Sedang Membaca
Peranan Sastra dalam Islam
Muhammad Saukani
Penulis Kolom

Sedang menempuh program Magister Bahasa dan Sastra Arab Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Peranan Sastra dalam Islam

Selera Makan Kakek-Nenek 1

Dalam bukunya Prof. Sukron Kamil, salah satu guru besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menyebutkan, kata “sastra” berasal dari bahasa Sansekerta, yakni “sas” yang berarti mengajar, mengarahkan, atau memberi petunjuk, dan “tra” yang berarti alat atau sarana. Sumber lain menyebutkan bahwa sastra berasal dari kata “susastra,” di mana “su” berarti baik atau indah, dan “sastra” berarti tulisan.

Dalam bahasa Prancis, istilah “belles-lettres” digunakan untuk menggambarkan sastra yang memiliki nilai estetik. Di Indonesia, para ahli memiliki pandangan yang berbeda-beda. Misalnya, A. Teeuw menyebut sastra sebagai segala sesuatu yang tertulis atau aturan penggunaan bahasa dalam bentuk tertulis. Sementara itu, Jacob Sumardjo dan Saini K.M. mendefinisikan sastra sebagai ungkapan pribadi manusia yang mencakup pengalaman, pemikiran, semangat, dan keyakinan dalam bentuk gambaran konkret yang mempesona melalui bahasa.

Bagi saya, sastra merupakan hasil refleksi dari imajinasi pencipta karya sastra tersebut. Karya sastra sering kali dihasilkan dari keadaan sehari-hari, kesedihan, kesendirian, bahkan pengalaman penderitaan. Melalui tulisan ini, saya akan sedikit membahas tentang peran sastra dalam Islam.

Kita melihat awal dimulainya sastra di Indonesia itu pada sastra lama yang dimulai pada kesusastraan zaman purba, kesusastraan zaman Hindu, dan kesusastraan zaman Islam. Sastra zaman Purba adalah kesusastraan yang mencerminkan zaman sebelum adanya pengaruh india, yaitu kesuastraan berupa doa, mantra, silsilah, adat-istiadat, dongeng, kepercayaan masyarakat, dan sebagainya.

Kesusastraan zaman ini merupakan kesusastraan yang berdasarkan medianya merupakan sastra lisan. Pada zaman Hindu memasuki cerita-cerita dari india yang merupakan bagian dari ajaran agama Hindu. J.S Badudu mamasukkan zaman Hindu menjadi satu periode dengan kesusastraan zaman Islam, yaitu Hindu – Islam.  Atau disebut peralihan dari Hindu ke Islam. Sastra zaman Islam, periode ini berlangsung setelah masuknya Islam di Indonesia. Namun, ada ahli yang menggantikan kata Islam dengan Arab.

Baca juga:  Dhugdheran: Dari Pasar Malam hingga Arak-Arakan

Penamaan ini kurang tepat mengingat  dalam sastra Indonesia tidak ada terlalu banyak pengaruh sastra Arab. Pengaruh tersebut terjadi dalam konteks ke-Islaman yang ditunjukkan dengan perubahan beberaoa naskah Hindu yang disesuaikan dengan nilai-nilai Islam. Syair yang merupakan sastra Arab asli masuk bukan semata-mata karena sastra  tetapi menjadi kebiasaan ulama-ulama Islam untuk menulsi syair dalam pelajaran agama, ilmu bahasa, dan sebagainya.

Sastra Menghidupkan Acara Besar Islam

Peringatan hari besar Islam seperti haul, Isra’ Mi’raj, Maulid Nabi, khitanan, tasyakuran, dan lain-lain sering kali tidak meriah tanpa sentuhan sastra. Kenapa saya berani mengatakan demikian?  Karena memang kenyataannya begitu.

Dalam acara-acara Islam semacam itu, sering kali kita mendengar senandung-senandung syair yang dibacakan dengan iringan alat musik Islam seperti hadrah. Hal ini membuat orang-orang yang hadir merasa bergairah dan senang saat mendengarkannya. Bahkan, terkadang orang-orang datang ke acara-acara tersebut bukan hanya untuk mendengar ceramah, tetapi lebih untuk menikmati lagu atau syair-syair yang dibacakan dengan iringan musik. Syair-syair ini, yang merupakan bagian dari sastra, sering kali ditulis dalam bahasa Arab dan mengandung nuansa Islami yang penuh dengan imajinasi.

Hal ini pernah saya alami beberapa minggu yang lalu saat menghadiri peringatan Muharram di sebuah masjid besar. Niat saya datang ke acara tersebut adalah untuk mengikuti seluruh rangkaian acara dari awal hingga akhir. Ketika saya tiba, saya melihat dengan jelas bahwa masjid tersebut penuh sesak dengan jamaah. Banyak orang hadir di awal acara, memadati seluruh ruangan. Ini mungkin karena acara dibuka dengan pembacaan kasidah-kasidah sastra Islami yang diiringi lantunan hadrah, sehingga menciptakan suasana yang sangat meriah dan menarik.

