Tertanggal 22 Juni sampai 4 Agustus 2022, saya melakukan kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat. Saya dan seluruh anggota kelompok memilih melaksanakan program ini di salah satu Dusun yang terletak di kaki gunung, tepatnya di Dusun Gempol Desa Ngesrepbalong, Kecamatan Limbangan, Kabupaten Kendal.
Ditemani udara dingin malam hari, kami sowan ke rumah Kepala Dusun. Pak Mustakim, namanya. Atas keramahtamahan sang empunya rumah, kami disuguhi teh yang ditanam secara mandiri oleh warga setempat.
Sembari berbincang terkait program kerja KKN, tokoh yang kerap disapa Pak Takim ini mengatakan bahwa masyarakat Dusun Gempol hidup dengan heterogen bersama berbagai pemeluk agama.
“Di sini ada 1 masjid, 2 mushola, dan 1 gereja,” ujarnya ramah.
Dusun yang hanya terdiri dari 2 RT dan 1 RW ini nampak seperti keluarga besar dari satu leluhur saja. Kehangatan warganya dapat kami rasakan ketika bertegur sapa di jalanan, maupun tak sengaja bersua ketika di pagi hari berangkat menjemput rezeki.
Pun, saat kami bermaksud mengadakan kegiatan pembukaan semi formal KKN di Dusun tersebut, Pak Takim tanpa pandang bulu menyebut beberapa tokoh masyarakat yang berbeda keyakinan dengan dirinya.
“Bu Darni, Pak Sulistyo, Pak Wahyu Utomo.”
Begitu sebutnya satu persatu. Kami dengan senang hati menulis dan mengundang yang bersangkutan agar turut hadir di acara pembukaan nanti.
Terik panas berganti senja dan begitu seterusnya, membuat kami mengenal lebih dekat dengan penduduk Dusun ini. Seperti halnya kemarin, pukul 4 sore kami diundang untuk mengikuti perkumpulan ibu-ibu PKK (Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga) di rumah Bu Parti, salah satu pengurusnya.
Terlihat tidak hanya seorang warga non-muslim di sana. Beberapa bahkan mengenakan identitas agama sebagai simbol kepercayaan yang diikuti. Mereka, tanpa dibedakan agama yang dianut, nampak membaur dengan akrab. Bertegur sapa, bercengkrama, berbincang-bincang membicarakan perihal apapun. Lantas, tertawa bersama ketika dirasa obrolannya cukup menggelitik perut.
Di luar perkumpulan PKK, warga juga bersatu menjalankan kegiatan rutinan lainnya. Satu bulan sekali, warga melakukan gotong royong membersihkan lingkungan tempat tinggal. Terlihat nihil konflik diantara mereka. Justru, yang terlihat solidaritas warga dalam membangun kerukunan serta keamanan bersama.
Menurut hemat penulis, keadaan ini termasuk realisasi dari Surat Al-Hujurat ayat 13, sebagaimana artinya,
“Wahai manusia! Sungguh, kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.”
Telah jelas bahwa firman Allah di atas mengajarkan manusia untuk berlaku damai kepada sesama manusia. Tidak ada perbedaan antara satu manusia dengan lainnya, tak terkecuali perbedaan suku, ras, maupun bangsa. Bagi Allah, hamba terbaik di sisi-Nya ialah makhluk yang paling bertakwa. Bukan standarisasi fisik yang diciptakan manusia, akan tetapi bentuk pengamanan kita terhadap-Nya.
Di samping itu, penulis juga memahami bahwa masyarakat di Dusun Gempol telah menanamkan ukhuwah insaniah (persaudaraan sesama manusia) dan ukhuwah wataniah (persaudaraan sesama warga negara) secara mengakar. Hal ini terlihat dari bagaimana cara mereka hidup bertetangga dengan sesama. Bagaimana mereka membaur di lingkungan heterogen tanpa mengglorifikasi kepercayaan yang dianut.
Tentu, keadaan damai juga tentram ini menghasilkan begitu banyak nilai positif bagi kehidupan. Di era gempuran intoleransi yang marak terjadi di belahan dunia, Dusun Gempol menjadi salah satu bukti bahwa keberagaman tidak menyurutkan sikap saling menghargai. Di tengah banjirnya framing media sosial atas pemberitaan negatif, di dusun ini justru membantah dengan melawan stigmatisasi tidak mampu hidup berdampingan dengan perbedaan keyakinan. Kebebasan beragama benar-benar terwujud di sini. Juga, sikap toleransi yang dijunjung begitu tinggi oleh seluruh lapisan masyarakat.
Penulis mengambil pemaknaan bahwa manfaat tenggang rasa telah dirasakan oleh masyarakat di sini. Menjaga keharmonisan hubungan antar warga, mencegah perpecahan dalam perbedaan perspektif, meningkatkan perdamaian di lingkungan heterogen, serta menyatukan perbedaan tanpa memaksakan kehendak individu.
Beberapa manfaat tadi menjadi poin-poin penting guna mewujudkan hidup damai di tengah keberagaman dan keberagamaan. Masyarakat diajak menjaga kelestarian perdamaian dengan memaknai kitab suci secara mendalam, bukan hanya secara tekstual saja. Akibatnya, masyarakat mampu hidup aman tanpa risau akan konflik pemecahbelah persaudaraan.
Akhir tulisan tapi bukan terakhir, keadaan ini mengingatkan penulis atas pesan Gus Dur, “Jangan memaksakan interpretasi kita kepada orang lain.”