
Membaca kisah Gus Dur seakan kita merasakan kedamaian nan juga ketentraman hati. Bagaimana tidak? Langkah dan pemikiran Gus Dur tidak hanya membela antar sesama, tetapi juga sang pembela minoritas dan kaum tertindas. Sehingga tidak berlebihan ketika Gus Dur diakui oleh semua kalangan, di mana mereka mengatakan “Gus Dur bukan hanya milik NU, tetapi Gus Dur adalah milik bangsa”.
Namun, beberapa pemikiran dan langkah-langkah Gus Dur, yang dianggap nyeleneh, sebut saja semisal hadirnya Gus Dur dalam pembukaan acara “Malam Puisi Yesus Kristus”, dan gagasan pribumisasi islamnya yang mengganti kata assalamu’alaikum dengan selamat pagi, siang, atau malam, dan masih banyak lainnya yang berkait-kelindan dengan persoalan keagamaan. Justru menuai banyak respon dari akar rumput warga nahdliyin, dan juga para kiai bahkan sebagian kalangan sampai memurtadkannya.
Dari keresehan warga nahdliyin dan juga para kiai atas langkah dan pemikiran Gus Dur itu, tergerak bagi mereka untuk mengadakan tradisi tabayun (klarifikasi) agar mendapatkan jawaban dan maksud sebenarnya dari apa yang dilakukan oleh Gus Dur itu, dan sekaligus dapat mengakhiri ghibah atau ngrasani yang berkelanjutan.
Pondok Pesantren Dar al-Tauhid Arjawinangun Cirebon, di bawah asuhan KH Ibnu Ubaidillah Syathori, merupakan salah satu tempat di mana Gus Dur diadili di hadapan para kiai se-cirebon, sekitar 200 kiai yang hadir dalam forum tersebut dengan membawakan beberapa pertanyaan untuk diajukan beserta dengan kritiknya yang bersumber dari khazanah kitab kuning.
Yang pada saat itu, KH Husein Muhammad sebagai ketua panitia, dan KH Chozin Nasuha sebagai pimpinan sidang (moderator). Sidang berjalan dengan beberapa persoalan yang diajukan kepada Gus Dur, beberapa diantaranya meliputi persoalan keagamaan dan juga posisi Gus Dur sebagai ketua umum PBNU sekaligus menjabat sebagai ketua dewan kesenian jakarta (DKJ) yang ditanggapi oleh KH As’ad Syamsul Arifin “ketua umum PBNU kok jadi ketua ketoprak”.
Dalam kesempatan yang sangat ditunggu-tunggu oleh para kiai dan masyarakat nahdliyin ini, Gus Dur menjawab dengan santai, bijak dan arif sekaligus menyelipkan humornya yang khas. Dengan begitu sidang berjalan dengan begitu ramah tanpa adanya kegaduhan yang mengganggu. Gus Dur memetakan jawaban klarifikasinya dengan dua kelompok, yaitu kelompok pemikiran dan kelompok tindakan.
Kelompok pemikiran meliputi jawaban tentang sikap Gus Dur yang terkesan mentolerir ajaran Mu’tazilah tentang keadilan dan ajaran Syi’ah tentang imamah, yang pada umumnya hal demikian dapat memberikan pemahaman bahwa Gus Dur sudah keluar dari jalur aswaja. Selain itu, meliputi juga jawaban atas assalamualaikum yang dapat digantikan dengan selamat pagi, siang, atau malam. Dan juga pemikiran Gus Dur yang digulirkan berupa rukun tetangga harus beriringan dengan rukun iman dan rukun Islam.
Singkatnya, tentang sikap Gus Dur mengenai ajaran Mu’tazilah, Gus Dur hanya berusaha untuk memahami prinsip keadilan dalam ajaran Mu’tazilah, yang mana prinsip tersebut kurang mendapat perhatian lebih dari kaum sunni, dan Gus Dur hanya mengamini prinsip keadilan kaum Mu’tazilah yang tidak dapat disalahkan begitu saja, bahkan kaum sunni wajib untuk memikirkan kembali prinsip keadilan untuk dijabarkan dalam setiap pemahaman ajaran Islam. Dengan begitu dapat kita bedakan antara memahami aliran lain bukan berarti menerima ajaran aliran tersebut.
