Melihat tindak tanduk para pemangku kuasa di Indonesia akhir-akhir ini semacam ter gambarkan dalam pandangan Niccolo Machiavelli di bukunya yang amat masyhur, yaitu Il Principe. Sebagaimana dalam buku itu Machiavelli menjelaskan bermacam-macam cara memimpin suatu daerah, rakyat, dan negara. Tentunya dalam ajarannya tertuju kepada siapa saja yang ingin menjadi pemimpin tangguh dan tak tergoyahkan ia harus berlaku menindas, tipu muslihat, kekejian, membunuh, ataupun perbuatan buruk lainnya yang bisa mempertahankan suatu kekuasaan.
Inilah risalah penting untuk kita mengetahui sekaligus juga membuka kunci atas fenomena-fenomena para pemangku kuasa di Indonesia dewasa ini dalam memimpin. Hal ini sendiri sebagai upaya kita generasi muda ataupun rakyat Indonesia secara universal agar tidak terjebak oleh kebijakan-kebijakan lalim yang dilontarkan para pemangku kuasa. Karena itu, perlu kiranya saya menyajikan gagasan Machiavelli lalu mengelaborasikan dengan perilaku pemangku kuasa dalam memimpin.
Sebelum melangka ke pembahasan saya memperkenalkan terlebih dahulu sang bapak diktator dunia alias Niccolo Machiavelli. Machiavelli lahir di Florence, Italia, tahun 1469. Pada saat itu, Italia masih dalam bentuk negara-negara kecil. Juga saat itu, Florence masih dipimpin oleh Lorenzo the Magnificent, keluarga terkenal dari Medici. Tepat pada tahun 1492 Lorenzo meninggal maka beberapa tahun berjalan keluarga Medici diusir dan Florence berubah menjadi pemerintahan Republik. Kemudian, seiring waktu tahun 1512 keluarga Medici kembali, dan pemerintah republik digulingkan serta Machiavelli ditangkap atas tuduhan berkomplot.
Akan tetapi, Machiavelli tidak jadi ditahan lantaran mampu meyakinkan kepada keluarga Medici bahwa ia tidak berkomplot bersama pemerintah republik. Maka ia hanya diasingkan, pensiun, dan menulis buku di perkebunan kecil San Casciano. Tepat pada tahun 1513 ia melahirkan buku IL Principe dan diberikan kepada keluarga Medici sebagai bentuk hadiah serta kesetiaan.
Berkat karyanya itu, banyak para pemimpin dunia membaca dan mempraktikkan ajaran-ajaran yang terkandung di dalam buku IL Principe. Sebut saja seperti, Napoleon, Hitler, Lenin, serta Stalin. Maka tak heran manakala Michael H. Hart menyebutkan buku itu sebagai pedoman para diktator dan memasukkan Niccolo Machiavelli dalam bukunya deretan 100 toko paling berpengaruh di dunia.
Pemerintah Indonesia Dalam Gagasan Machiavelli
Gagasan Machiavelli belakangan ini sering digunakan oleh pemangku kuasa Indonesia. Musababnya, banyak hal yang merepresentasikan bahwa pemangku kuasa sedang menerapkan ajaran Machiavelli. Meminjam gagasan Machiavelli di bukunya:
Membunuh sahabat seperjuangan, mengkhianati teman-teman sendiri, tidak memiliki iman, tidak memiliki rasa kasihan dan tidak memiliki agama, ke semua hal ini tidak dapat digolongkan tindakan yang bermoral, namun metode-metode ini dapat memberikan kekuatan, namun bukan kemuliaan ( Machiavelli, 1513).
Merujuk pada gagasan Machiavelli serta elaborasi terhadap perilaku pemangku kuasa. Menurut pandangan saya, pemangku kuasa sudah berlaku sebagaimana dalam gagasan di atas. Membunuh rakyat sendiri, mengkhianati rakyat, dan tidak memiliki belas kasih. Sederhananya, hal itu dapat dilihat kebijakan dan perilaku pemangku kuasa dewasa ini dalam memimpin.
Contoh kasus pemangku kuasa membunuh rakyat, yaitu korupsi uang bantuan sosial ataupun kasus korupsi lainnya di masa Pandemik, menggusur tempat tinggal rakyat cilik, merusak alam dengan dalil pembangunan sehingga mengakibatkan kebanjiran, tanah longsor, dan peristiwa alam lainnya. Kemudian, dengan peristiwa alam itu mengakibatkan rakyat meninggal. Tentunya masih banyak kasus lainnya yang tidak dapat disebutkan secara utuh bahwa pemangku kuasa sebagai pembunuh yang bersembunyi di balik ketek kekuasaan.