Baca juga:  Majelis Ihya': Tradisi Intelektual Warisan Kiai Sufyan

Namun, seiring berjalannya waktu, saya mulai memperhatikan bahwa sedikit demi sedikit, jamaah yang hadir mulai meninggalkan masjid. Ketika acara inti, yaitu ceramah, dimulai, orang-orang yang sebelumnya tampak antusias, satu per satu pergi, sehingga jumlah jamaah yang tersisa semakin berkurang.

Menurut saya, tujuan utama menghadiri acara tablig seperti ini seharusnya adalah mendengarkan ceramah dan mendapatkan siraman rohani dari ustaz atau dai yang berbicara di panggung. Hal ini terjadi tidak hanya di masjid tersebut, tetapi juga di beberapa tempat lainnya. Dalam satu bulan Muharram yang lalu, saya menghadiri lima acara peringatan Muharram di berbagai tempat dan hal yang sama tetap terjadi. Di awal acara, jamaah hadir dalam jumlah besar karena pembukaan dengan lantunan syair hadrah, namun ketika ceramah dimulai, jumlah jamaah semakin berkurang.

Kejadian ini membuat saya merenung tentang peranan sastra dalam menarik perhatian orang banyak. Pada awal acara, pembacaan kasidah yang sarat dengan nilai sastra Islami berhasil menciptakan atmosfer yang penuh semangat dan membuat jamaah betah duduk mendengarkan. Namun, ketika kasidah-kasidah tersebut selesai dan ceramah dimulai, antusiasme jamaah tampak menurun drastis. Ini menunjukkan bahwa meskipun ceramah adalah bagian inti dari acara, elemen sastra yang ada di awal acara memiliki daya tarik yang kuat dan mampu memikat hati jamaah.

Pengalaman ini juga menegaskan bahwa sastra memiliki peran penting dalam memperkaya acara-acara keagamaan. Dengan menyajikan kasidah yang indah dan bermakna, penyelenggara acara mampu menarik lebih banyak jamaah dan menciptakan suasana yang lebih hidup. Namun, tantangan berikutnya adalah bagaimana mempertahankan minat jamaah hingga akhir acara, terutama saat ceramah dimulai. Mungkin perlu dipikirkan cara-cara inovatif untuk mengintegrasikan elemen sastra ke dalam ceramah, sehingga jamaah tetap tertarik dan mendapatkan manfaat spiritual yang maksimal dari keseluruhan rangkaian acara.

Baca juga:  Drum Band: Musik Islam?

Saya ingin sebut salah satu syair yang sering disenandungkan dalam acara peringatan islam adalah dengan judul “Isyfa’ lana” yang liriknya sebagai berikut :

يَارَسُــــوْلَ الله يَـايَـا نَبِى ,  لَكَ الشَّفَا عَةْ وَهٰذَا مَطْلَبِى

اَنْتَ الْمُرْتَجٰى يَوْمَ الزِّحَــامْ , اِشْفَـــعْ لَنَا يَا يَا خَيْرَالْاَنَامْ

لُذْنَــــا بِكَ يَـــا حَــبِيْبُ , اَنْتَ لِلْخَـــــلْقِ طَــبِيْبُ

اِشْفَعْ لَنَا لَنَا لَنَا يَا حَبِيْبَنَا

لَكَ الشَّفَا عَةْ يَا رَسِوْلَ الله , يَا يَا نَبِى يَا نَبِى

جِئْتَ لِلْبَرَايَا بِالشَّرْعِ الْمُبِيْن , تَنْشُرُالْهِدَا يَةْ بَيْنَ الْعَا لَمِيْن

اِشْفَعْ لَنَا لَنَا لَنَا يَا حَبِيْبَنَا

لَكَ الشَّفَا عَةْ يَا رَسِوْلَ الله , يَا يَا نَبِى يَا نَبِى

Syair ini sangat terkenal di kalangan masyarakat Indonesia, terutama di antara mereka yang sering mengikuti majelis-majelis Islam. Syair ini awalnya dipopulerkan oleh Habib Syech bin Abdul Qadir Assegaf, dan kemudian dinyanyikan oleh vokalis-vokalis Islam lainnya sehingga semakin dikenal dan terasa sejuk ketika dinyanyikan. Syair ini merupakan permohonan umat Islam untuk mendapatkan syafaat dari Nabi Muhammad SAW.

Syafaat adalah bentuk pertolongan atau dukungan dari Nabi yang sangat diharapkan oleh umat Islam, terutama di akhirat. Syair ini sering dilantunkan dalam suasana penuh kekhidmatan, menggugah rasa cinta dan kerinduan kepada Nabi Muhammad SAW, serta mengingatkan umat akan pentingnya mengikuti ajaran dan teladan beliau.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top