Sedang Membaca
Cara Pandang Baru dalam Melihat Hukum Islam
Muhammad Asyrofudin
Penulis Kolom

Mahasiswa Universitas Islam Raden Mas Said, sekaligus santri PP. Al-Musthofa Ngeboran.

Cara Pandang Baru dalam Melihat Hukum Islam

Menuju Fiqh Baru Pembaruan Pemikiran dan Hukum Islam Merupakan Keniscayaan Sejarah (2020) karya KH Husein Muhammad

Salah satu pandangan dari Abdul Hadi Abdurrahman (1993) bahwa “Sejak pintu ijtihad telah ditutup di masa khalifah al-Manshur, dan dilarangnya para ulama dan fuqaha’ mengajarkan fikih selain madzhab empat; Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali di madrasah al-mustansiriyah. Pola pemikiran umat islam mengalami stagnasi, sejarah pemikirannya hanya berputar-putar dan berulang menghafal fikih empat madzhab tersebut, tanpa adanya penelitian kritis atas pendapat-pendapatnya”.

Pandangan di atas merupakan reaksi nyata dari sebuah insiden yang agaknya menggelisahkan sebagian ulama dan umat Islam, di mana pembatasan yang sedemikian diputuskan sejak berabad tahun lamanya mengakibatkan pembekuan dalam pemikiran juga menutup atas kebebasan dalam berpendapat.

Nampaknya kegelisahan serupa juga dirasakan oleh Imam Shuyuthi, ketika konsensus penutupan ijtihad digelorakan, beliau mengutipkan hadist yang begitu populer bahwa “sesungguhnya, Allah membangkitkan untuk umat ini seorang yang akan mengaruhi agamanya pada setiap seratus tahun” (HR. Abu Daud, Hakim, Baihaqi, dan Thabrani).

Kiai Husein Muhammad dalam bukunya yang berjudul Menuju Fiqh Baru Pembaruan Pemikiran dan Hukum Islam Merupakan Keniscayaan Sejarah (2020), dengan mengutipkan perkataan dari Amir Syakib Arselan “Agama dapat lenyap oleh kebekuan dan penolakan yang ekstrim terhadap ide-ide pembaruan. Kebekuan membuat orang lari dan jumud mengakibatkan orang tersesat” (hlm, 184).

Pendapat-pendapat demikian merupakan sebuah reaksi dari kenyataan yang begitu nampak di depan mata para ulama, di mana kejumudan yang mengakibatkan sikap fanatisme dalam bermadzhab mengakar kuat di mana-mana. Dengan begitu maklum kita pahami bahwa pembaruan dalam hukum Islam perlu adanya dan itu merupakan sebuah keniscayaan.

Di sisi lain tentang pembaruan ini, tidak dapat kita pungkiri adanya pendapat yang tidak senada. Kiai Husein Muhammad menyampaikan ada beberapa kalangan dengan macam-macam pendapatnya yang dilontarkan. Pertama, kalangan yang menolak secara total adanya pembaruan, dan pembaruan bagi mereka merupakan sesuatu yang bid’ah sekaligus menyesatkan. Kalangan tersebut yaitu terdiri dari golongan kaum fanatik dan kaum tekstualis literal yang tidak melihat ruh dan cita-cita agama. Yang merasa cukup dengan keputusan dan pemikiran pendapat para pendahulunya.

Baca juga:  Buku Pelajaran dan Wisata Pemikiran

Kedua, dari kalangan modern ekstrim yang menginginkan pembaruan secara bebas dan pendapat ini lebih mengarah ke westernisasi, mereka seakan menghendaki perkara yang kemarin dan sejarah dihapuskan begitu saja, dan sebagai gantinya mereka mengadopsi hal-hal yang berbau barat. Mereka menganggap apa yang kemarin dilakukan oleh bangsa barat merupakan perkara yang baru. Atas dasar itu, Muhammad Iqbal sosok penyair, politisi sekaligus filsuf besar abad ke-20 mengkritik keras atas kalangan ekstrim ini dengan mengatakan “Ka’bah tak mungkin dapat diganti begitu saja dengan batu dari Eropa”.

Ketiga, yaitu golongan yang moderat, golongan ini menolak pendapat dari golongan pertama dan yang kedua, golongan ini tetap menerima pembaruan Islam dengan naungan dasar yang tidak melenceng dari ajaran Islam sendiri, dengan mempelajari berbagai macam disiplin ilmu dari mana pun, dan itu merupakan suatu hal yang patut selagi tidak menyalahi aturan dasar Islam. (hlm, 181-185).

