Telah banyak ulasan mengenai pondok pesantren yang ditulis dan dibincangkan baik dari aspek kitab yang dikaji, sanad keilmuan, pemikiran kiai, dan lain-lain. Lebih-lebih jika dikaitkan dengan Nahdlatul Ulama’ (NU) sebagai organisasi yang mewadahi kaum santri, tentu sudah ramai para pengkaji yang telah menuangkan gagasannya. Namun, dari sekian banyaknya tema yang ditulis, jarang untuk bisa menemukan ulasan mengenai dimensi pembentukan ikatan emosional antar komunitas pondok pesantren NU (terutama di Jawa) di kalangan santri, yang tidak banyak ditemukan di kalangan santri dari pesantren-pesantren lainnya.
Sebagai contoh, ikatan emosional tersebut dapat terlihat ketika santri dari salah satu pondok ikut merasa menjadi santrinya kiai di pondok lain. Oleh sebab itu, santri akan ikut salim ketika bertemu dengan kiai dari pondok lain sebagai bentuk ta’zhim mengikuti adab sebagai seorang murid dan tentu saja “ngalap berkah”, suatu hal yang kadang tak dimengerti oleh komunitas lain dan dianggap sebagai bid’ah. Dari keterikatan emosional itu juga, muncul ungkapan-ungkapan yang biasa kita dengar seperti “mugi-mugi dianggep santrine kiai A” atau “pondok B”, (menunjukkan bahwa ia tidak pernah mengaji di kiai A atau pondok B namun berharap dianggap sebagai santrinya). Ikatan emosional ini mungkin (bagi santri) menjadi hal yang lumrah dan tidak terlalu mengherankan. Namun, jika kita mencoba membandingkannya dengan yang lain, mengapa fenomena ini hanya ditemukan di kalangan santri NU?.
Fenomena tersebut jika kita hubungkan dengan tesis pembentukan bangsa melalui rumusan komunitas yang terbayang oleh Bennedict Anderson dalam bukunya “Imagined Community”, maka akan ditemukan simpul-simpul keselarasan dengan gagasan yang saya sebut sebagai komunitas santri yang terbayang. Tentu saja konsep komunitas “politik” terbayang Ben Anderson tidak serta merta bisa diaplikasikan dalam komunitas “kultural” santri. Namun, menurut saya, akan lebih mudah untuk memahami bagaimana santri-santri di pondok merasa menjadi bagian dari komunitas besar dengan santri pondok-pondok lain melalui konsep-konsep utama dari imagined community tersebut.
Konsep mengenai komunitas terbayang yang dimaksud Ben Anderson adalah bagaimana setiap anggotanya belum pernah bertemu satu sama lain, namun dapat membayangkan bahwa mereka adalah satu komunitas yang didefinisikan Anderson sebagai bangsa. Bangsa juga terbayangkan sebagai entitas yang terbatas dan berdaulat. Singkatnya, bangsa terbayangkan sebagai komunitas karena selalu diangankan sebagai sebuah persaudaraan horizontal yang mendalam. Meskipun tesis Anderson mendapat kritikan dari beberapa pemikir seperti Manuel Castells, Partha Chatterjee, dan James Moris Blaut, Imagined Community terlanjur populer dan tetap menjadi acuan utama dalam kajian tentang terbentuknya kesadaran kebangsaan dan nasionalisme.
Bila kita tarik hubungannya dengan pemahaman Ben Anderson, maka ‘santri’ juga merupakan komunitas yang terbayang. Setiap santri tidak pernah bertemu, mengenal, dan mengetahui kabar sebagian besar anggota (baca: santri) lainnya, namun mempunyai “imaji” tentang adanya komunitas bersama yang merekatkan mereka sebagai santri Nahdlatul Ulama’. Santri Kudus akan merasa mereka menjadi bagian dari komunitas yang sama dan terhubung dengan santri pondok-pondok di Kediri, Jombang, Rembang, dan daerah lainnya yang (sebagian besar) belum pernah mereka jumpai. Hubungan ini dibayangkan secara khusus sebagai jaringan kekerabatan antar santri yang tak terbatas.
Santri dari pondok pesantren NU mempunyai “pemaknaan bahasa” yang sama mulai dari, ma’nani, lalaran, sorogan, ro’an, ta’zir, mayoran, dan lain-lain. Mereka juga hidup di pondok dalam suasana yang serba sederhana, penuh rasa kebersamaan, jadwal yang padat dengan belajar, hingga ta’zim dan khidmah kepada kiai dan keluarganya. Kesamaan bahasa, ruang lingkup (yaitu dalam “sub-kultur” pondok pesantren), serta adat dan tradisi yang hidup di dalamnya ikut menumbuhkan imaji “kaum sarungan” yang mereka identifikasikan berbeda dengan liyan.
