Sedang Membaca
Kapan Kita Harus Berhenti Berdo’a?
Minanul Fuad
Penulis Kolom

Santri, alumni PP.Mamba’ul Ma’arif Denanyar Jombang, IG: @minanulfuad Twitter: @minanulf.

Kapan Kita Harus Berhenti Berdo’a?

20201101041628gus Baha Dan Santri Doa

Setiap muslim meyakini bahwa do’a memiliki kekuatan untuk mengubah nasib dan takdir. Dalam berbagai literatur klasik, banyak diceritakan bagaimana kehebatan do’a mampu menampilkan kejadian-kejadian di luar nalar.

Sebuah hadis misalnya, bercerita tentang tiga orang yang sedang melakukan perjalanan. Saat merasa letih mereka memutuskan untuk singgah dalam sebuah gua yang mereka temui. Mereka masuk dan merebahkan tubuh. Selang beberapa saat hal yang tidak terduga terjadi. Sebuah batu yang begitu besar menggelinding dari atas gua dan berhenti tepat menutup pintu gua. Mereka-pun terjebak dalam di dalam gua itu. Mereka mencoba untuk mendorong batu yang ukuranya berpuluh-puluh kali lipat dibanding tubuh mereka untuk keluar. Tentu saja batu itu tak bergeming sama sekali.

Namun, salah satu dari mereka tak hilang harapan. Tersadar akan kekuatan transendental ilahiah, ia mulai memanjatkan do’a dengan penuh harapan. Entah apa yang terjadi, pelan-pelan batu bergeser dengan sendirinya. Cahaya mulai masuk melalui celah yang terbuka akibat pergeseran batu. Namun sayang celah yang terbuka masih begitu kecil, belum mengizinkan mereka keluar dari gua. Melihatnya, dua teman lain akhirnya ikut memanjatkan do’a. Batu itu kemudian bergeser lagi dan lagi. Setelah semua selesai berdo’a akhirnya terbukalah celah yang lebar untuk jalan mereka keluar.

Begitulah kekuatan doa. Ia adalah pedang bagi orang mukmin yang dapat menembus perisai takdir kehidupan. Dalam penjelasan hadis “Do’a merupakan inti dari ibadah” [H.R.Tirmidzi] . Shalat-pun – yang notabene adalah ibadah yang menjadi salah satu rukun penopang agama seseorang – memiliki arti bahasa do’a. Bahkan, dalam hadis dijelaskan Allah akan murka kepada orang-orang yang enggan berdo’a. Dikatakan: “Sesungguhnya (jika ada) orang yang enggan berdo’a kepada Allah, maka Allah akan murka kepadanya”.  Begitu pentingnya do’a dalam menjalin hubungan kita dengan Allah. Seolah, seluruh ajaran agama yang berkaitan dengan ibadah ke-tauhid-an memiliki satu inti, yaitu do’a.

Baca juga:  Hikmah: Memahami Syariat dan Hakikat

Dalam cerita-cerita para nabi, yang masyhur sebagai nabi yang paling banyak berdo’a adalah nabi Ibrohim.  Tapi, pernahkan anda mendengar kisah Ibrahim As. saat memilih untuk tidak berdo’a? Ya. Kisah itu dituliskan dalam kitab tafsir at-thabari. Disampaikan bahwasanya seketika saat nabi Ibrahim dilempar dalam kobaran api, datanglah Jibril kepadanya dan berkata;

“Apa engkau butuh bantuan?”
“Jika kepadamu, tentu tidak”
“Maka mintalah kepada Tuhanmu!”
“Cukuplah bagiku untuk tidak meminta kepada Tuhanku. Sungguh Tuhanku Maha Mengetahui tentang keadaanku”.

Ternyata dalam keadaan mendesak, Nabi Ibrahim As. -seorang nabi yang diketahui paling banyak berdo’a- justru memilih untuk tidak berdoa kepada Allah. Wal-hasil, Adakah saat-saat dimana diam tidak berdo’a itu lebih baik dibanding berdo’a? Berikut jawabannya.

Pertama, Nabi pernah bersabda: “Sesungguhnya berdo’a merupakan ibadah” [H.R. Ahmad]. Dari hadits tersebut sebagian ulama mengambil kesimpulan; berdo’a lebih baik dibanding diam tidak berdo’a. Alasanya , apabila berdo’a merupakan ibadah, tentu melakukanya lebih baik dari pada meninggalkannya. Selain itu, do’a merupakan hak ketuhanan. Dalam keadaan berdo’a seseorang akan menampakkan perwujudan diri sebagai seorang hamba kepada Tuhannya. Bahkan seorang sufi bernama Abu Khazim Al-A’raj -yang begitu gigih berpegang pada pandangan ini- mengatakan: “Sungguh! Seandainya aku tidak ditakdirkan untuk berdo’a, maka hal itu akan membuatku sedih melebihi kesedihanku atas do’a-do’aku yang tidak dikabulkan”.

