Sedang Membaca
Kenapa Kewajiban Nafkah Ada Pada Laki-laki?
Mahdiya Az Zahra
Penulis Kolom

Mompreneur, founder & teacher tahsinonlinebenome.

Kenapa Kewajiban Nafkah Ada Pada Laki-laki?

Boti2

Seringkali saya mendengar laki-laki berkata bahwa jadi perempuan itu enak. Tinggal nunggu gaji suaminya doang, gak perlu kerja. Cari nafkah dan tanggung jawab itu berat, perempuan enak tinggal duduk manis di rumah. Padahal yang ada di hati perempuan itu beda sekali.

Perempuan itu rasanya seperti menjadi beban suami, menggunakan uang gaji suami seperti menggunakan uang titipin orang. Jadi tak berani dipakai untuk kebutuhan pribadi, jika sudah sangat penting barulah dibeli.

Maka banyak perempuan lebih mendahulukan suaminya atau anaknya, karena semua perempuan berpikir bahwa itu bukan milik mereka. Kebanyakan kebutuhan yang dibeli adalah keperluan bersama, keperluan rumah, dan keperluan keluarga.

Belum lagi merasa jadi beban di depan mertua. Rasanya seperti tidak berdaya dan tidak ada nilainya. Tak heran banyak perempuan ingin kerja dan berpenghasilan sendiri, sebenarnya karena itu merupakan harga dirinya.

Selain itu dia bisa juga menggunakan uang untuk keperluan pribadinya tanpa sungkan. Dia bebas membeli apa pun tanpa berpikir bahwa ini uang orang. Hidup dengan perasaan sungkan itu tidak enak.

Apalagi yang sebelum menikah sudah punya pekerjaan sendiri, setelah menikah memilih bekerja di rumah mengurus anak. Ini sebenarnya beban sekali, setiap ada uang tak merasa berhak untuk menggunakannya.

Baca juga:  Melindungi Perempuan (4): Waspadai Pelecehan Seksual yang Dinormalisasikan

Saya jadi berpikir kenapa kewajiban nafkah ada pada laki-laki? Padahal banyak sekali perempuan bekerja, penghasilannya lebih banyak dari laki-laki, ada yang istrinya bekerja, suaminya di rumah. Ada yang penghasilan istrinya stabil dan suaminya serabutan.

Padahal istri bisa saja memberi nafkah, lalu kenapa istri tak ada kewajiban nafkah? Jawabannya ternyata simpel. Laki-laki tidak punya rahim, konsekuensi memiliki rahim adalah sebagai berikut.

  1. Menstruasi

Banyak perempuan mengalami menstruasi yang menyakitkan, ada yang sampai tak bisa berdiri dan harus bedrest di hari-hari awal menstruasi. Jika perempuan harus menafkahi diri sendiri, maka libur bekerja satu dua hari bisa ditutup dengan uang tabungan. Namun jika menafkahi seluruh keluarga tentu hal ini menjadi masalah bagi keluarga.

  1. Hamil

Perempuan punya rahim yang ketika hamil bisa memiliki berbagai macam masalah. Saya sendiri selama 6 bulan mengalami hiperemesis gravidarum. Rawat inap di rumah sakit sampai dua kali. Tak bisa makan, dada dan perut sakit.  Tak bisa bangun, dan tak bisa kemana-mana. Setiap makan muntah, telat makan muntah, minum air putih pun muntah.

Dalam kondisi fisik yang sangat lemah seperti itu perempuan tentu tak bisa menjadi tulang punggung keluarga. Jangankan bekerja, masih hidup saja sudah bersyukur. Saya dulu bahkan berpikir bahwa saya sudah mau mati saking sakitnya ketika hamil. Tentu setiap orang berbeda, namun aturan harus berlaku bagi orang yang memiliki kondisi terburuk.

  1. Melahirkan
Baca juga:  Umm al-Salathin Khunatsah binti Bakkar al-Magharifi: Ibu Para Sultan Dinasti Alawi

Semua orang tahu proses melahirkan adalah proses mengirimkan titipan Tuhan ke dunia, taruhannya adalah nyawa. Proses melahirkan juga tidak mudah dan tidak sebentar. Maka tidak mungkin perempuan memiliki kewajiban nafkah jika dalam hidupnya ia sendiri harus bertaruh hidup dan mati.

  1. Menyusui dan Mengasuh

Bayi tinggal dalam perut ibunya selama 9 bulan. Kedekatan bayi dengan ibunya tak bisa diragukan lagi. Maka bayi lebih dekat dengan ibu dibanding ayahnya. Ibu juga punya kewajiban menyusui selama 2 tahun. Dalam kondisi tersebut, normalnya seorang ibu harus stay bersama anaknya, sehingga nafkah tak mungkin menjadi kewajibannya.

Tentu saja saat ini teknologi sudah berkembang, bisa menyiapkan ASI perah, disimpan di kulkas, dsb. Tapi tak semua orang memiliki kondisi tersebut. Aturan diciptakan agar bisa diikuti oleh semua orang dalam berbagai kondisi. Maka dari itu kewajiban nafkah ada pada laki-laki. Sebenarnya mudah sekali bagi perempuan untuk bekerja. Jika rahim ada pada laki-laki, saya yakin kewajiban nafkah ada pada perempuan.

Kalau ada laki-laki yang protes kelelahan kerja dan memberi nafkah, maka kita sebagai perempuan juga lelah memiliki rahim. Memiliki rahim yang harus menstruasi tiap bulan dan kesakitan. Selalu was-was jika terjadi kehamilan yang tak direncanakan.

Kelelahan karena hamil, melahirkan, menyusui, mengasuh, proses yang tak pernah ada hentinya dan tak pernah ada hari liburnya. Ayah memiliki kewajiban mengasuh dan mendidik anak, namun karena ia mencari nafkah, ia mendapat kompensasi waktu. Sedangkan ibu harus menghadapi seluruh proses itu sendirian setiap hari. Padahal itu semua tak mudah, waktu seharian habis hanya untuk mengurus keperluan si kecil.

Baca juga:  Keistimewaan Siti Bariyah, Ketua ‘Aisyiyah Pertama (2, Bagian Akhir)

Menjadi ibu itu siap kurang tidur, kurang makan, kurang istirahat. Menafkahi adalah hal yang berat, namun bukan berarti orang yang memiliki tanggung jawab bisa hidup enak. Banyak sekali perempuan yang dalam masa mengasuh anak dan mengurus rumah, masih bisa bekerja dan berjualan.

Banyak sekali istri yang menjadi pendukung ekonomi suami. Baik laki-laki maupun perempuan, tak ada yang lebih mudah atau pun lebih enak. Keduanya memiliki tanggung jawab dan kewajiban yang sama. Dan kerja samanya bisa menjadikan kehidupan lebih baik.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top