Ben Anderson mengatakan bahwa koran adalah yang paling berpengaruh pada pembentukan kesadaran nasional, lalu bagaimana dalam pembentukan kesadaran santri sebagai komunitas bersama?. Cerita-cerita yang dituturkan tentang pondok, kiai, dan segala unsur yang berkaitan dengannya adalah faktor utama dalam terwujudnya imaji itu. Cerita-cerita ini dituturkan salah satunya melalui beberapa majalah dan harian seperti Aula, Duta Masyarakat, dan Majalah Risalah (yang muncul belakangan). Majalah dan harian tersebut merupakan media cetak milik NU, tetapi ada juga media lain yang menyajikan kisah para ulama’ dan habaib seperti Majalah Alkisah yang dekat dengan komunitas Rabithah Alawiyah. Hingga sekarang, hanya majalah Aula dan Risalah yang masih tetap bertahan.
Media cetak memang memberikan ruang untuk menyebarkan pemikiran, emosi dan imajinasi, tetapi menurut saya, pada komunitas santri yang terbayang, cerita-cerita tentang kiai yang dituturkan secara lisan lah yang lebih mempunyai pengaruh yang besar dalam pembentukan kesadaran tentang “bayangan” itu. Hal ini dikarenakan sebagian besar santri lebih banyak mendengar kisah-kisah tentang kiai dari mulut ke mulut baik dari segi ilmu, akhlak, karomah, sanad, hikmah, humor, dan sisi-sisi yang bersifat manusiawi lainnya. Apalagi jika sedang berkumpul, para santri suka mengobrol yang diselingi dengan humor sehingga cerita-cerita tersebut lebih cepat tersebar dan diteruskan dari kakak angkatan ke adik tingkatnya. Terkadang, kisah-kisah tersebut juga diceritakan oleh sang kiai itu sendiri (yang tentu pernah menjadi santri) ketika sedang mengaji kitab.
Tuturan secara verbal juga lebih berpengaruh pada imaji santri dikarenakan media-media cetak seperti yang disebut diatas tak semuanya dapat diakses oleh sebagian besar santri. Entah terkadang beberapa pondok yang tak memfasilitasi, ataupun media-media cetak tersebut hanya dibaca oleh sebagian santri yang gemar membaca. Lebih-lebih, jadwal keseharian yang padat membuat santri tak sempat membaca jika bukan untuk mendaras kitab kuning. Proses terbentuknya basis kesadaran ala santri yang khas itu lah yang agaknya membedakan dengan tesis Ben Anderson mengenai peran utama teknologi (mesin) percetakan pada basis kesadaran nasional.
Berkembangnya media digital seperti NU Online dan situs-situs lain memang membuat kisah-kisah kiai itu telah banyak dimuat di dunia maya dan memudahkan santri untuk mengaksesnya, namun perlu diingat bahwa selagi santri berada di dalam pondok, gawai merupakan benda yang terlarang. Lagi pula, pengenalan santri terhadap cerita-cerita yang membentuk basis kesadaran tersebut bermula di masa-masa awal mondok, bukan setelah menjadi alumni. Biasanya, beberapa santri yang tergolong sebagai “gus” menjadi sumber dari cerita. Sebagai putra kiai, seorang gus sejak dini sudah dikenalkan keluarganya tentang kisah-kisah dari kiai lainnya. Apalagi jika berkaitan dengan nasab para kiai serta jejeringnya dengan beberapa pondok pesantren.
Sebelum menjadi santri di Pondok Njoso, saya belum banyak mengetahui siapa saja kiai-kiai di pondok Lirboyo, Langitan, Ploso, dan pondok-pondok lain. Namun, seorang gus di kamar kami banyak bercerita hingga kami mengetahui beberapa kiai ternama maupun gus-gus yang populer di kalangan santri. Maka, semisal jika seorang santri bertemu dengan seseorang yang ia ketahui merupakan putra dari kiai walau belum berkenalan, ia akan “salim”. Hal ini lah yang membuat saya terkadang kerepotan untuk menghafal gus-gus yang ada beserta jalur nasabnya. Coba bayangkan, dari sekian banyaknya, saya harus mengetahui siapa saja yang merupakan seorang gus jika tidak ingin merasa “pakewuh” atau merasa bersalah jika terlanjur memperlakukan mereka seperti “orang biasa”. Apatah lagi untuk mengenal seorang kiai!.
Pada akhirnya, apa yang membuat santri-santri di pondok saling merasa menjadi bagian dari komunitas besar yang mana sebagian besar dari mereka sendiri tidak pernah saling bertemu dan mengenal? Menurut saya, cerita santri tentang kisah kiai-kiai lah yang turut membentuk dan meneguhkan “imagined community”.