Baca juga:  Inilah Bekal Imam Ghazali saat Uzlah dan Menulis Kitab

Kedua, seorang sufi berjuluk Al-Wasiti mengatakan; “Rela terhadap takdir yang telah digariskan Allah terhadapmu jauh lebih utama daripada engkau melawan ketetapan waktu”. Terkadang dalam berdo’a, keangkuhan muncul dalam diri seorang hamba atas takdir yang telah ditetapkan Allah terhadapnya. Sehingga do’a yang seharusnya merupakan wujud penghambaan kemudian menjelma menjadi penentangan terhadap takdir Tuhan. Sehingga menurut Al-Wasiti diam dan rela dengan takdir yang telah digariskan lebih utama dibandingkan berdo’a.

Kedua pandangan tersebut kemudian dipadukan dengan bahasa yang indah oleh Imam Abil Qosim Abdil Karim Bin Hawazin Al-Qusyairy dalam karyanya yang monumental, Risalatul-Qusyairiyyah. Berikut redaksinya:

إِنَّ الْأَوْقَاتَ مُخْتَلِفَةٌ، فَفِيْ بَعْضِ الْأَحْوَالِ الدُّعَاءُ أَفْضَلُ مِنَ السُّكُوْتِ، وَهُوَ الْأَدَبُ، وَفِيْ بَعْضِ الْأَحْوَالِ السُّكُوْتُ أَفْضَلُ مِنَ الدُّعَاءِ، وَهُوَ الْأَدَبُ. وَإِنَّمَا يُعْرَفُ ذَلِكَ فِي الْوَقْتِ، لِأَنَّ عِلْمَ الْوَقْتِ إِنَّمَا يَحْصُلُ فِي الْوَقْتِ، فَإِذَا وَجَدَ بِقَلْبِهِ إِشَارَةً إِلَى الدُّعَاءِ فَالدُّعَاءُ لَهُ أَوْلَى، وَإِذَا وَجَدَ إِشَارَةً إِلَى السُّكُوْتِ فَالسُّكُوْتُ لَهُ أَوْلَى

Artinya: “Waktu memiliki kondisi yang bermacam, dalam suatu kondisi berdo’a lebih baik dari pada diam. Hal tersebut merupakan etika penghambaan. Dalam kondisi yang lain, diam lebih baik daripada berdo’a. Hal ini juga merupakan etika penghambaan. Setiap kondisi dapat diketahui seketika itu pula. Sebab mengetehaui kondisi hati hanya mungkin dilakukan saat kondisi itu ada pada seorang hamba. Sehingga -setiap waktu- ketika seorang hamba mendapatkan isyarat untuk berdo’a, maka berdo’a merupakan hal yang lebih baik baginya. Ketika ia mendapatkan isyarat untuk diam, maka diam merupakan hal yang lebih baik baginya”.

Beliau juga menambahkan penjelasan untuk mempermudah maksud kalimat diatas, beliau mengatakan “Jika dihatimu terbersit hak Tuhan sebagai tujuan berdo’a, maka berdo’alah! Jika dihatimu terdapat kepentingan dirimu sendiri dalam berdo’a, maka diamlah dan jangan berdo’a karena diam pada saat itu menjadi hal yang terbaik bagimu”.

Baca juga:  Merayakan Keajaiban di Sekitar Kita

*) Rujukan :Dari penjelasan Al-Qusyairy ini, kita mengerti alasan Nabi Ibrahim memilih berdiam tak berdo’a pada saat-saat genting. Namun hal ini tak menafikan bahwasanya berdo’a merupakan wujud penghambaan paling murni seorang hamba kepada Tuhannya. Dengan berdo’a seorang hamba telah mengukuhkan ketidakmampuan diri serta kebutuhanya terhadap Tuhan. Dengan berdoa pula, ia menetapkan bahwa kekuasaan mutlak hanya dimiliki Tuhan. Dengan begitu, berdo’a merupakan implementasi kalimat tauhid. Namun perlu diperhatikan bahwasanya berdo’a pada suasana hati yang tidak tepat dapat membawa seorang hamba menuju perasaan yang salah kepada Tuhannya. Wallahu a’lam bisshowab.

  1. Risalatul-Qusyariyyah,
  2. Tafsir Thabari
  3. Riyadlus Sholihin
Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
2
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
7
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top