Terlepas dari pandangan kelompok yang menerima adanya pembaruan fikih. Keputusan hukum yang begitu-begitu saja, sementara perubahan zaman, kemajuan teknologi, serta perkembangan ekonomi terus bergerak, akan tetapi jawaban atas hukumnya kurang begitu relevan sehingga hukum yang ditetapkan relatif begitu mengekang. Atas dasar semua itu pembaruan fikih merupakan suatu yang harus dilakukan.

Baca juga:  Ngaji Tajul 'Arus: Jangan Menyerah Menjadi Baik sebagaimana Pemanah

Sebagai contoh, misalnya ketentuan tentang persoalan zakat apartemen, industri, saham, surat-surat berharga dan hal semacamnya yang belum ada keputusan tegas dari ulama-ulama terdahulu. Kasus-kasus demikian dapat diupayakan hukumnya yang menurut Kiai Husein Muhammad upaya demikian dikenal dengan ijtihad insyai (hlm, 176).

Kebebasan sebagai Dasar Pembaruan

Salah satu yang menjadi acuan referensi dari buku Menuju Fiqh Baru Pembaruan Pemikiran dan Hukum Islam Merupakan Keniscayaan Sejarah (2020) karya Kiai Husein Muhammad ini adalah Nahwa Fiqh al-Jadid karangan Jamal al-Bana, seorang adik kandung dari pendiri organisasi Islam Ikhhwan al-Muslimin yakni Hasan al-Bana.

Basis utama pemikiran Jamal al-Bana adalah doktrin al-bara’ah al-ashliyah (kebebasan), dengan mengaplikasikan doktrin ini lebih luas lagi dalam konteks kehidupan bersama di muka bumi ini. Sebenarnya doktrin demikian juga sudah akrab dikenal di kalangan para ulama fikih, seperti al-ashlu bara’ah ad-dzimmah yang memiliki arti yang sama yaitu “pada dasarnya manusia bebas dari kesalahan”.

Namun kebanyakan dari para ulama, menurut Kiai Husein Muhammad dalam mengambil keputusan hukum lebih condong menggunakan sikap preventif, yang mana sesuatu itu dapat dilakukan akan tetapi diharamkan dengan alasan menutup peluang terjadinya keburukan. Misalnya tentang permasalahan ganja medis yang memang dapat digunakan sebagai obat untuk dapat menyembuhkan suatu penyakit tertentu, akan tetapi keputusan tetaplah haram perihal ganja medis dengan alasan mencegah peluang adanya keburukan ketika hal itu diperbolehkan, walaupun hanya berlaku di ranah medis.

Baca juga:  Sabilus Salikin (23): "Wira'i"

Al-Ghazali sendiri mengkritik keras atas ulama yang sedemikian adanya dengan mengatakan “orang-orang bodoh mengira bahwa makanan yang halal telah hilang, dan arah untuk menujunya tertutup, seakan yang halal adalah rumput yang tumbuh di padang tandus. Selainnya telah tercampur tangan-tangan kotor dan transaksi yang merusak. Padahal tidaklah demikian”.

Di bawah paham tersebut keputusan hukum yang lebih mengarah terhadap pelarangan, pengharaman, membatasi ruang gerak manusia baik dalam suasana individu maupun sosial jauh lebih banyak daripada hukum yang membolehkan, membebaskan, dan memberikan lebih luas ruang gerak manusia. Mereka misalnya mengharamkan mengucapkan “selamat natal” terhadap teman yang beragama Nasrani. Dan ini merupakan cara pandang yang negatif, hanya karena berbeda dalam agama atau yang lainnya mereka dianggap buruk, salah bahkan musuh.

Pendapat-pendapat yang seperti itu pada gilirannya, bukan hanya suatu kemandegan peradaban kita. Lebih dari itu, juga sangat berpotensi kuat atas terjadinya kriminalisasi, memusuhi manusia dan mencabut hak-haknya (hlm, 195-204).

Dengan begitu, mengambil sikap seperti halnya Jamal al-Bana dalam kebebasan merupakan sesuatu yang lebih cocok untuk memenuhi kebutuhan modern ini. Karena, menurut Kiai Husein Muhammad “sudah saatnya kita membaca teks keagamaan kita dari tekstual ke kontekstual, dari tafsir ke takwil, dari konservatisme ke progresivisme dan dari langit ke bumi. Jika tidak, kita akan semakin terbelakang, semakin terpuruk, mudah marah dan akan terus menjadi konsumen produk liyan”. Sekian.

Judul Buku: Menuju Fiqh Baru

Penulis: KH Husein Muhammad

Penerbit: IRCiSoD

Tahun Terbit: 2020

Tebal: 252 Halaman

ISBN: 978-623-7378-65-5

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top