. Mereka perlu hukum supaya bisa tinggal dengan nyaman, tanpa dioyak-oyak oleh kelompok mayoritas.