Sedangkan pada kasus mengkhianati rakyat dan tidak memiliki belas kasih. Saya mendapatkan contoh kasus, seperti pemangku kuasa menjual atau meregulasi jalanya investor asing atas alam Indonesia. Peristiwa semacam ini kita dapat saksikan di banyak film dokumenter seperti di situs CCN Indonesia bertajuk, Lara di Hutan Papua; Pembukaan Lahan Demi Sawit, serta karya dari Dhandy Laksono dan kawan-kawan seperti Seksi Killer, Bukan Pesona Indonesia, Kinipan, dan film lainnya. Betapa sangat pengkhianatnya para pemangku kuasa menjual tanah, merusak alam rakyat, dan alam bangsa Indonesia yang seharusnya dapat menjadi ladang rezeki rakyat Indonesia secara umum. Akan tetapi, pada akhirnya hasil kekayaan alam itu mengalir ke perut pengkhianat rakyat dan mengalir ke kantong penjajah Indonesia.
Naasnya juga, hasil kerusakan alam yang dilakukan pengkhianat dan penjajah itu justru rakyatlah yang menangungnya. Sebuah potret bangsa yang dipimpin oleh orang-orang pengecut dan pelacur intelektual yang hanya berambisi memenuhi nafsu liar, tetapi melupakan esensi kehidupan: humanisme, mengayomi rakyat, dan menjaga bumi Indonesia dari iblis-iblis bermuka manusia.
Indonesia Dalam Metode Kepemimpinan Machiavelli
Corak pemikiran Machiavelli, diterangkan oleh Pak Fahrudin Faiz melalui Ngaji Filsafat 275: Machiavelli Kepimpinan. Salah satu cirinya pragmatis. Pemikiran pragmatis melalui pisau filsafat merupakan hanya fokus hasil dan tujuan. Dalam konteks pemikiran Machiavelli, ujung dari pemikiran itu adalah menghalalkan segala cara agar tetap bisa meraih ataupun mempertahankan kekuasaan.
Berdasarkan ngaji filsafat tersebut saya memperdalam dan observasi langsung di dalam karyanya IL Principe sekaligus menghubungkan metode yang digunakan para pemangku kuasa di Indonesia. Ya, hasil dari observasi itu saya menemukan kunci penting dari metode kepemimpinan yang diusulkan oleh Machiavelli. Metode itu ialah undang-undang dan kekerasan.
Metode yang undang-undang dijelaskan oleh Machiavelli digunakan oleh manusia. Sedangkan, metode kekerasan digunakan oleh binatang (Metode ini sesuai dengan konteks pada era saat itu). Kedua metode itu muaranya digunakan pangeran maupun pemimpin untuk mempertahankan kekuasaan ataupun ingin menguasai tindak tanduk rakyatnya. Walaupun memang dalam kedua metode itu terdapat ketimpangan dan kezaliman, tetapi tidak menjadi persoalan menurut Machiavelli jika tujuannya untuk mempertahankan kekuasaan.
Kemudian, jika membenturkan kedua metode ini pada pemangku kuasa akhir-akhir ini saya menemukan ada indikator kuat bahwa para pemangku kuasa Indonesia mengimplementasikan kedua metode tersebut. Premisnya dapat dilihat pada kebijakannya di dalam undang-undang (UU) yang banyak timpang dan lalim, seperti UU Omnibus Law, UU-ITE, dan undang-undang lainnya. UU-ITE sebagaimana kita tahu merupakan aturan yang amat timpang, sebab melalui UU itu banyak rakyat dijerat dengan pasal karet dan ruang gerak rakyat untuk mengkritisi ataupun menggugat pemerintah amat kecil, dan seolah-olah ter penjarakan kebebasannya. Padahal kita mengetahui sendiri Indonesia menganut sistem bernegara seperti apa?
Untuk metode kedua, saya menangkap ada pembelokan makna terhadap metode tersebut, jika pada era saat itu binatang digunakan pangeran untuk melawan atau menakuti orang-orang agar tidak merugikan kekuasaan. Maka, metode kedua tersebut berbelok kepada aparat keamanan. Lihat saja pada peristiwa penggusuran, perampasan alam, dan demonstrasi banyak kasus kekerasan yang terjadi kepada rakyat sipil disebabkan oleh aparat keamanan. Tentu kita sendiri mengetahui siapa dalang dibalik menyuruh untuk melakukan kekerasan itu, yes, siapa lagi kalau bukan pemangku kuasa dan tengkulak-tengkulaknya. Selanjutnya, saya kira tidak perlu menyajikan data-data kekerasan aparat keamanan di Indonesia supaya memperkuat argumen saya, teman-teman dapat mengetik langsung di mesin mbah Google terkait kekerasan aparat keamanan kepada rakyat sipil ini. Pastinya nanti akan banyak data yang disajikan oleh mbah Google.
Berdasarkan penjelasan dari awal hingga akhir, saya akan kunci tulisan ini dengan satu ungkapan yang menurut hemat saya sangat inheren dengan kondisi pemangku kuasa di Indonesia. Begini bunyi Pitutur itu sebagaimana mengutip di buku IL Principe:
“Seorang pangeran pada masa ini yang namanya tidak baik untuk disebutkan, tidak melakukan apa pun selain mengumbarkan perdamaian dan iman, namun dia sebenarnya membenci kedua hal tersebut, dan apabila dia mengamati kedua kelompok tersebut, sang pangeran akan kehilangan negara atau kekuasaannya,” ungkap Niccolo Machiavelli di halaman 115