Adapun dalam konsep imamah, Gus Dur sendiri menafikan tanggapan bahwa ia membenarkannya, melainkan Gus Dur hanya mengatakan bahwa imamah merupakan salah satu prinsip dari ajaran Syi’ah. Syi’ah sebagai aliran akidah sudah jelas bertentangan dengan sunni, akan tetapi sebagai wujud budaya, Syi’ah berisi kecintaan terhadap keluarga Nabi, yang juga salah satu ciri warga NU (hlm, 37-38).
Sementara, dalam persoalan salam yang begitu selalu diperbincangkan di mana-mana, dalam hal ini Gus Dur menjelaskan, memang secara budaya kata assalamu’alaikum dapat diganti dengan selamat pagi, siang, atau malam. Namun di dalamnya terdapat norma yang tidak bisa dipisahkan begitu saja. yang pertama, memang memberikan salam tidaklah wajib, akan tetapi menjawabnya adalah wajib, oleh karena itu ketika menjawab tidak dapat digantikan dengan ucapan lain yang telah ditetapkan. Kedua, salam merupakan bagian dari rukun shalat. Kehebohan ini sebenarnya dari wawancara Gus Dur yang terpotong pada bagian normanya (hlm, 48-49).
Selanjutnya dalam kelompok tindakan, Gus Dur menjawab perihal beberapa tindakannya yang selalu dipersoalkan oleh umat nahdliyin, beberapa diantaranya Gus Dur menjadi ketua DKJ sekaligus menjadi ketua umum PBNU, dan tindakan Gus Dur yang membuka acara malam puisi yesus kristus.
Untuk jabatan Gus Dur di DKJ, memang lebih dulu sebelum beliau ditetapkan menjadi ketua umum PBNU, sehingga untuk meninggalkannya tidak gampang begitu saja, karena secara organisatoris jabatan Gus Dur di DKJ habis setelah enam bulan Gus Dur menjadi ketua umum PBNU. Di samping itu juga Gus Dur memang diminta untuk mengurusi para seniman yang memang tingkahnya aneh-aneh, dan sebagian dari mereka juga sudah ada yang sedikit memahami agama, sehingga sangat disayangkan jika tidak ada perhatian dari kalangan pesantren. Dari sini dapat dibedakan antara menjadi seniman dan mengelola kesenian, yang dilakukan Gus Dur adalah mengelola kesenian yang dapat meluruskan para seniman yang telah menyimpang (hlm, 32).
Dan untuk masalah Gus Dur yang membuka acara malam puisi yesus kristus, Gus Dur menjawab dengan membadakan mana yang termasuk ibadah dan mana yang bukan termasuk ibadah. Dalam acara malam puisi bukanlah acara ibadah sedangkan yang dilarang adalah hadir dalam kegiatan ibadah agama lain. Dan nama yesus kristus hanya sebuah nama yang tidak berisikan akidah tertentu. Kata yesus berasal dari bahasa eropa yang mengakar kepada bahasa siryani yaitu Esu yang dalam bahasa arab adalah Isa. Sedangkan kristus berasal dari bahasa yunani kuno yang berearti juru selamat yang dalam bahasa arab disebut Al-Masih. Dan Gus Dur dalam mengatakan dua kata tersebut tentu saja beliau dengan i’tiqod ahlussunnah (hlm, 33).
Setelah sidang usai, para kiai yang hadir berdecak kagum atas kecerdasan seorang Gus Dur yang menjawab beberapa persoalan dengan tenang sekaligus bijak. Sehingga fenomena ini merupakan jejak sejarah intelektualitas Gus Dur yang mestinya diketahui dari generasi ke generasi agar aroma intelektual Gus Dur terus dihirup ketika keadaan sedang tidak baik-baik saja.
Judul Buku : Kiai Menggugat Gus Dur Menjawab Sebuah Pergumulan Wacana dan Transformasi
Penulis : RMI (ed)
Penerbit : IRCiSod
Jumlah halaman : 234
Kota Penerbit : Yogyakarta
Cetakan pertama, 20 Oktober 2020